Deliana keluar dari ruangan Agus setelah selesai berdekatan satu sama lain. Agus tetap ngotot Deliana menjadi sekretarisnya. Agus tetap akan mengganggu Deliana, meskipun Deliana tak mau duduk di tempat sekretaris.
Hingga sekarang Deliana yang duduk di tempatnya sedang mengurus penagihan untuk supplier terganggu oleh telepon dari Agus. Teman satu kantor lainnya hanya bisa melirik dan saling menatap dengan mata batin masing-masing.
Santi yang di tempatnya hanya bengong, karena telepon genggam ada di meja Deliana. Anggi yang dekat dengannya turut membantu Deliana mengangkat telepon dari atasan barunya.
"Del, di panggil tuh sama Pak Darmawan," pesan Anggi pada Deliana.
"Bilang sama dia, saya lagi sibuk?!" jawabnya masih sibuk dengan kertas-kertas penagihan dari menunggang beberapa bulan tak di bayar.
Anggi menurut dan memberitahukan kepada Agus bahwa Deliana tak bisa di ganggu. Beberapa menit kemudian deringan telegram dari Agus berbunyi lagi. Anggi mencoba untuk memesan kepada Deliana terdiam.
"Sampai kapan Anda membayar? Penagihan Anda sudah jatuh tempo, saya sudah beri Anda dua minggu membayar penagihan Anda kepada kami! Dan Anda masih meminta saya menunggu?!" Deliana tiba-tiba membentak penagihan tersebut.
Anggi lupa menutup suara telepon dari Agus. Agus bisa mendengar bentakan dari Deliana memarahi suppliernya. Teman satu kantor lain sibuk dengan pekerjaan mereka. Hening ruangan lantai delapan ini, karena tak pernah pun mereka mendengar Deliana se-marah ini sejak kedatangan atasan barunya.
Deliana menutup telepon sangat kasar Anggi yang di tempatnya membiarkan telepon genggam sekretaris itu nyala hijau tanda masih online.
Deliana menghela kasar, ia bangun dari duduknya tak peduli dengan telepon genggam online Agus begitu saja. Deliana menuju kamar mandi, teman-teman satu kantor menjadi saksi bisu pun kembali cengar-cengir.
Merasa telepon genggam dari Agus tak online lagi, Anggi pun kembali meletakkan telepon pada tempatnya. Pintu kantor Agus terbuka saat para staf mencoba menggosipkan harus membisu.
Agus ke luar dengan angkuhnya ia masih sempat senyum pada staf-nya saat melirik. Satu jam berada di kamar kecil, Deliana pun ke luar setelah mencuci tangan dan merapikan penampilannya.
"Kalau kamu marah-marah makin cantik, loh." Agus tiba-tiba bersuara membuat Deliana terkejut mundur selangkah dan menatap horor sumber suara itu.
Ternyata Agus sedari tadi menunggu di depan kamar kecil. Agus begitu hafal banget kebiasaan Deliana. Deliana tak menggubris yang berkoak-koak itu, ia melewati begitu saja.
"Kamu mau ke mana?" Agus mencegah Deliana pergi dari hadapannya.
"Jangan sentuh-sentuh, belum muhrim!" Deliana mengentak tangan Agus dari lengannya.
"Nanti juga muhrim," gombal Agus senyum jailnya.
"Jangan mimpi?!"
"Tuh 'kan, makin lama saya semakin suka penolakan mu. Temani saya makan dulu, kamu pasti belum makan 'kan?" ucap Agus dan mengajak Deliana untuk makan siang.
Deliana melirih jam tangannya, ia merasa perutnya lapar. Gara-gara emosi karena supplier ia hampir lupa jam makan siang termakan seperempat.
"Ayo!" Agus kembali menarik tangan Deliana beranjak meninggalkan kamar kecil tersebut.
Deliana kaget saat Agus menarik keluar bersamaan di kamar kecil tepat pula ada Dani yang baru saja akan menuju kamar kecil untuk cuci tangan. Deliana dengan segera menarik tangan dari genggaman Agus.
Dani bungkam dan Agus menoleh ketika Deliana melepas genggaman darinya. Agus pun sadar bukannya melerai, Agus semakin jail merangkul bahu Deliana lebih dekat dan ... Deliana makin tak berkutik karena sikap kurang ajar Agus ini.
Dani semakin membulat apa yang ia lihat, ketika Agus dan Deliana menjauh dari posisi ia berdiri seperti patung hiasan. Dani merasa shock kedekatan Agus dengan Deliana.
****
Merasa aman dan jauh dari kantor, Deliana langsung mendorong tubuh Agus dari tubuhnya. Agus pun terlepas dari rangkulan Deliana padahal ini adalah momen paling indah ia berdekatan dengan Deliana--sang mantan muridnya.
"Jangan ambil kesempatan dalam kesempitan, ya!" cibir Deliana melototi Agus. Agus bukannya tersinggung malahan tertawa melihat sikap Deliana semakin gemas.
"Apa yang bapak ketawa kan?! Tidak lucu! Pergi sana?! Gak sudi makan berdua sama pria me--" Agus langsung membungkam mulut Deliana.
"Iih! Apaan sih?!" Deliana menyingkirkan tangan kokoh dari wajahnya. Agus semakin gemas lihat sikap Deliana tadi.
Agus mengekori Deliana, Deliana tak akan tenang jika mantan dosennya itu terus membuntutinya. Deliana berhenti dan memutar badannya.
"Jangan ikuti saya!" kesal Deliana kali ini nadanya sangat emosi.
"Saya ikuti karena takut kamu jatuh, saya itu tidak mau calon istriku luka-luka. Nanti tidak bisa malam pertama," gombal Agus masih bisa bercanda di tempat tak tepat banget.
Deliana melotot tak percaya dengan gombalan Agus. "Apa?! Calon istri! Jangan harap saya punya suami kayak Bapak!" Deliana kembali melanjutkan langkahnya.
Tetapi Deliana tak melihat kalau ada seseorang lewat tepat di depannya. Deliana tak dapat mengelak dan Agus pun menangkap tubuh ramping Deliana dalam pelukannya.
Deliana tersigap dua mata bertemu saling berpandangan. Deliana aman dan ia tak bisa mengelak wajah Agus memang tampan jauh lebih tampan saat ia ilfil dengan mantan dosennya ini.
"Sudah saya bilang, untung saya ikuti kamu. Kalau terjadi apa-apa, malam pertama nanti gagal dong?" ucap Agus menghilangkan lamunan Deliana.
"Apaan sih, Bapak!" Deliana memukul dan melepaskan dari pelukan Agus. Wajahnya pasti merah banget, Agus senyum dapat melihat kalau wanita di depannya terpesona dengan wajah tampan.
"Sudah jangan tolak mulu, bilang saja kamu terpesona dengan ketampanan ku?" goda lagi Agus ke Deliana.
"Sok geeran! Jangan harap!" Deliana beranjak meninggalkan Agus di sana. Umpatan di mulut Deliana tanpa henti-hentinya.
Agus semakin gemas lihatnya, ia masih mengikuti langkah mantan muridnya arah ke mana. Deliana terus melangkah kaki tak tentu arah. Dirinya masih sadar kalau pria itu terus mengikutinya. Pada akhirnya ia memilih untuk berhenti salah satu depan toko roti.
Tempat mana lagi dirinya berhenti, satu-satu tempat yang paling jauh itu cuma toko roti Polo. Agus berjalan mendekati Deliana, ia tau bahwa wanita ini tak akan sanggup untuk kabur darinya.
"Capek? Masih mau lanjut berjalan? Kalau tidak sanggup, masih ada yang tumpangan untukmu." Agus bersiap akan menggendong Deliana walau di depan umum.
Deliana langsung menyalangkan siluet tajam pada mantan dosennya. "Gak perlu sok caper!" sengit Deliana, berputar kemudian masuk ke toko roti itu.
Agus terkekeh melihat kelucuan kalau Deliana marah-marah tak jelas padanya. Meskipun mantan muridnya itu bersikeras menolak, Agus tetap akan mendapatkan hati wanita yang keras kepala itu.
Berada di toko roti, Deliana memesan rasa cokelat ditaburi gula halus di atas donatnya, lalu secangkir cappucino hangat. Itu adalah kesukaan Deliana setiap berjumpa toko roti mana pun. Sedangkan Agus, memesan roti ambon ayam dan secangkir teh pahit hangat. Karena sudah manis semakin manis bisa-bisa diabetes. Cukup ia melihat wanita di depannya itu, buat dirinya merasa kenyang.
Deliana tak peduli tatapan dari mantan dosennya sedari tadi memperhatikan dirinya. Ia lebih memilih menikmati roti donat isi dalamnya cokelat dan gula halus di atas luar donat itu. Rasanya meleleh di dalam mulut.
Hening tak ada satu kata dari mulut dua pasangan ini. Agus masih memperhatikan Deliana dengan roti begitu lahap. Kemudian, Agus mengambil tisu tapi diurungkannya ia lebih suka menggunakan jari membersihkan cokelat melekat di samping pipi Deliana.
"Bapak mau nga--" Deliana tercekat, sedang asyik dengan roti. Agus seenak jidat mencolek ujung pipinya.
"Jangan sisakan cokelat untukku, Sayang. Kalau mau sisakan nanti setelah resmi jadi istriku," ucapnya. Deliana melebar mata saat mendengar ucapan dari Agus.
Cokelat ada di jarinya Agus pun di masukan ke mulutnya. Deliana semakin gila atas sikap aneh mantan dosennya. Pemilik toko roti itu bisanya senyum diam-diam. Bagaimana tak senyum, yang berkunjung hanya mereka berdua, yang lain sudah beli bawa pulang.
Wajah Deliana seperti kepiting rebus, merah bukan karena tersipu malu. Tetapi menahan kesal dan kejengkelan pada mantan dosennya.
****