2. Pura-pura

1165 Words
Memasuki bulan Januari intensitas hujan masih cukup tinggi, udara lebih dingin dari biasanya. Secangkir kopi siap mengawali hari, seperti biasanya Tiara memilih kopi hitam tanpa gula sebagai salah satu minuman favoritnya. Bukan karena ia sedang dalam proses menurunkan berat badan, bukan juga tidak menyukai perasa manis yang dapat menambah cita rasa dalam secangkir kopi miliknya, tapi Tiara ingin mengingatkan pada dirinya sendiri, secangkir kopi pahit tidak ada apa-apanya dengan kehidupan yang dijalaninya selama ini. Sulit melupakan kenangan masa lalu, yang terus memeluk erat tubuhnya setiap detik, setiap kali ia bernafas. “Mbak Ti,” suara nyaring Ajeng memenuhi indra pendengaran Tira. Anak itu memang memiliki suara yang sangat nyaring. Tiara menoleh, menatap setiap langkah Ajeng. “Mbak Ti, udah siap?” Tanyanya, padahal Tiara sudah sampai sejak dua puluh menit lalu, jauh lebih dulu darinya, yang artinya Tiara sudah siap dengan jadwal hari ini. “Udah.” Tiara menyesap kopinya sampai habis, menyisakan ampas yang mengendap di bagian bawah “Ini konsepnya. Masih mentah dan butuh banyak evaluasi.” Ajeng menunjuk iPad pada Tiara. “White garden party?” Tanya Tiara, setelah membaca sekilas catatan Ajeng “Iya. Nggak banyak permintaan, tapi dia minta semuanya bernuansa putih dengan full bunga asli.” Tiara mengangguk, konsep seperti itu memang sedang tren saat ini. Konsep sederhana tapi memiliki tingkat kesulitan yang cukup tinggi. “Calon pengantin minta ketemu hari ini, di cafe Dream. Katanya si calon suami nggak punya banyak waktu alias super sibuk, jadi dia minta kita datang tepat waktu.” Tiara berdecak. “Memangnya kapan aku nggak tepat waktu.” Ia meraih tas selempang miliknya, yang diletakkan asa di atas sofa. “Ayo,” ajaknya. “Mbak Ti yang nyetir, Tanto ada urusan sama Madam Ida.” Tiara menghela, “Baiklah, ambil kunci mobilnya. Kita berangkat sekarang.” Ajeng mengangguk, mengambil beberapa perlengkapan seperti buku catatan, brosur dan katalog sebagai contoh dan referensi jika si calon pengantin merasa sedikit kebingungan dengan konsep pernikahan yang diinginkan. Perjalanan menuju lokasi diiringi rintik hujan, beruntung situasi jalan cukup lengang dan lancar sampai akhirnya mereka sampai di lokasi lebih cepat dari perkiraan. Tiara dan Ajeng duduk di salah satu meja yang letaknya dekat dengan jendela besar menghadap ke arah jalan. Tiara menatap ke arah jendela, melihat banyak pemandangan yang menurutnya sangat menarik. Sepasang suami istri dengan anak kecil yang berada dalam gendongan sang ibu adalah salah satu pemandangan yang paling menyita perhatian Tiara. Bagaimana seorang suami yang berusaha melindungi istrinya dari hujan, sementara sang ibu melindungi anaknya dari kedinginan. Dingin dan hangat, dua hal yang menyentuh hati Tiara secara bersamaan. Mereka tidak memiliki mobil, kendaraan yang bisa melindungi mereka dari hujan dan panas. Tapi mereka memiliki rasa cinta yang tidak semua orang miliki, kesederhanaan yang membuat Tiara iri sebab ia tidak bisa merasakannya. Kehidupannya saat ini jauh lebih baik, bahkan ia nyaris memiliki segalanya yang dulu dianggap tidak mungkin, tapi hatinya kosong, benar-benar kosong. Setelah perceraian beberapa tahun lalu, dimana lelaki itu telah merampas kebahagiaan dalam hidupnya. Bahkan Tiara nyaris lupa bagaimana caranya tersenyum dan bahagia. “Aku nggak suka musim hujan.” Suara Ajeng membuyarkan lamunannya. “Pakaian nggak kering, setiap hari pulang kehujanan.” Keluhnya, dengan membawa dua cangkir kopi panas, satu untuk Tiara dan satu untuknya. “Sendu aja bawaannya, nggak ceria seperti musim kemarau.” Tiara hanya tersenyum, menyesap kopi hitam miliknya. “Kamu nambahin gula?” Tanya Tiara saat merasa sensasi manis dalam kopi miliknya. “Iya. Gula sehat, Mbak. Sesekali jangan minum kopi hitam terus, cobain deh minum kopi pakai gula, creamer, atau s**u almond. Enah tau!” Ajeng tersenyum jahil. “Nggak sehat.” Balas Tiara. “Tapi enak!” Tiara hanya menghela lemah, terpaksa menikmati kopi yang tidak lagi pahit seperti biasanya. “Mbak, kalau proyek kita kali ini berhasil, aku jamin nama Mbak Tiara dan Madam Ida akan semakin dikenal banyak orang.” “Kenapa emang?” Tanya Tiara. “Calon klien kita kali ini teman baiknya Kamila, selebgram terkenal yang pernikahannya sempat viral enam bulan lalu.” Tiara ingat, enam bulan lalu untuk pertama kalinya ia mendapat proyek besar. Kamila Syahida, seorang selebgram ternama mempercayakan hari bahagianya pada The Royal Wedding, milik Ida Santoso yang tidak lain merupakan tempat dimana Tiara bekerja saat ini. Saat itu, Tiara dipercaya untuk mendekor gedung dan menjadi WO untuk pernikahan Kamila. Hasilnya sangat memuaskan, pernikahan Kamila mendapatkan banyak respon positif, hampir semua orang mengagumi keindahan konsep, dekorasi, sampai susunan acara yang tertata dengan sangat baik. Kesuksesan itu pula yang membuat TRW semakin dikenal luas dan banyak calon pengantin yang mempercayakan hari bahagianya pada TRW. “Oh, teman baik Kamila Syahida.” Tiara mengangguk, “Pantesan aja Madam begitu antusias.” “Bukan cuman karena teman Kamila, tapi katanya klien kali ini anak dari teman baik Madam Ida.” “Madam unjuk gigi dong ya, apalagi untuk teman baiknya.” Tiara terkekeh. “Iya. Acaranya masih lima bulan lagi, tapi Madam sibuk dari sekarang.” “Prepare untuk acara bahagia anak temannya, harus sempurna.” balas Tiara. Entah mengapa Madam Ida mempercayakan banyak hal padanya, padahal Tiara tidak memiliki pendidikan yang mumpuni sebagai desain interior apalagi untuk acara sebesar pernikahan. Ia hanya lulusan sekolah menengah atas, tidak sempat melanjutkan pendidikan ke jenjang yang lebih tinggi, sebab Tiara hamil di usia masih sangat muda. Kehamilan menghancurkan mimpinya, sekaligus rencana-rencana dalam hidupnya yang sudah disusun sedemikian rupa. “Iya. Tapi lihat deh Mbak,” Ajeng kembali menunjukkan iPad, dimana catatannya berada. “Hari pernikahannya sama dengan hari ulang tahun Davina.” Tiara mengamati dengan seksama, tanggal pernikahan calon kliennya dan tanggal ulang tahun Davina putrinya sama persis. “Iya, sama.” “Mbak akan sangat sibuk nantinya, nggak apa-apa?” “Nggak apa-apa, Davina bisa ulang tahun setelah acaranya selesai.” Gadis kecilnya itu sangat pengertian, ia tidak pernah menuntut atau meminta hal-hal yang tidak bisa dikabulkan oleh ibunya. Davina memang sebaik itu, yang membuat Tiara tidak tega membuatnya kecewa. Dari banyak hal yang disesali, hanya Davina yang tidak pernah disesalinya. Bagi Tiara, Davina adakah anugerah yang tidak ternilai dan begitu istimewa selain anak itu memang istimewa karena di usianya yang menginjak lima tahun, Davina belum lancar berbicara. Hampir dua puluh menit menunggu, bahkan Tiara sudah menghabiskan kopi dan sepotong kue tapi si calon pengantin belum juga datang. Sampai Tiara melihat sosok yang begitu dikenalnya muncul dari balik pintu. Ia tidak sendirian, tapi bersama seorang wanita muda, yang bergelayut manja di lengannya. Jantung Tiara berdetak lebih kencang, bahkan tubuhnya mulai bergetar. Beberapa kali ia sempat menggelengkan kepalanya, berusaha untuk menghilangkan mimpi buruk yang terus menghantui pikirannya. “Nggak mungkin.” Ucapnya pelan, berusaha tetap tenang. “Nggak mungkin dia.” Lanjutnya. Langkah keduanya semakin dekat, menuju ke arah Tiara. Ia berusaha menyembunyikan wajahnya dengan menundukkan kepala. Tidak mungkin mereka adalah calon pengantin yang akan menjadi kliennya. Sangat mustahil! “Mbak, itu calon pengantinnya sudah datang Mbak Rima dan Dokter Edo.” Tapi ucapan Ajeng benar-benar mematahkan segalanya. Dia, lelaki yang sangat dihindari nya selama enam tahun ini kembali muncul dengan status sebagai kliennya. Lelucon apalagi ini?!
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD