1. Rencana Orang Tua

1534 Words
“Bu Naya, kapan nyusul?” Pertanyaan itu lagi. Lagi dan lagi, aku mendapatkan pertanyaan yang sama dan dalam konteks yang sama pula. Kapan nyusul? Entah sudah berapa puluh kali aku mendapatkan pertanyaan seperti itu atau minimal yang sejenis. Entah pertanyaan itu dilontarkan karena betul-betul ingin tahu atau sekedar basa-basi, tetapi sometimes terdengar sangat annoying. “Kapan-kapan, Bu.” Aku tersenyum ramah sembari menyerahkan undangan pernikahan milik Pak Rizal yang tadi dititipkan padaku karena ruangannya berada di laboratorium lantai tiga. “Jangan terlalu pilih-pilih, Bu. Sampai kapan pun itu, enggak akan ada yang seratus persen cocok. Kalau suka, gas aja.” Bu Tiwi mengatakan itu sembari menaik turunkan alisnya penuh maksud. “Atau sama Pak Arvin juga boleh. Iya, to, Pak?” Aku melirik Pak Arvin yang sedang sarapan, dan kulihat dia tersenyum sembari menggeleng pelan. “Bu Tiwi ini kebiasaan begitu. Bu Naya itu sudah ada yang punya. Iya, kan?” Aku tidak menjawab dan lebih memilih untuk tersenyum simpul. Aku sengaja, biarkan teman-temanku ini mengartikan sendiri maksud dari senyumku barusan. Setelah selesai menyerahkan undangan pernikahan milik Pak Rizal, aku langsung bergegas menuju mejaku yang terletak di sudut belakang. Aku bersyukur Bu Tiwi tidak lagi meneruskan basa-basinya karena tampaknya dia akan ada kelas sebentar lagi. Pak Arvin juga, dia buru-buru keluar setelah menyelesaikan sarapannya. Ngomong-ngomong, dari seluruh dosen Teknik Industri, tinggal aku dan dan Pak Arvin saja yang belum menikah. Itulah kenapa kami selalu dijodoh-jodohkan tiap kali ada kesempatan. Sayangnya, setampan dan sebaik apa pun Pak Arvin, dia belum juga bisa mengambil hatiku. Hatiku sudah terlanjur diambil oleh laki-laki lain, yakni laki-laki yang aku dengar kini sedang sibuk membesarkan usaha milik kedua orang tuanya. Aku meraih ponsel di tas, lalu kulihat beberapa foto yang selalu kusimpan di salah satu folder khusus. Lihatlah, hanya dengan melihat fotonya saja sudah membuatku begitu bahagia. Dia tampak jauh lebih tampan setelah menyelesaikan studinya di Inggris. Matanya bersinar dan senyumnya menenangkan. Melihat dia tersenyum selebar itu, aku harap dia sudah benar-benar sembuh dari luka di masa lalunya. Luka yang membuatnya menangis sendirian di lantai teratas laboratorium universitas kami dulu. Saat itu dia tidak tahu ada aku yang menemaninya di kejauhan. Aku menemaninya menangisi perempuan lain. Sangat miris, ya? Kalau diingat-ingat, aku memang jadi senaif itu sejak menyukainya secara diam-diam. Perasaan yang dimulai dari rasa kagum, perlahan-lahan terus menguat sampai pada batas yang aku sendiri tidak bisa mendeskripsikannya dengan tepat. Dia mengambil hatiku secara perlahan, tetapi sangat pasti. Caranya bicara, caranya tersenyum, bahkan caranya jalan, aku menyukainya. Semua itu melekat begitu saja di hati dan ingatanku. Drrrt! Lamunanku langsung buyar ketika mendengar ponselku tiba-tiba bergetar panjang. Akhir-akhir ini, telepon dari Mama selalu terasa seperti alarm mimpi buruk. Bagaimana tidak, beliau mulai rewel ingin menjodohkanku dengan anak teman arisan. Sungguh menyebalkan! Mama kira metode perjodohan masih akan worth it untuk anak jaman sekarang? “Hallo, Ma?” sapaku pelan begitu panggilan terhubung. “Kamu ngajar sampai jam berapa, Nay?” “Kelas terakhir jam tigaan. Tapi baru bisa pulang mungkin jam empatan.” “Oke. Nanti Mama pesenin gocar ke salon langganan, ya. Mama tunggu di sana.” “Ngapain ke salon, Ma?” “Kamu ini terus nanya pertanyaan yang sama!” Aku mendengar nada gemas di suara beliau. “Sekalipun kamu terus menolak, tapi Mama tetap ingin kamu ketemu dulu sama anak teman Mama.” “Udah kaya sinetron, sih, pakai dijodoh-jodohin sama anak teman segala.” “Ya siapa tahu hidupmu itu memang kaya sinetron.” “Males banget—“ “Kamu ini lama-lama kurang ajar kalau ngelawan Mama terus!” Nada suara beliau naik, tetapi aku tahu beliau tidak benar-benar marah. “Ya lagian Mama juga yang—“ “Mama tutup. Mama lagi sibuk dan enggak mau ngajak kamu debat.” Telepon tiba-tiba dimatikan. Benar-benar sudah kebiasaan. Mama selalu saja begini. Kalau kiranya sudah malas berargumen, beliau selalu menutup telepon secara mendadak. Bicara perjodohan, sebenarnya ini sudah disinggung sejak tahun lalu. Saat itu aku sudah langsung menolak dan baik Papa ataupun Mama juga belum terlalu menunjukkan niat mereka yang ingin menjodohkanku. Saat itu aku masih tesis, jadi beliau berdua sepertinya ingin aku lulus lebih dulu. Namun, sejak tiga bulan lalu, tepatnya setelah aku mendapat pekerjaan menjadi dosen, ide perjodohan itu kembali disinggung. Kali ini ritmenya langsung brutal dan tanpa ampun. Jujur saja, mau sebrutal apa pun racun dari kedua orang tuaku, aku hanya tidak tertarik dengan yang namanya perjodohan. Bagiku, menikah itu harusnya terjadi di antara dua orang yang saling mencintai dan sudah saling mengenal dengan baik agar meminimalisir konflik di kemudian hari. Lagipula, apa ada jaminan laki-laki yang akan dijodohkan denganku juga mau? Siapa tahu dia juga penganut sekte anti perjodohan sepertiku? Lebih anehnya lagi, ketika di satu sisi Papa dan Mama sudah getol ingin menjodohkanku, tetapi di sisi lain mereka masih menyembunyikan identitas si laki-laki sampai detik ini. Mereka berdalih agar itu menjadi kejutan. Kata mereka, pihak laki-laki pun belum tahu tentang identitasku. Bukankah ini sangat konyol? *** Demi menjaga nama baik Papa dan Mama, akhirnya aku mau ikut acara makan malam kali ini. Sejujurnya, aku merasa seperti akan dijual. Aku dipaksa berdandan seolah akan menghadiri pesta. Ini jelas berlebihan, tetapi Mama memang seperti itu orangnya. Untung saja, baik aku ataupun kakakku tidak ada yang mewarisi sifat beliau yang satu ini. Sekedar informasi saja, aku memiliki seorang kakak laki-laki. Namanya Mas Athar, dan dia sudah menikah. Umur kami terpaut cukup jauh, yakni kisaran dua belas tahun. Sebenarnya aku memiliki dua orang kakak lagi, laki-laki dan perempuan, tetapi keduanya meninggal ketika masih bayi. Mama selalu menangis tiap kali ingat hal ini. “Ma, ini beneran, apa?” tanyaku ketika Papa menghentikan mobilnya di pelataran resto yang cukup terkenal di Jogja. “Sudah sampai sejauh ini, kamu masih menanyakan itu?” “Ngomong-ngomong, yang suka sama aku itu banyak, lho, Ma. Enggak perlu dijodohin, aku pasti dapat suami.” Aku masih berusaha menghindar meski jelas sudah terlambat dan tidak ada gunanya. “Mana? Mana buktinya? Enggak ada laki-laki yang kamu kenalin ke Papa sama Mama. Umurmu itu udah seperempat abad lebih, Nay.” “Ya terus kenapa, Ma? Masih banyak, kok, yang seumuranku belum nikah. Yang di atasku belum nikah juga ada, tuh.” “Gitu terus. Ayo lawan Mama terus!” Aku memutuskan untuk diam karena mengalah. Selain aku tidak ingin durhaka lebih banyak, aku juga malas berdebat dengan Mama. Belum lagi, aku juga lapar. Perihal perjodohan, sebenarnya Mas Athar juga dulu hampir mengalaminya. Namun, dia berhasil menghindar karena dia nekat membawa pacarnya pulang ke rumah. Meski dalam mendapatkan restu tidak mudah, tetapi pada akhirnya Papa dan Mama justru sangat menyukai pacar Mas Athar, atau yang sekarang sudah menjadi istrinya. Namanya Mbak Via, orangnya sangat manis dan kalem. “Jangan bengong, Nay. Ayo jalan. Mejanya ada di pojok sana, pokoknya paling ujung. Cari yang agak privasi.” Mama menarikku agar berjalan lebih cepat. “Pa, tolong aku ...” aku melirik Papa, dan beliau malah menggeleng seolah tak peduli. Ya ... lebih tepatnya Papa ada di pihak Mama, jadi sudah pasti beliau sedang tidak mau mendengarkan keluhanku. Akhirnya, dengan langkah yang sangat berat aku mengikuti ke mana Mama membawaku. Benar kata beliau, di meja paling ujung sudah ada dua orang yang duduk berdampingan. Sebentar ... kok cuma dua orang? Keduanya sudah tua, pula! “Mbak Hesti!” panggil Mama setengah heboh, lalu perempuan setengah baya yang dipanggil ‘Mbak Hesti’ itu tersenyum lebar. “Eh, Dek Dian. Sudah datang?” Selanjutnya, aku tidak begitu memperhatikan basa-basi para orang tua ini dan memilih untuk manggut-manggut sebagai bentuk respon yang paling aman. Aku juga mencoba menjawab ramah ketika ditanya ini itu. Ini kulakukan demi menjaga nama baik Papa dan Mama. Walaupun aku tidak setuju dengan rencana perjodohan ini, bukan berarti aku tega mempermalukan kedua orang tuaku. “Naya ini cantik sekali. Jauh lebih cantik kalau dilihat langsung.” Lagi-lagi Tante Hesti memujiku, dan aku langsung membalasnya dengan senyum simpul ala basa-basi. “Terimakasih, Tante ...” Sedari tadi aku banyak diamnya dan hanya menjawab jika ditanya. Rasanya benar-benar kikuk. Sumpah! “Ngomong-ngomong, Iqbal ke mana, ya, Mbak?” Deg! Iqbal? Anaknya Tante Hesti ini namanya Iqbal? Apa di Jogja memang sebanyak itu orang yang bernama Iqbal? Selalu begini. Jantungku selalu berdetak lebih cepat tiap kali mendengar nama itu. Sekalipun cukup pasaran, tetapi aku sudah terlanjur menancapkan nama itu di hatiku. Ya ... nama laki-laki yang fotonya kusimpan di folder khusus adalah Iqbal, Mas Iqbal. Iqbal Faraz Ekawira. Dia adalah kakak tingkatku kuliah yang juga pernah menjadi asdos praktikumku. Aku mengaguminya sejak saat itu, saat-saat dia begitu tangkas menjelaskan materi dan selalu ramah ketika ditanya. Tidak heran, aku hanyalah salah satu dari puluhan atau bahkan ratusan pengagumnya. “Dia lagi di toilet, Mbak.” “Oh ... oke, oke.” Untuk meredakan detak jantungku yang tiba-tiba menggila, aku mengambil minum dan menyeruputnya perlahan. Sesekali aku juga menarik napas panjang agar lebih tenang. “Selamat malam, Om, Tante ... saya minta maaf, saya agak lama di toilet karena antri.” Suara berat itu membuatku yang tadinya setengah menunduk langsung menegakkan badan. Detik itu juga, aku nyaris menjatuhkan gelas begitu melihat siapa laki-laki berbaju hitam yang kini sedang menarik kursi dan duduk tepat di depanku. Dia tersenyum, sementara mataku melebar kaget. “M-mas Iqbal?” ***
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD