Flashback 1. Kisah Agus.
Suara tawa serta bercanda di kafe kongkow memberi bahagia oleh tiga pemuda-pemudi saat berbincang-bincang mengembalikan memori masa kuliah mereka. Meet up bukan suatu hal spesial untuk tiga orang tengah bersantai di kafe kongkow.
"Jadi sekarang kamu kerja atau buka usaha?" Pertanyaan pertama untuk seseorang yaitu, Agus Antoniusetya Darmawan. SE. Psi. Yang memberikan pertanyaan untuknya, adalah Sarah Tiara Andika.
"Saya sekarang kerja," jawabnya cepat sembari minum teh di depannya.
"Kerja di mana?" Sarah semakin kepo, bukan Sarah jika tidak kepo soal status seorang pria lanjang.
Apalagi Sarah sangat mengenal sekali dengan Agus, bukan mengenal saja. Tetapi seperti sahabat atau ikatan persaudaraan. Sejak masuk kuliah pertama kali satu jurusan dengannya. Sarah tidak memilih pertemanan walau dulu Agus tipe pria yang pendiam di kelas.
"Saya kerja jadi dosen sesuai jurusan yang saya ambil," jawabnya simpel.
"Oh ya? Universitas mana kamu ngajar? Wah! Ternyata selain pendiam di kelas dulu, diam-diam karier jadi dosen!" sewot Indra, yang dari tadi diam setelah Sarah bersuara.
Indra Setiawan, kekasih Sarah sekaligus tunangannya, dalam waktu dekat mereka akan menikah. Tentu kebahagiaan sepasang kekasih dari permainan anak-anak menjadi gejolak cinta menyatu.
Agus tertawa keras sekali, merasa kesewotan dari Indra, satu angkatan adalah lelucon. Indra tidak merasa tersinggung, karena ia juga tau sifat Agus gimana.
"Hanya sampingan saja, sembari mencari pekerjaan yang lebih layak," jawabnya semakin simpel.
Sarah dan Indra saling berpandangan setelah mendengar jawaban dari sahabat satu ini. Selain penampilannya biasa-biasa saja. Jawaban pun sangat sederhana, inilah kenapa mereka tidak dapat terpisah setiap mengajak obrolan dengannya. Wawasan Agus sangat singkat namun Sarah dan Indra sangat penasaran di sisi gelapnya.
"Penghasilan menjadi dosen juga bagus, kok, Gus!" lanjut Indra bersuara.
"Ya, kamu benar! Omong-omong kapan kalian menikah? Awet sekali, ya. Saya kapan bisa seperti kalian?" Agus pengalih topik bahasan lain.
Sarah hanya senyum-senyum malu, apalagi Indra sekali-kali melirik tunangannya. Jika mereka mengingat kembali masa lajang dulu. Mungkin itu tidak akan pernah terjadi.
"Bulan depan, aku dan Sarah menikah. Kamu harus hadir! Kapan lagi kita bisa meet up seperti ini. Apa lagi, kita belum tentu bisa bertemu seperti ini. Setelah kami menikah, Sarah diharuskan ikut denganku untuk dinas luar kota, kamu tau sekarang profesi aku seperti apa?" ucap Indra seolah pembahasan mereka benar-benar serius.
Agus kembali tertawa, tetapi terkekeh setiap menyimak kata-kata Indra. Entahlah Agus seperti orang tidak waras. Walau begitu ia sangat memahami keadaan.
"Saya tahu! Seorang pengusaha muda, keluarga terpandang mana mungkin saya bisa menolak undangan dari kamu. Bisa-bisa nama daftar persahabatan di atas kertas tercoret!"
Sarah masih diam, percakapan dua pria itu tidak akan pernah habis-habisnya. Inilah mengapa Sarah ngotot kepada Indra untuk meet up dengan Agus.
"Bagus, kalau kamu sadar. Oh ya! By the way busway, bagaimana hubungan kamu dengan Cassandra? Aku dengar kamu sama dia itu ...."
Agus langsung berubah datar setelah Indra menyebut nama Cassandra.
"..., lupakan saja! Kita bahas topik lain," Indra merasa suasana semakin aneh, seharusnya ia tidak perlu bahas soal tadi.
"Gosip itu lagi! Kamu dapat info dari Angga, 'kan?" ucap Agus datar sembari senyum tipis.
Sarah melirih lekat wajah Agus, Sarah bisa melihat dibalik kesedihan pada pria itu. Indra seharusnya tidak patut membahas hal seperti itu. Kadang Sarah benci sikap tunangannya yang ceplas-ceplos.
*****
Kembali sunyi, tak percakapan diantara mereka bertiga setelah Indra bertanya soal wanita bernama Cassandra. Hanya angin sore hari terlintas kafe terbuka itu.
"Saya ke kamar kecil sebentar, ya!" Agus izin pada Indra dan Sarah. Lalu Indra dan Sarah pun menyambut senyuman.
Setelah kepergian Agus meninggalkan mereka berdua di tempat. Sarah langsung memukul pundak Indra, sehingga Indra meringis.
"Mulut kamu itu tidak pernah di rem! Sudah aku bilang berapa kali, jangan bahas soal Cassandra di depannya! Masih ngeyel terus!" sanggah Sarah sembari menegurnya.
"Maaf, namanya aku penasaran sama hubungan mereka! Ya, barangkali dia mau cerita, tidak ada salahnya, kan?" balas Indra sambil mengelus-elus pundaknya.
Sebelum melanjutkan kekesalan kepada tunangannya ini, ia melirik takut Agus tiba-tiba muncul saat percakapan mereka membahas dirinya.
"Ya, kalau dia mau cerita! Kamu ini, kadang aku kesal sama sifatmu, susah dibilangin! Kamu tahu bagaimana dia? Penasaran sih boleh, tapi lihat dong kondisi!" tutur Sarah sambil menusuk buah dengan tusuk gigi.
"Ya, maaf, loh, Sayang! Jangan ngambek kenapa, sih? Lihat begini, aku pengin cepat-cepat nikah, deh! Kelamaan bulan depan, langsung saja, yuk!" usil Indra bisa-bisa ia menggoda tunangannya. Sarah yang kesal mau tak mau pun senyum-senyum lihat tingkah laku Indra.
"Jangan mulai, deh! Nggak malu dipelototi sama yang lain!" siku Sarah salah tingkah.
Melihat dua pasangan tengah mesra-mesraan tidak peduli sekitar kafe kongkow, yang penting mereka bahagia tidak mengusik orang lain. Beberapa menit kemudian Agus kembali dari kamar kecil.
"Lega? Lama juga kamu di kamar kecil, ngapain saja?" lirih Indra sembari bercanda.
Agus tersenyum tipis, ia kembali meraih minuman. Indra dan Sarah memerhatikan sikap sahabatnya sangat aneh. Takut saja, ada masalah disembunyikan olehnya.
"Oh ya, sepertinya saya harus kembali ke kampus!" ujar Agus usai melihat jam arlojinya.
"Secepat itu? Memang mau ke mana? Bukannya jadwal dosen itu ...." Sarah bersuara tetapi dipotong langsung oleh Agus. "..., nanti saya ceritakan! Saya pamit dulu, ya! Oh ya, untuk makanan sama minuman nanti saya transfer."
"Eh! Tidak perlu!" Sayang sekali Agus sudah menjauh setelah Sarah menolak untuk mengganti makanannya.
Indra menatap punggung Agus yang menghilang dari peredaran kafe kongkow. Sarah mendengus sembari mengomel, "Dasar Sugus! Aku pikir setelah meet up, sifatnya bakal berubah. Ternyata sama kayak dulu!"
"By the way, Sayang!" Sarah melirih tunangannya sembari mengadu teh hangat di pesannya lagi.
"Apa?" sambungnya.
"Kamu percaya kalau Agus benar-benar ke kampus, tempat ia kerja? Bukankah hari minggu tidak ada jadwal kampus?" lirih Indra
Sarah yang akan menyesap tehnya terpaku, ia juga baru sadar. Saling berpandangan satu sama lain. Sementara Agus tiba di salah satu rumah minimalis, ya, tempat ia tinggal sekarang.
Wajahnya yang ramah saat bertemu dengan kedua sahabatnya, sekarang ia berubah wajah yang menyeramkan. Saat ia buka pintu rumahnya.
"Kamu sudah pulang! Syukurlah! Kamu tahu aku hampir cemas tiba-tiba dirimu menghilang, jangan tinggalin aku dalam keadaan aku butuh kamu!" ucap seorang wanita memeluk Agus terpaku berdiri di pintu saat ia masuk.
Wanita itu terus mencium wajah Agus. Agus tidak memberi balasan apa pun pada wanita dihadapannya. Hanya matanya melirik sekitar rumah, yang awal rapi sekarang seperti neraka baginya.
"Ada apa? Kamu tidak suka aku mencium mu?" Wanita itu bertanya pada Agus, tapi Agus masih membisu. Wanita itu menoleh apa yang Agus lihat. Wanita yang memeluk leher Agus penuh agresif itu melepas.
"Maafkan aku. Aku akan membereskannya, tadi aku ...."
Agus mendorong wanita itu menjauh dari pelukan, hingga wanita itu termundur menabrak tembok kokoh tersebut. Wanita itu meringis, Agus meraih sebuah foto tergeletak di lantai dekat sofa. Seorang gadis cantik tengah tertawa bersama beberapa teman saat perpisahan sekolah. Wanita itu melingkar pinggang Agus begitu manja, dan ia juga mengintip selembar foto di tangan Agus.
"Kamu masih menyimpan foto itu? Kamu tertarik padanya?" Wanita itu berceloteh.
"Kalau kamu suka tipe gadis seperti itu, aku bisa melakukannya, dengan satu syarat!"
Agus menarik wanita itu lebih dekat, menatap seakan ingin membunuhnya. Tetapi wanita itu tidak pernah takut, karena ia tahu Agus akan menurutinya.
"Tidak perlu kamu pasang wajah semenakutkan seperti itu, aku tahu kamu menginginkan gadis itu. Bayangi gadis itu, dan anggap aku adalah dia. Maka kamu akan terpuaskan!" ucap wanita itu, di mata Agus memang sangat menginginkan gadis ada di foto itu.
Entah setiap memandang foto, gejolak itu membuatnya tergila menghasut. Hanya cara dengan wanita di rumahnya. Walau sosok seperti dirinya sangat merugikan. Kelemahan inilah membuat dirinya sulit disembuhkan.
Suara merdu di kamar terpasang segala wajah gadis yang ceria di dinding setiap sisi, desahan menggema di telinga pria itu pun memandang wajah wanita adalah bayang-bayangan gadis jelita.
****
BERSAMBUNG ....