6

1152 Words
Rehan berjalan menuju balkon, ia mencoba untuk menghubungi Sekar, sejak tadi ia tidak tenang dan gelisah lantaran Sekar marah padanya. Deringan telpon dari Rehan di sadari oleh Sekar yang saat itu justru asik mencari kebahagiaannya sendiri. "Bentar ya, gue angkat telpon dulu," ucap Sekar meletakkan tongkat biliar nya. "Oke oke, santai aja." jawab salah satu teman yang bermain dengannya. Sekar mengulas senyum dan melangkah sedikit menjauh, agar suasana keramaian itu tidak terlalu mengganggu pendengarannya saat mengangkat telepon dari Rehan. [Halo mas, kenapa?] tanya Sekar yang sudah tidak marah lagi. "Sayang, kamu di mana? Kamu udah maafin aku kan karena hari ini aku nggak jari ajak kamu jalan, aku mohon sayang, jangan marah] rengek Rehan meminta untuk di maafkan. [Udah kok mas, lagian hari ini aku diajak kumpul kok sama temen-temen, kalau aku nggak bisa sama kamu aku masih ada yang lain] sahut Sekar tak ingin ambil pusing. [Kamu di mana sekarang? Biar aku susul kamu, ya] Rehan terlihat antusias ingin segera bertemu dengan Sekar, karena mendengar Sekar yang sudah tidak marah padanya. Sekar pun mempersilahkan kalau Rehan ingin menemui dirinya, Sekar memberitahukan keberadaannya yang sering ia kunjungi bersama Rehan. Terlihat Rehan sangat bahagia saat ber telponan dengan Sekar, hal itu disadari oleh Dinda yang juga ikut keluar dan mendengar pembicaraan Rehan. Langkah kaki Dinda disadari oleh Rehan yang saat itu langsung mengakhiri pembicaraannya dengan Sekar. [Aku akan ke sana, kamu tunggu ya.] bisik Rehan yang langsung mematikan ponselnya. Rehan menoleh ke belakang dan mendapati Dinda sudah ada di hadapannya, Dinda melipat ke dua tangannya dengan tatapan yang tajam mengarah pada Rehan. "Janjian sama siapa kamu, Mas?" tanya Dinda penasaran. Rehan tak langsung menjawab, karena ia melihat ada bu Andin dan pak Roy yang ada di belakang Dinda, mereka sengaja menemui Dinda dan Rehan untuk berpamitan. Karena Rehan tak menjawab pertanyaan Dinda, Dinda pun menoleh ke belakang saat tatapan Rehan justru fokus ke arah itu. Dan Dinda pun mendapati ke dua orang tuanya sedang tersenyum mengarah padanya. "Ibu, Bapak..." Dinda berjalan mendekati ke dua orang tuanya, pertanyaan yang belum sempat dijawab oleh Rehan itu akhirnya ditenggelamkan oleh Dinda karena tak ingin ke dua orang tuanya tahu. "Dinda, Rehan, Ibu dan Bapak ke sini karena mau pamitan, kami pulang pagi ini juga, ya," ucap pak Roy melempar senyum. "Pagi ini Pak? Kok buru-buru banget," sahut Rehan berjalan mendekati mereka. Ia beralasan demikian agar tak dicurigai. "Iya, Bapak kan ada kerjaan di bengkel, jadi nggak bisa nginep di sini lama-lama. Tadinya Bapak pikir biar Bapak aja yang pulang, tapi ternyata Ibumu juga mau pulang." jelas pak Roy melempar senyum. Dinda tak mampu berkata, ia hanya mampu membalas senyuman bu Andin yang saat itu sedang merangkul pergelangan tangan pak Roy, Dinda sangat senang melihat pemandangan itu. Itulah yang selalu diimpikan oleh Dinda saat dulu sebelum menikah. Ia begitu yakin bahwa pernikahannya dengan Rehan akan semanis pernikahan ke dua orang tuanya. "Dinda, Arka di mana, Ibu pengen cium dia sebelum pulang?" tanya bu Andin. "Ada di kamar Bu, Andin antar yuk." jawab Dinda melangkah pergi membawa ibunya ke kamar. Tibanya di kamar bu Andin menciumi Arka yang masih tertidur, dan setelah itu ia juga memeluk Dinda. "Ibu dan Bapak pulang dulu ya," pamit bu Andin. "Ya Bu, kapan-kapan main lagi ke sini, ya," sahut Dinda melempar senyum. "Sekali-kali, kamu dan suami kamu yang main ke rumah Ibu, bersama Arka juga." pinta bu Andin berharap. Dinda mengilas senyum dan mengangguk, ia mengantarkan bu Andin keluar dari kamar dan mereka pun pergi. Lambaian tangan Dinda saat ke dua orang tuanya pergi dengan sepeda motornya membuat Dinda merasa sangat kehilangan, hatinya terasa hampa kembali saat sepeda motor itu menghilang dari pandangannya. Sementara Rehan tersenyum bebas setelah melihat ke dua mertuanya telah tiada, ia masuk untuk kembali ke kamar. Mengganti baju dan memakai parfum yang begitu menembus. Saat Rehan kembali keluar dan berjalan melewati Dinda, Dinda baru menyadari bahwa suaminya itu sudah terlihat sangat rapi dan begitu wangi, Dinda pun mengejar Rehan yang sudah berada di dalam mobil. "Mas, kamu mau ke mana?" tanya Dinda menahan kaca mobil yang hendak ditutup oleh Rehan. "Aku bebas mau pergi ke mana pun, Dinda. Karena sekarang udah nggak ada orang tua kamu lagi di rumah ini," ucap Rehan mengulas senyum. "Mas, aku kesepian di rumah Mas, nggak ada siapa-siapa, kok kamu tega ninggalin aku si," rengek Dinda merasa semakin sedih. "Jangan lebay Dinda, aku pergi untuk bertemu sama Sekar. Sekar lebih segar kala dipandang, jadi lebih baik kamu buka pintu gerbang karena aku mau keluar!" titah Rehan tak perduli. Dinda tak bisa berkata-kata, ia akhirnya berjalan lirih menuju gerbang dan membukanya dengan lebar. Membiarkan Rehan pergi sesuka hatinya dan meninggalkan dirinya sendiri di rumah. *** Waktu malam tiba, Dinda sengaja tidak membereskan rumah karena estimasi kedatangan bi Iyas sudah dekat, ia lebih fokus menjaga Arka dan membawanya duduk santai di ruang keluarga. Tok... Tok... Tok.... Suara ketukan pintu terdengar, Dinda menatap daun pintu dan menebak siapa yang datang. Karena sejak tadi ia hanya menunggu bi Iyas, Dinda pun mengira bahwa yang mengetuk pintu itu adalah bi Iyas. Buku-buku Dinda berjalan menuju pintu utama dan membukanya, bersama Arka yang berada dalam gendongannya. Saat Dinda membuka pintu ia terkejut karena yang ia lihat bukanlah bi Iyas, melainkan Rehan yang membawa Sekar ke rumah. "Mas, apa-apaan ini!" protes Dinda marah. Sekar menatap Dinda penuh iba, melihat penampilan Dinda yang hanya memakai daster rumahan, bentuk tubuhnya yang gendut dan wajahnya yang bulat penuh lemak, membuat Sekar tidak merasa minder sekalipun hal itu tidak mengurangi wajah cantik Dinda. "Aku mau kencan di sini sama Sekar, kamu minggir," usir Rehan saat Dinda menghalangi jalannya. "Mas, kamu nggak bisa gitu dong! Aku nggak mau kamu seenaknya membawa wanita lain di rumah ini, rumah ini rumah kita Mas, rumah kamu sama aku!" protes Dinda menghalangi jalan Rehan. "Dinda, suka-suka aku dong, ini bukan rumah kamu, ini rumah aku. Jadi bebas dong aku mau bawa siapa aja." jelas Rehan begitu menyakiti perasaan Dinda. Sekar mendorong tubuh Dinda hingga akhirnya ia berhasil masuk bersama Rehan, Dinda terpaku di tempatnya dan tak bisa berkata apa-apa saat Rehan merangkul pundak Sekar dengan manja. 'Jahat kamu mas, di depan aku kamu mesra-mesraan sama wanita lain di rumah ini.' batin Dinda sangat kecewa. Tak lama kemudian ada sebuah angkot berhenti di depan rumah Dinda, Dinda tersadar saat mendengar suara bi Iyas yang sedang membayar ongkos mobil. Karena pintu gerbang tidak terkunci, bi Iyas bisa masuk sendiri dan melihat majikannya sedang berdiri di depan pintu. "Non Dinda, non Dinda kenapa itu ada di sana?" tanya bi Iyas mengamati majikannya dari kejauhan. Dinda mengulas senyum menyadari bi Iyas berjalan mendekati dirinya, ia menyeka air matanya yang sempat jatuh karena melihat kemesraan Rehan bersama Sekar. "Selamat malam Non," sapa bi Iyas dengan santun. "Selamat malam Bi, syukur lah Bibi datang dengan selamat, masuk Bi." ajak Dinda dengan ramah. Bi Iyas tersenyum dan ikut masuk bersama Dinda, bi Iyas terkejut saat melihat Rehan yang justru sedang bermesraan dengan Sekar di ruang tamu.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD