Edo berlari sekencang mungkin untuk mencari Tiara. Ke ruang tunggu, ke tempat administrasi, bahkan sampai ke apotek’ pun wanita itu tidak terlihat.
Tiara tidak ada dimanapun.
Nafasnya terengah-engah dengan keringat yang mulai bermunculan di kening dan dahi. Secepat mungkin mencarinya, namun ternyata wanita itu jauh lebih cepat dari dugaan.
Edo masih mencarinya sampai ke lobi utama, berharap Tiara masih ada di tempat itu, sayang sekali Tiara sudah lenyap dan tidak diketahui kemana perginya. Edo mengusap wajah dengan kasar, menyesal karena ia tidak bisa mencegah Tiara pergi hingga akhirnya ia pun kehilangan jejaknya.
“Sial!” Umpatnya pada diri sendiri, sebab ia tidak bisa menahan kepergian Tiara. Ada hal mendesak yang ingin diketahui Edo saat ini juga, tapi situasi kembali membuat semuanya terasa sulit dan rumit.
Masa lalu mungkin tidak akan membuat keadaan menjadi lebih baik, tapi jika ada sesuatu yang masih tersimpan dan tidak diketahui, sudah seharusnya ia mencari tahu.
Keyakinan itu tiba-tiba saja muncul, padahal sejatinya ia belum melihat sosok itu. Tapi nalurinya mengatakan, Tiara berhasil menyelamatkan anak mereka.
Wanita itu memiliki pendirian yang kuat, terlepas dari kesalahan yang dilakukannya dulu, Tiara adalah wanita yang sangat bertanggung jawab atas perbuatannya. Tidak sekalipun ia mengatakan ingin membuang atau menghilangkan janin yang ada dalam dirinya. Segala bentuk pertentangan dan penolakan yang terjadi pun, tidak pernah melunturkan keinginan Tiara untuk mempertahankan buah hatinya.
“Aku harus mencarinya!” Ucap Edo, lantas ia bergegas menuju area parkir, menuju mobilnya.
Sementara itu di tempat yang tersembunyi, Tiara menghela lega. Akhirnya ia berhasil melarikan diri dari lelaki itu.
Proses administrasi dan pengambilan obat membutuhkan waktu cukup lama, Tiara yakin Edo akan kembali mencarinya dan lelaki itu tidak akan melepaskannya dengan mudah. Namun, Tiara punya seribu cara untuk menghindar, salah satunya dengan bersembunyi di tempat yang tidak mungkin disadari Edo. Benar saja, lelaki itu tidak menyadari keberadaannya dan Tiara bisa menghela lega, usai melihat lelaki itu pergi dari area rumah sakit.
Seharusnya Edo sudah menyelesaikan tugasnya di rumah sakit, yang membuatnya tidak ada lagi alasan untuk berada di sana lebih lama lagi.
“Obatnya sudah?” Tiara kembali menghampiri petugas apotek dimana ia mengambil resep yang diberikan Dokter Ria.
“Sudah.” Wanita berparas cantik itu memberikan satu kantong kecil berisi obat-obatan yang harus dikonsumsi Tiara. “Saya sudah menuliskan dosisnya, dan juga aturan pemakamannya.” Jelas
L wanita itu menunjuk ke arah obat yang sudah diberi tanda olehnya.
“Untuk sementara waktu jangan minum kopi dan makanan yang akan memperparah kondisi lambung.”
Tiara menganggukkan kepalanya.
“Untuk biaya administrasinya sudah dilunasi oleh Dokter Edo.”
“Apa?”
“Benar. Beliau mengatakan membayar biaya tagihan atas nama Tiara Novelita.”
Tiara berdecak. “Aku tidak semiskin dulu, aku sanggup membayarnya.” Gumamnya kesal.
“Terimakasih.” Tiara mengubah ekspresinya dalam sekejap, tersenyum ramah ke arah si petugas.
“Sama-sama, jika ada keluhan dan gejala yang anggap tidak normal, tolong segera hubungi kami.”
“Baik.”
Tiara menghela lemah, menatap ke arah kantong plastik yang kini ada di tangannya.
“Dia pikir aku tidak mampu mengobati diriku sendiri? Cih! Lelaki meremehkan kemampuanku ternyata.”
Tiara merasa tidak terima sesaat setelah mengetahui biaya pengobatan sudah dibayar Edo. Ia merasa lelaki itu masih menganggapnya tidak mampu, padahal saat ini kehidupan Tiara sudah sangat membaik, dari segi finansial tentu saja. Tidak seperti beberapa tahun lalu, saat hidupnya masih sangat bergantung pada keluarga Edo, dimana uang mingguan yang diberikan pun tidak banyak. Hanya cukup untuk kebutuhan sehari-hari, bahkan saat Tiara menginginkan sesuatu untuk memenuhi keinginan ngidamnya saja pun, ia harus menahannya.
Semangkok bubur kacang hijau pun sempat dibencinya, hanya karena tidak mampu membelinya sampai ia harus menahan keinginan tersebut sampai menangis. Padahal harganya tidak lebih dari sepuluh ribu, tapi dalam keadaan tertentu ia benar-benar tidak memiliki uang.
Edo mungkin tidak merasakan kekurangan seperti yang dirasakan Tiara, kebutuhannya dipenuhi oleh kedua orang tua dan kakak perempuannya, sementara Tiara?
Ia harus berhemat, menggunakan uang dengan sangat hati-hati agar ibu mertuanya tidak menganggap ia boros.
Tiara menghela lemah, kenapa akhir-akhir ini ia kerap kembali terjebak dalam memori masa lalu yang sebenarnya ingin sekali dilupakan. Merasa sudah melupakan kejadian pahit yang dialaminya beberapa tahun lalu, tapi sebenarnya ia masih berada di titik yang sama dengan meratapi kekecewaan yang dialaminya.
Dengan menggunakan ojek online, Tiara segera bergegas menuju lokasi acara pernikahan. Dua jam berlalu dan ia pergi tanpa kabar. Ralat, bukan pergi tanpa kabar tapi dipaksa pergi oleh lelaki tidak bertanggung jawab.
Berharap teman-temannya masih ada di lokasi, dan dengan langkah tergesa ia segera mencari mereka.
“Mbak Tiara!” Ajeng berteriak dengan suara nyaring saat melihat sosok yang dicarinya selama dua jam terakhir.
“Mbak Ti, darimana? Kami nyaris saja melaporkan kehilangan Mbak Ti kepolisi.” Ajeng terlihat khawatir, begitu juga dengan beberapa teman lainnya.
“Maaf, buat kalian khawatir. Tapi kondisiku benar-benar drop.” Tiara mengacungkan kantong plastik di tangannya.
“Mbak Ti, dari rumah sakit?”
“Iya. Tadi pingsan di kamar mandi, untung ada orang baik hati yang bawa aku ke rumah sakit.”
“Ya ampun! Kami khawatir banget.”
“Maaf, sudah membuat kalian khawatir.”
“Sekarang Mbak Tiara pulang aja duluan, biar kami yang menyelesaikan semuanya sampai finish.”
Tiara menghela, awalnya ia berencana untuk menolak. Tapi, kebohongan akan semakin sempurna saat ia menuruti keinginan dari rekan kerjanya.
“Nggak apa-apa aku tinggal?”
“Nggak apa-apa, pulang saja. Minum obatnya dan istirahat.”
Tiara hanya mengangguk, walaupun sebenarnya enggan meninggalkan mereka sebelum pekerjaan benar-benar selesai. Tapi sudah terlanjur berbohong.
Setelah memastikan kru bisa ditinggal sampai acara berakhir Tiara pun memutuskan pulang lebih dulu. Untuk pertama kalinya ia meninggalkan kru sebelum pihak klien mengatakan kepuasan atas usaha dan kerja keras Tiara. Tapi khusus hari ini, situasinya benar-benar tidak memungkinkan untuk tetap tinggal.
Di lokasi yang sama, Edo pun sebenarnya kembali ke acara pernikahan Cindy. Meskipun saat dirinya datang, pesta pernikahan itu sudah selesai. Hanya tinggal keluarga inti dan beberapa petugas yang masih tersisa.
“Sorry, telat.” Ucapnya pada sang pengantin.
“Selamat untuk pernikahan kalian.” Lanjutnya menyalami pengantin wanita dan pengantin pria yang menjadi temannya.
“Bukan telat lagi, tapi kayak nggak niat datang.” Sindir Bagas, yang merupakan temannya saat menempuh pendidikan di luar negri.
“Tadi udah datang, tapi tiba-tiba ada urusan mendadak.” Jujur Edo.
“Meskipun gelar Lo dokter, tapi Lo harus bisa bedain saat bertugas dan nggak, Do. Lo terlalu totalitas banget, nggak bisa ada orang sakit dikit langsung angkut ke rumah sakit, padahal Lo nggak lagi tugas.” Sindir Bagas.
“Naluri aja sih, kalau ada orang yang nggak sehat pengen buru-buru nolong.” Balas Edo.
“Dasar!”
Edo menyesap minuman di gelas kecil, sambil memperhatikan sekitar dimana ia mengagumi keindahan dekorasi yang terlihat elegan dan indah, yang tidak lain merupakan karya Tiara.
Memang bukan Tiara seorang yang mengerjakan semuanya dalai terlihat indah memanjakan mata, tapi ide dan desain tentu saja keluar dari kepalanya dimana wanita itu memang sudah mencintai desain sejak masih sekolah dulu.
“Calon istri Lo mana? Kenapa nggak ikut?” Bagas melihat Edo datang seorang diri, padahal ia mengundang serta kekasih Edo, yakni Rima.
“Nggak bisa ikut, ada acara katanya.” Balas Edo.
“Kalian pakai jasa WO TRW juga kan?” Tanya Bagas, yang menyadari Edo tengah memperhatikan sekitar dan terlihat kagum.
“Rencananya sih begitu, nggak tahu kalau nantinya berubah pikiran.”
“Kayaknya nggak berubah pikiran sih, mengingat TRW sangat totalitas dan profesional.”
Edo menganggukkan kepalanya. Rima mungkin tidak akan membatalkan keinginannya untuk mempercayakan hari bahagianya nanti pada TRW, tapi tidak dengan seseorang yang menjadi ujung tombak WO tersebut. Edo yakin, setelah ini Tiara akan semakin sulit ditemui, bahkan mungkin wanita itu akan menggunakan segala cara untuk menghindarinya.
“Santai-santai dulu aja, gue mau ganti baju.” Bagas menepuk pundak Edo.
“Mau langsung malam pertama juga nggak apa-apa, gue mau langsung cabut sih!”
Balas Edo dengan tatapan jahil.
“Sialan Lo!” Umpat Bagas, menepuk pundak Edo lantas pergi menyusul Cindy yang sudah terlebih dulu pergi menuju kamar yang ada di gedung tersebut.
Edo menyusuri setiap sudut ruangan, menikmati keindahan yang tidak hentinya menimbulkan decak kagum dalam hati. Sebuah mahakarya yang begitu luar biasa dari seorang wanita yang sempat mengubur dalam-dalam mimpinya menjadi seorang desain setelah hamil muda.
Di usia yang masih sangat muda, ia dan Tiara menghadapi kenyataan bahwa mereka berdua akan menjadi seorang ayah dan Ibu.
Hinaan dan caci maki seolah menjadi makanan sehari-hari, yang membuat Edo merasa tidak mampu untuk melanjutkan.
Iya, dia sangat pengecut saat itu sampai rela meninggalkan Tiara seorang diri dan lebih memilih untuk melanjutkan pendidikan di luar negri.
Jika wanita itu membencinya setengah mati, wajar saja. Sebuah kesalahan yang dilakukan Edo benar-benar fatal. Bahkan dengan segala penyesalan dan kata maaf pun, tidak akan mengurangi rasa sakit yang dialami Tiara.
Jantungnya berdenyut nyeri, sesal menyeruak hingga membuat nafasnya tercekat.
Kenapa ia tega meninggalkan Tiara saat itu, membuatkannya melewati segala kesulitan seorang diri.