2. Ajakan Tak Terduga

2361 Words
Jantungku terus berdebar tak karuan. Aku sampai ketakutan barangkali orang di sekitarku mendengar debaran ini, tak terkecuali Mas Iqbal. Aku pasti akan sangat malu kalau dia sampai tahu apa yang kurasakan saat ini. Apakah ini mimpi? Sejak kapan kedua orang tuaku kenal dengan orang tua Mas Iqbal? Mama ikut arisan itu sudah dari dulu, tetapi kenapa beliau baru menyampaikan maksud perjodohan ini tahun lalu? Belum lagi, dilihat dari cara para orang tua berinteraksi, mereka terlihat jauh lebih dekat dari yang kukira. Mereka terus berbicara ini dan itu tanpa rasa canggung. Ini sungguh di luar dugaan! “Habis ini kami masih ada acara di rumah teman. Naya pulangnya diantar Iqbal, ya?” ucapan itu membuatku hampir tersedak, tetapi untung tidak jadi. Aku melirik Mas Iqbal, dan dia langsung mengangguk sambil tersenyum. “Iya, Bu. Nanti aku antar Naya pulang.” Aku melongo. Mas Iqbal dari tadi memang tidak banyak bicara, tetapi dia terlihat santai dan baik-baik saja, seolah tidak menganggap aneh tentang makan malam kali ini. Masa iya, dia tidak tahu tentang rencana perjodohan ini? Atau malah dia sudah setuju? Ah, rasanya tidak mungkin! “Gimana, Nay? Kok malah bengong?” Mama menyenggolku agak kuat. “Iya, Ma. Enggak papa,” jawabku akhirnya. “Kalau dilihat dari almamater S1 kalian, kalian ini harusnya kenal. Atau minimal tahulah,” ucap Tante Hesti sembari menatapku dan Mas Iqbal bergantian. “Jangankan adik tingkat dua tahun, Bu. Adik tingkatku pas aja, aku enggak hafal. Yang pasti kuhafal cuma teman seangkatan.” Mas Iqbal menjawab pelan, dan jujur aku agak kecewa mendengarnya. Sebenarnya wajar saja kalau Mas Iqbal tidak mengenaliku. Kakak Asisten tentu sulit mengingat seluruh wajah anggotanya. Berbeda denganku, anggota kelompok tentu sangat mudah mengingat Kakak Asisten yang notabene mengajar selama satu semester. Terlepas dari perasaan yang kumiliki, aku ingat dengan Mas Iqbal itu sudah seharusnya. Selain Mas Iqbal, aku juga ingat semua Kakak Asisten yang dulu pernah mengajarku. Entah dari mata kuliah apa pun itu. “Betul, Tante. Sangat sulit mengingat wajah dan nama mahasiswa yang sudah beda angkatan.” Mas Iqbal tiba-tiba menekuk alisnya sesaat, tetapi kemudian dia kembali tersenyum meski sangat tipis. Kenapa dia tiba-tiba memasang ekspresi seperti itu? “Iya juga, sih. Apalagi universitas kalian itu kan besar dan banyak kelas.” “Iya, Tante.” Setelah selesai makan malam dan berbasa-basi, akhirnya tibalah saat di mana para orang tua pamit ingin melanjutkan acara. Aku tidak yakin mereka ada acara betulan atau ini hanya trik mereka saja yang ingin memberi waktu untuk anak-anak berkenalan. Namun yang jelas, aku merasa sedari tadi mereka terus memasang senyum penuh maksud. Sejak awal bertemu, para orang tua sama sekali tidak mengungkapkan tujuan utama diadakannya makan malam kali ini karena mungkin kedua belah pihak sama-sama sudah tahu. Yang dari tadi membuatku merasa ada yang janggal adalah gerak-gerik Mas Iqbal. Dia tidak terlihat menerima, tetapi tidak juga terlihat menolak. Aku benar-benar tidak bisa membaca jalan pikirannya. “Ini masih terlalu pagi kalau kalian harus pulang sekarang. Misal mau jalan-jalan dulu boleh, kok,” ucap Mama yang membuatku ingin sekali mencubit beliau. Kenapa beliau kembali terkesan sedang menjualku? “Ayah sama Ibu juga pulang malam, Bal. Kamu main di luar dulu enggak papa. Biar duniamu itu enggak kerja mulu,” sahut Tante Hesti. “Iya, Bu. Niatnya habis ini aku emang mau ngajak Naya jalan bentar.” Mendengar itu, aku langsung menoleh bingung. “Mas?” “Tadi saya lihat kamu enggak banyak makan. Gimana kalau habis ini lanjut ronde kedua? Saya ada rekomendasi tempat makan enak.” Aku semakin bengong. Ini serius? “Nay! Kok malah diam? Cepet, jawab!” Mama ini memang selalu jadi perusak isi pikiranku. “I-iya, boleh, Mas,” jawabku akhirnya. “Oke.” Akhirnya, para orang tua pun pergi beberapa saat kemudian. Aku melihat mereka terus menyunggingkan senyum. Barangkali mereka merasa sudah berhasil mendekatkan anak-anak. Dan sekarang, tinggallah aku dan Mas Iqbal yang berdiri berdampingan. Dia menunjuk mobil audi hitam yang terparkir di sudut halaman, dan aku langsung mengangguk. “Eh, Nay, sebentar ...” aku seperti tersengat sesuatu ketika Mas Iqbal memegang tanganku sepersekian detik. “Ada apa, Mas?” “Kamu betulan enggak ingat saya?” “Ingat apa?” tanyaku tak paham. “Tadi saya cuma pura-pura enggak ingat kamu karena saya malas kalau obrolan dengan orang tua jadi panjang. Tapi sebenarnya saya ingat kamu, Naya. Kamu Ainaya Nishfi, dulu pernah ikut kelompok saya waktu praktikum. Iya, kan?” Seketika aku meringis. Ah, senangnya ... ternyata Mas Iqbal mengingatku. Ini cukup membuatku terkesan. “Sebenarnya saya juga ingat Mas Iqbal, kok. Ya parah kalau sampai enggak. Saya tadi juga cuma pura-pura karena malas kalau banyak ditanya-tanya.” “Oh, gitu. Saya kira kamu lupa betulan.” “Enggak, Mas. hehe ...” “Ya sudah, ayo ke mobil!” “Iya, Mas.” Mas Iqbal berjalan lebih dulu menuju mobilnya dan aku mengekor di belakang. Meski begitu, Mas Iqbal tidak langsung masuk dan menungguku lebih dulu. Selama berjalan menuju mobilnya, aku terus menyunggingkan senyum. “Mas Iqbal ...” panggilku pelan ketika Mas Iqbal sudah membuka pintu mobil. “Iya?” “Mas Iqbal pasti tahu, kan, kenapa orang tua mempertemukan kita malam ini?” Sekali lagi, Mas Iqbal menampakkan senyumnya. Aku jadi heran, kenapa dari tadi dia terus tersenyum?” “Iya, saya tahu.” Mas Iqbal mengangguk pelan. “Itulah kenapa saya ingin mengajakmu ke tempat makan langganan saya. Ada yang perlu kita bahas berdua, terlepas nanti bagaimana keputusan akhirnya. Kita sudah cukup dewasa untuk membicarakan hal ini baik-baik tanpa harus menyakiti hati kedua orang tua.” “Betul, Mas.” “Ya sudah, ayo masuk.” Aku mengangguk, lalu segera membuka pintu mobil dan masuk. Aroma maskulin seketika tercium kuat begitu aku menutup pintu. Kuat di sini bukan kuat yang membuat eneg, tetapi justru terasa sangat harum dan memanjakan indra penciuman. Kurasa, Mas Iqbal sudah mengganti parfumnya karena wangi yang ini berbeda dengan aromanya dulu. “Duh! Kok susah, sih ...” keluhku ketika seat belt mobil sulit ditarik. “Oh iya, itu memang agak macet dan belum saya betulkan. Sini, biar saya bantu.” Aku reflek menegakkan badan dan menahan napas ketika Mas Iqbal tiba-tiba mencondongkan badannya sampai dagunya berada tepat di depan mataku. Dia menarik seat belt setengah paksa dan langsung berhasil. “Sudah, ya?” “A-ah, iya. Makasih, Mas ...” “Oke.” Aku berani bersumpah, jantungku saat ini berdetak lebih keras daripada tadi ketika di dalam restoran. Kenapa efek Mas Iqbal bisa sekuat ini? *** Mas Iqbal ternyata mengajakku ke sebuah restoran steak yang sebenarnya cukup sering kudatangi bersama teman. Restoran ini memang terkenal enak dan harganya pun jauh dari kata mencekik. Selain rasa dan harga, tempatnya pun bersih dan luas. Bisa dibilang, ini salah satu restoran steak paling worth it di kota Jogja. “Pernah makan di sini, Nay?” “Ha?” pertanyaan Mas Iqbal yang sangat tiba-tiba membuat responku jadi kurang. Sebenarnya bukan hanya karena tiba-tiba, tetapi aku juga cukup kaget dengan caranya memanggil namaku yang entah kenapa terdengar sangat santai dan akrab. “Pernah makan di sini?” tanyanya lagi. “Pernah, Mas. Lumayan sering malah.” “Bagus kalau gitu, itu artinya rasanya pasti cocok di lidahmu.” Mas Iqbal mengajakku ke sebuah meja yang lokasinya ada di pinggir ruangan dan dekat dengan kolam ikan hias. Dia menyuruhku duduk lebih dulu sementara dirinya pergi ke kasir untuk memesan. Aku memegangi dadaku untuk menetralkan detak jantung yang belum juga normal sejak tadi. Sekalipun sudah lebih mendingan daripada ketika di mobil, tetapi aku masih agak terganggu dengan kecepatan ritmenya. Apa ini nyata? Pertanyaan itu masih saja berputar cepat di otakku. Aku merasa, perjodohan ini seperti akan menjadi titik balik perasaanku untuk Mas Iqbal. Maksudku, kalau Mas Iqbal menerima perjodohan ini, aku bisa mencintainya dengan lebih leluasa karena itu artinya kami akan menjadi suami istri. Namun jika tidak, maka aku harus bisa realistis dan melupakan perasaanku padanya bagaimanapun caranya. Jangan tanya kesediaanku karena tidak mungkin aku menolak kesempatan besar ini. Aku ini sudah lama menyukai Mas Iqbal, jadi sudah pasti aku sering membayangkan kami akan menikah suatu saat nanti. Ya, sekalipun bayanganku itu hanyalah bayangan semu dan kurang logis. Bagaimana tidak, selama bertahun-tahun aku menyukainya, aku tidak pernah ada action sama sekali. Namun ternyata, Tuhan memang selalu memiliki cara-Nya sendiri. Aku tidak pernah membayangkan akan ada istilah perjodohan dalam hidupku. Selain menjadi titik balik, perjodohan ini juga bisa menjadi titik terang. Terang di sini bisa diartikan setidaknya perasaanku akan segera jelas, tidak mengambang lagi. Apakah akan lanjut atau harus pupus, itu tergantung bagaimana nanti keputusan Mas Iqbal. “Saya pesankan tenderloin ya, Nay. Bagian paling aman dan kayaknya semua orang suka.” Mas Iqbal tiba-tiba kembali dan duduk tepat di depanku. “Iya, Mas, makasih.” Hening sesaat. “Mas Iqbal sering ke sini sebelumnya?” tanyaku mencoba membangun komunikasi agar tidak terlalu pasif. Dari tadi aku merasa Mas Iqbal cukup komunikatif padaku. Dia sering berinisiatif tanya lebih dulu meski hal-hal yang dibahas masih terlalu umum. “Lumayan sering. Kenapa?” “Enggak papa, sih. Saya nanya aja. Di sini memang enak steak-nya.” “Betul. Sejak awal buka rasanya enggak berubah—” obrolan kami harus terjeda oleh pelayan yang datang mengantar pesanan. “Dulu saya pertama kali ke sini diajak sahabat dekat. Dia padahal enggak punya duit, tapi sok-sokan mau nraktir makan steak.” Deg! Sahabat? “Apa sahabat yang dimaksud itu Mbak Ara, Mas?” Tangan Mas Iqbal yang terlihat sudah mulai memotong steak, seketika berhenti. Dia menatapku dengan alis terangkat sebelah. “Kamu tahu saya dekat dengan Ara?” “Siapa, sih, Mas, anak fakultas yang enggak tahu itu?” Tawa Mas Iqbal yang harusnya terdengar merdu, entah kenapa tiba-tiba membuat hatiku cemas. “Masa lalu itu, Nay.” “Masih dekat, Mas, sama Mbak Ara?” “Masih, tapi jelas sudah enggak sedekat dulu. Dia sudah punya suami, jadi dia harus menghormati suaminya lebih dari siapa pun. Saya pun begitu, harus tahu posisi.” Aku tersenyum. “Harusnya memang begitu, Mas. Karena berdalih sahabat sejak kecil pun, enggak akan ada orang yang suka kalau pasangannya dekat dengan lawan jenis.” “Iya, betul.” Mas Iqbal tampak menatap kolam ikan sebentar, lalu tersenyum lagi, tetapi kali ini senyum itu seperti dia tunjukkan untuk dirinya sendiri. “Kita makan dulu, ya, ngobrolnya nanti saja kalau udah habis.” “Iya, Mas.” Selama makan, kami masih sesekali ngobrol meski bahasannya yang ringan-ringan saja. kami sedikit banyak nostalgia tentang jurusan kami dulu. Entah itu tentang kabar dosen-dosen, tentang orang yang sama-sama kami kenal, atau yang lainnya. “Nay ...” panggil Mas Iqbal tepat ketika steak di depan kami sudah sama-sama tandas. “Iya, Mas?” “Bagaimana kalau kita saling to the point saja? Sejujurnya saya sulit kalau harus basa-basi. Selain itu, kita juga sudah sama-sama tahu alur pembicaraan ini akan kemana.” “Boleh, Mas. Saya pikir percuma juga kalau basa-basi.” Mas Iqbal mengangguk, lalu dia tampak menegakkan badannya. “Kalau gitu, apa pendapatmu tentang perjodohan ini?” Sebelum menjawab, aku menyeruput minumanku. Meski aku sangat ingin menikah dengan Mas Iqbal, bukan berarti aku akan menunjukkan perasaanku secara terang-terangan. Aku masih memiliki harga diri yang harus dijaga. “Sejujurnya, saya enggak pernah berpikir perjodohan itu cocok untuk saya, Mas. Makanya saya menolak keras pada awalnya. Tapi, dorongan dari orang tua enggak ada habisnya. Jadi, ya sudah. Saya mencoba kooperatif dulu. Itulah kenapa malam ini saya mau datang.” “Ngomong-ngomong, kapan kamu pertama kali tahu kalau saya adalah laki-laki yang akan dijodohkan denganmu?” “Ya baru tadi itu, Mas. Makanya saya kaget.” Aku sengaja jujur, meski tidak terlalu jujur. “Saya kaget karena saya sudah kenal Mas Iqbal sebelumnya.” “Kalau saya, saya tahu itu kamu sejak minggu lalu.” “Lho? Kata Mama saya, pihak laki-laki juga belum tahu karena sama-sama buat kejutan?” Mas Iqbal menggeleng pelan. “Kalau saya enggak diberitahu orangnya lebih dulu, saya enggak mau datang. Jadi, Ayah sama Ibu sudah memberitahu identitasmu sejak minggu lalu.” Ah, begitu rupanya. Pantas saja tadi Mas Iqbal tidak terlihat kaget sama sekali. Dia malah tersenyum santai seolah makan malam tadi adalah makan malam biasa. “Kalau memang begitu, apa pendapat Mas Iqbal setelah tahu kalau saya orangnya? Apalagi Mas Iqbal tahu kalau saya ini adik tingkat.” Mas Iqbal terdiam sesaat, lalu tiba-tiba matanya menatapku lekat. “Di ingatan saya, kamu itu dulu salah satu anggota yang paling aktif. Kamu juga cantik, cukup manis, dan yang jelas kamu itu cerdas. Ya ... begitulah kira-kira.” Mendengar penuturan Mas Iqbal, mataku langsung mengerjap beberapa kali. “M-mas ...” “Kenapa, Nay? Kamu tanya pendapat saya tentang kamu, ya itu jawabannya.” Tiba-tiba saja, mulutku terasa seolah terkunci. Aku kehabisan kata-kata, jadi aku bingung harus membalas apa. Cantik, cukup manis, dan cerdas. Apa betul aku begitu di mata Mas Iqbal? “Nay? Hallo? Kok bengong?” Aku langsung tersadar ketika Mas Iqbal mengibaskan tangan di depan wajahku. Aku buru-buru menggeleng, lalu menyeruput minumanku sampai habis. “Maaf, Mas, maaf!” Aku lihat Mas Iqbal tersenyum, dan entah kenapa senyum itu membuatku jadi malu. Aku malu karena kesannya aku terlalu terlena dengan pendapatnya tentangku. Bisa jadi dia begitu hanya karena ingin membuatku senang. “Jangan anggap saya sedang gombal, Nay. Semua yang saya katakan barusan itu jujur. Jauh sebelum hari ini, atau lebih tepatnya ketika kita bertemu di ruang praktikum, saya sudah me-notice adanya seorang Ainaya Nishfi. Kamu tahu Si Robi teman saya yang juga jadi asdos praktikum kelompok sebelah? Dia sangat menyukaimu. Dia seringkali minta bertukar kelompok, tapi saya tolak mentah-mentah. Enak saja!” Mendengar itu, mau tak mau aku tersenyum. “Mas Robi memang pernah nembak saya waktu dia mau lulus, tapi saya enggak bisa nerima dia karena ... karena saya enggak mau pacaran saat itu.” ‘Lebih tepatnya, karena ada laki-laki lain yang sudah mengambil hatiku. Dan itu kamu, Mas!’ “Sayang kamunya juga kalau sama Robi.” “Kenapa begitu?” “Karena kamu lebih cocok sama saya daripada sama dia.” “Eh?” Senyum Mas Iqbal kembali terbit, lalu matanya mulai menatapku lekat. “Saya menyetujui perjodohan ini, Nay. Kalau kamu juga berkenan, ayo kita menikah!” ***
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD