Usai juga makan siang bersama Agus di toko roti, Deliana dengan cepat melangkah kaki ke kantor. Ia tak ingin terpergok oleh teman-teman kantor bahwa dirinya makan berdua dengan atasan barunya.
Agus malah santai melihat tingkah laku mantan muridnya itu, tergesa-gesa untuk mempercepat langkahnya agar lebih menjauh darinya. Kadang Agus ingin ketawa melihat sikap Deliana yang ceroboh asyik tersandung benda mati di depan mata kakinya.
Pada saat Deliana masuk ke kantor, terus menghadang pintu lift akan tutup rapat. Orang-orang yang berada di dalam lift menatap lurus ke arah Deliana. Deliana waktu akan masuk, ternyata Agus ada di belakangnya. Bukan itu saja, ada sebagian satu kantor dengan Deliana yaitu Vania, Dani, Wawan, sama Kelly di lift.
Deliana pun masuk, berdiri paling depan sebaliknya Agus juga ikut masuk. Deliana pura-pura tak mengenal siapa Agus, anggap saja kebetulan sama-sama akan menuju ke gedung lantai 8.
Agus masuk, dan berdiri di sebelah Deliana paling depan tentunya. Sedangkan yang lain memilih diam di tempat. Ketika lift akan bergerak mengantar 7 orang penumpang itu ke lantai masing-masing. Tangan kiri Agus bergerak pelan-pelan, dan melingkar ke pinggangnya, Deliana.
Tentu yang di belakang mereka berdua menonton dengan lirik'an menajam. Tidak berani bersuara, takut ditegur oleh Agus pastinya. Agus berlaga bego dengan santai sibuk sama ponselnya.
Deliana merasa risi atas perilaku dari mantan dosennya. Tangan kiri melingkar di pinggangnya sangat sensitif banget. Tentu Deliana menegak tak karuan apa lagi ia mencoba untuk menyingkirkan tangan kurang ajar itu dari pinggangnya.
Beberapa detik kemudian suara dentingan lift terbuka, angka di atas tertuju angka 6, orang-orang ada di lift meminta izin untuk keluar dari sana. Tentu dengan senang hati Agus menyamping dan memberi ruang untuk karyawan-karyawannya keluar dari lift tersebut.
Deliana merasa terjebak situasi yang tidak pas. Posisinya sekarang berada di sudut tembok dekat tombol angka. Apa lagi, tangan lebar milik Agus semakin erat melingkar di pinggangnya.
Padahal masih ada empat orang di dalam lift. Agus masih dengan santai tak mengalami kejadian aneh tersebut. Bahkan Deliana sudah kehabisan akal cara agar tangan kurang ajar Agus itu lepas dari pinggangnya. Mau tak mau, Deliana menginjak kaki Agus cara keji, apa lagi ujung tumit sepatunya sedikit lancip.
Agus pasti merasakannya betapa sakit bagian-bagian jari-jari kakinya atas kelakuan mantan muridnya. Kembali dentingan lift terbuka tanda lantai Deliana tuju sampai. Deliana lega, bisa bebas dari rubah jantan. Saat teman-temannya keluar lebih dulu, baru Deliana.
Sebuah tangan panjang menarik Deliana kembali masuk ke dalam lift. Tersentak Deliana kaget bukan main, pintu lift yang terbuka lebar itu kembali tertutup rapat. Punggung Deliana pun menabrak tubuh depan yang kokoh dan lebar.
"Bapak, apa-apa'an sih ...."
Agus memutarkan badan Deliana, lalu mengunci dirinya di sudut lift tersebut. Deliana tercekat karena jarak Agus sangat dekat dengannya.
"Pak! Jangan kurang ajar, Bapak tidak malu kalau kamera CCTV merekam perilaku yang tidak terhormat seperti Bapak?!" Deliana mencoba untuk lepas dari kuncian Agus.
Agus mendongak di sana memang ada kamera infamera, tetapi senyuman miring untuknya tak pengaruh akan ancaman tersebut. Agus kembali menatap wajah cantik mantan muridnya dari dekat.
"Tidak apa-apa kalau kamera melihat kemesraan kita di sini. Anggap dia sebagai saksi mata atas hubungan kita berdua di sini," ucapnya pelan lebih memajukan wajahnya.
Deliana semakin tegang lehernya tak bisa menghindar lagi, ia sudah pasrah bibirnya akan bersentuhan dengan bibir Agus. Deliana memilih untuk memejam mata.
Beberapa menit kemudian, lift berhenti tiba-tiba, dan pintu terbuka lebar. Agus senyum lalu mengacak rambut Deliana. Deliana membuka kembali matanya, perlakuan Agus tadi benar-benar nekad. Agus menjauh darinya kemudian keluar seakan-akan tak terjadi apa pun.
Sementara orang-orang yang akan masuk ke lift tersebut, terbengong-bengong dengan sikap Deliana dan Agus tadi. Deliana pun segera keluar dari lift beri senyuman paksa pada orang-orang yang akan turun ke lobi.
Agus kembali ke ruangannya dengan senyuman yang panjang tak lepas-lepas. Lalu, Deliana kembali ke mejanya dengan wajah merenggut banget. Anggi pun mendorong kursinya mendekati Deliana.
"Tumben kamu sama Pak Agus bisa barengan kembali ke kantor? Apalagi jam makan siang sudah lewat 20 menit yang lalu?" kepo Anggi bertanya pada Deliana.
Deliana tak menanggapi pertanyaan dari Anggi, ia memilih untuk diam. Saat ini pikirannya sedang kacau banget, ia tidak bisa bayangkan jika ciuman pertamanya direbut sama mantan dosennya itu.
****
Weekend siapa sih yang tidak berkeinginan untuk malam mingguan. Tentu semua para manusia memiliki pasangan, atau yang jomlo, atau yang menunggu sosok muncul di depannya mengajak untuk jalan-jalan bersama. Bahagia pastinya bukan?
Tetapi sayangnya hari ini bukan malam minggu, tetapi malam selasa. Bagaimana berkencan? Sedangkan Deliana saat ini disuruh lembur sama atasan baru. Padahal Deliana bersikukuh menolak untuk lembur. Apalagi bagian HRD, Dani? Juga tidak bisa apa-apa, keinginan Agus hanya Deliana di kantor menyelesaikan pekerjaan dari Santi.
Deliana sudah mati gondok atas sikap mantan dosennya itu. Pukul tujuh malam, sunyi di lantai 8, hanya dua lampu yang terang, sisanya gelap. Deliana masih sibuk dengan pekerjaan dari Agus. Ya, mengirim email ke luar negeri kepada Mr. Jack. Sedangkan di ruangan Agus juga sibuk melihat berkas-berkas dari karyawannya
Deliana menghela panjang, dan mengangkat tinggi-tinggi kedua tangan betapa pegalnya otot-otot dari tadi menatap komputer di depan mata. Deliana melepas kacamata selalu menggantung di hidung sebagai membantu pekerjaan.
"Huh! Akhirnya selesai juga," Deliana melirik jam ponselnya sudah menunjukkan pukul tujuh lewat. Ia pun merapikan kertas-kertas berserak di mana-mana. Map besar ia kembalikan ke lemari besi tak lupa untuk mengunci. Setelah semua selesai, ia pun berputar badannya, dan terkejut seseorang telah muncul di belakang.
"Shaytan?!"
Agus senyum kecil berhasil mengerjai kembali mantan muridnya. "Kok Shaytan sih?" tutur Agus dengan nada dibuat-buat.
Deliana tidak menggubris memilih melewati Agus yang masih berdiri di sana. Deliana kembali ke mejanya dan memasukan barang-barang ATK, terus mematikan komputernya. Agus masih berdiri tak jauh dari meja Deliana sembari bersandar meja memperhatikan mantan muridnya tersebut.
"Kenapa merenggut seperti itu? Kayaknya kamu benar-benar pengin saya...."
"Jangan harap?! Saya tak sudi ciuman dengan Bapak, tak SUDI?!" potong Deliana ketus.
Agus terkekeh atas reaksi Deliana, semakin semangat Agus membuat mantan muridnya salah tingkah. "Saya tidak mengatakan akan mencium kamu," balas Agus beranjak dari tempatnya, seketika Deliana terdiam beberapa detik.
Agus senyum panjang berhasil membuat Deliana kembali salah tingkah. Debaran jantung Deliana tak berhenti-henti. Ia seakan-akan dipermainkan oleh mantan dosennya sendiri. Jelas-jelas Agus akan mengatakan bahwa dia akan mencium dirinya. Tetapi kenapa Deliana asal menebak.
Pak Agus sialan?! Aahh! batin Deliana menggerutu lagi atas mulut laknatnya.
Tak lama kemudian, Deliana bersiap untuk pulang. Ia mematikan lampu yang menerangkan dari tadi kembali gelap. Kemudian ia mengunci pintu ruangan tersebut. Setelah itu, tanpa rasa takut Deliana sendiri turun ke lobi menggunakan lift.
Tiba di lantai dasar, Deliana langsung keluar dari lobi utama. Setelah itu, sebuah mobil hitam fortuner berhenti tepat di depannya. Deliana sedang sibuk dengan ponsel mengetik sesuatu di layar. Sebuah kaca jendela hitam turun, seseorang memunculkan kepalanya menatap Deliana.
"Mau saya antar pulang?" Agus menawarkan jasa pada Deliana. Deliana melirik tajam, kemudian senyum tipis, tentu Agus juga membalasnya.
"Tidak, terima kasih atas tawaran, Bapak!" tolak Deliana halus.
Agus berharap kalau Deliana menerima tawaran darinya. Bukan Agus namanya kalau ditolak terus-terusan oleh mantan muridnya. Masih banyak cara yang bisa menakluk hati padanya.
"Yakin?"
Deliana menghela, "Yakin, Pak?! Sampai kapan sih, Bapak memaksa terus?" jawabnya ketus. Seakan-akan tidak ada lagi cara untuk menerima penolakan dari Deliana.
"Sampai kamu menerima cinta saya, saya bukan memaksa, saya hanya khawatir kalau mantan murid saya pulang sendiri tanpa pengawasan, kalau kamu kenapa-kenapa sama orang lain? Siapa yang menolong mu? Gagal dong malam pertama kita?" ungkap Agus atas penuturan kepada Deliana.
Deliana memutar dua bola matanya penuh jengkel, sembari menghela kasar. "Please deh, Pak! Bapak mengira saya ini anak kecil yang suka nyasar hanya lupa sama alamat rumah?"
"Ya, bisa saja 'kan? Saya hanya menjaga agar ..." Ponsel Deliana berbunyi. Deliana mengangkat, dan Agus menunggu mantan muridnya walau pun pendengaran panggilan telepon dapat dikenal oleh Agus.
Orang yang menelepon Deliana adalah Indra, Abang iparnya. Setiap pulang kerja, Deliana selalu dijemput oleh Indra. Ekspresi wajah Deliana pada awal berharap bahwa Abangnya itu niat menjemput. Tetapi dari sisi wajah menyamping Agus senyum tipis tak terlihat.
"Hah? Masa mendadak sekali? Jadi, aku pulang sama siapa?" tutur Deliana kecewa.
Deliana sesekali melirik Agus masih setia di mobil menunggu atas tawaran yang dia berikan padanya.
"Ya sudah, hati-hati?!" Deliana mengakhiri panggilan dari Indra. Deliana menghela lagi, dimasukkan ponsel ke dalam tas. Lalu mendekati Agus.
Agus yang sibuk dengan ponselnya, sedang membalas chat dari seseorang. "Ehem!" Deliana mendeham. Agus tidak menoleh.
"Soal, tawaran yang Bapak berikan ... saya ..." Deliana kesusahan untuk menjelaskan menerima tawaran dari Agus tadi.
"Ya, bagaimana? Maaf, tadi ada teman kirim pesan. Jadi kurang menyimak yang kamu katakan," ucapnya memasukkan ponsel ke kantung celana.
Deliana mengalihkan pemandangan tempat lain, ia merasa grogi. "Itu ... saya mau ... saya boleh menumpang ..." Deliana lama-lama kayak Aji gagap pengucapannya tidak jelas. Agus yang menunggu kalimat dari mantan muridnya terkekeh.
Deliana tersadar dari suara terkekeh hadapannya. "Apa yang lucu? Sudahlah tidak jadi?!" Deliana mengentak angkat kaki dari luar lobi.
Agus menjalankan mobilnya menyusul Deliana yang terlihat kesal. Padahal Agus tidak bermaksud membuat mantan muridnya itu dongkol. Habisnya yang ia tawari kepadanya sudah ditolak halus sama Deliana.
"Jangan ngambek dong? Ayo naik, saya antar kamu pulang. Indra minta saya antar kamu pulang. Makanya saya tidak menyimak penuturan mu," ucapnya jujur masih mejajarkan langkah Deliana pada mobilnya. Untung di jalan telah sepi.
Deliana berhenti, mobil Agus juga berhenti. Deliana memasang mata iblis menyelidiki apakah mantan dosennya mencoba mengerjai dirinya, atau mencoba membohongi untuk mencari kesempatan mendekatinya.
"Jangan pasang muka seperti itu? Tidak yakin kalau Indra meminta saya mengantar kamu?" Agus merogoh ponsel di kantung celana dan membuka kata kunci ponsel kemudian perlihatkan pada Deliana.
Deliana hanya was-was saja, bukan maksud tak percaya. Bisa saja segala cara apa pun mantan dosen mencoba untuk mendekatinya. "Sudah yakin? Saya tidak pernah membohongi siapa pun. Apalagi perasaan saya yang selalu kamu tolak-tolak," lanjutnya memasukan kembali ponselnya.
Agus keluar dari mobilnya, kemudian membuka pintu untuk Deliana. Deliana menuntut, dan masuk. Lalu mobil melaju kecepatan sedang meninggalkan tempat area gedung PT. Industri Nusaraya.
****