Beberapa hari berlalu, Edo benar-benar merasa sangat tidak nyaman dengan perasaan sendiri. Selain ingin tahu, juga ingin segera memastikan apakah benar selama ini Tiara berhasil melahirkan buah hati mereka ke dunia?
Kesibukan yang begitu padat membuatnya sulit untuk mencari tahu sendiri, tapi tentu saja Edo tidak hanya berdiam diri tanpa melakukan apapun. Diam-diam ia meminta seseorang untuk mencari tahu dimana tempat tinggal Tiara.
Hanya butuh waktu satu hari saja, akhirnya Edo berhasil mendapatkan alamat tempat tinggal Tiara lengkap dengan informasi yang sangat diinginkannya.
Tiara tinggal di salah satu kompleks perumahan Duren sawit, lokasi yang sangat strategis dengan lingkungan yang juga masih sangat asri. Memang bukan komplek perumahan besar seperti yang ditempatinya bersama keluarga, tapi kediaman Tiara pun sudah termasuk kelas menengah ke atas.
Selain itu, Edo juga mendapati kabar bahwa saat ini Tiara tinggal bersama kedua orang tuanya, yang tidak lain adalah mantan mertuanya dulu, dan juga bersama seorang anak kecil bernama Davina.
Orang suruhannya itu berhasil mengambil gambar Davina, gadis kecil berkuncir dua yang memiliki senyum manis itu berhasil menghipnotis Edo hanya dengan melihat gambarnya saja. Senyumnya, dan sorot matanya yang terlihat jernih semakin membuat Edo yakin, gadis itu adalah putrinya.
Mengapa ia bisa seyakin itu, padahal bisa saja Tiara menikah selang beberapa bulan setelah bercerai dengannya, atau mungkin satu tahun setelah mereka berpisah, tapi Edo adalah seorang dokter. Meski gelarnya bukan Dokter obgyn, yang bisa menghitung awal kehamilan sampai melahirkan, tapi ia hidup di lingkungan Dokter, sudah pasti informasi tersebut bisa didapatkan dengan sangat mudah.
“Kemungkinannya sangat besar, kalau anak itu adalah anak kandung temanmu. Dihitung dari usia kehamilan saat berpisah, sampai hari ini, pas. Usianya lima sampai enam tahun. Kalaupun si wanita menikah, jarak dari menikah, hamil dan sampai melahirkan bisa satu tahun, kurang lebih atau sepuluh bulan. Bisa dipastikan si anak saat ini baru menginjak usia tiga tahunan.” Penjelasan Dini, dokter obgyn di rumah sakit yang sama dengannya membuat senyum Edo mengembang sempurna.
“Temanku juga yakin, itu anaknya.” Ia tidak bisa menutupi kebahagiaan yang terlihat jelas di wajahnya.
“Kenapa kamu kelihatan seneng banget?” Selidik Dini, menatap dengan melipat kedua tangannya di d**a.
“Aku hanya turut bahagia saja, akhirnya temanku sudah memiliki anak dan mantan istrinya berhasil melahirkan anak tersebut.”
Edo tentu saja tidak mau jujur.
Menceritakan masa lalu yang pernah terjadi dalam hidupnya hanya akan membuat ia dibenci oleh beberapa dokter wanita di rumah sakit tersebut.
“Yakin mantan istrinya mau berbaik hati dan kasih izin temanmu itu untuk ketemu anaknya?”
“Kenapa nggak boleh? Itu anak dia, kan?”
Dini berdecak kesal, serta menggelengkan kepalanya.
“Temen kamu itu naif banget, setelah sekian lama berpisah dan nggak tahu mantan istrinya hamil bahkan sampai melahirkan, tiba-tiba datang dan mengaku sebagai ayah kandung si anak? Hah,,, lucu sekali. Yang ada temanmu itu di usir.”
“Masa sih?!”
Dini menatap kesal ke arah Edo. “Lelaki yang udah buang istrinya dalam keadaan hamil, tiba-tiba datang dan ingin diakui sebagai ayah, lelaki jenis apa itu, jika bukan lelaki gila?! Kalau aku jadi wanita itu, nggak bakalan aku kasih kesempatan anak gue ketemu bapaknya. Nggak!” Tegas Dini dengan sungguh-sungguh.
“Lelaki kayak banci gitu nggak berhak dipanggil ayah. Suruh aja pakai rok!”
Dini terkekeh, namun senyumnya perlahan memudar saat melihat ekspresi Edo yang tampak tidak terima dengan ucapannya.
“Tunggu dulu,” Dini mengangkat satu tangannya. “Kamu lagi ngomongin diri sendiri atau temanmu itu sih?”
“Teman.” Balas Edo singkat, sambil menghabiskan minuman kaleng.
“Kenapa kamu kelihatan nggak terima? Seharusnya kamu bisa nasehatin teman kamu itu, supaya bersikap lebih bijak saat hendak meninggalkan istrinya.”
Edo menoleh, “Dulu mereka menikah muda, istrinya hamil dan dokter bilang janin dalam kandungannya nggak berkembang dengan baik, dokter menyarankan untuk aborsi.” Edo menghela lemah, seharusnya ia tidak perlu menceritakan hal tersebut sampai detail, tapi nalurinya untuk membela diri tetap saja ada. Padahal kenyataannya ia tetap salah, apapun alasan yang digunakannya tetap tidak akan membenarkan sikap dan perbuatannya dulu.
“Janinnya nggak berkembang dengan sempurna? Tapi itu anak bisa lahir dengan selamat bahkan sampai usia enam tahun.”
“Nggak tahu! Dulu hasil pemeriksaan memang seperti itu.”
Kening Dini mengerut.
“Dimana teman kamu periksa kandungannya?”
“Di rumah sakit Bunda,” jawab Edo, menoleh dengan tatapan menyelidik ke arah Dini. “Kenapa kamu tanya sampai sedetil itu?” Selidiknya.
“Nggak ada, cuman inget seseorang aja sih. Kejadian teman kamu ingetin aku sama kejadian beberapa tahun lalu, mungkin sekitar enam tahun lebih. Rentang waktu yang nyaris sama, tapi aku harap hanya kisah serupa dengan orang yang berbeda. Sebab jika ternyata orang yang sama, aku akan meyakini istilah dunia ini sempit dan hanya sebesar telapak tangan.”
Kini giliran Edo yang terlihat penasaran. “Apa? Coba ceritakan.”
“Nggak usah lah, itu cerita lama nggak baik mengungkit masa lalu.”
“Ayolah, kamu teman baikku disini setelah si Bagas. Kita udah saling terbuka, kan?” Bujuk Edo
“Kasusnya yang menimpa kakak ku, Tantri. Sampai di akhirnya dia di pindahkan ke rumah sakit pedalaman sampai sekarang.”
“Apa? Aku nggak pernah dengar.”
“Kakak ku merasa bersalah karena telah memberikan informasi palsu pada seseorang, tapi ia pun tidak bermaksud untuk membohongi nya. Karena terpaksa dan tekanan dari seorang senior, akhirnya ia memberikan informasi palsu.”
Dini tersenyum. “Aku harap temanmu itu bukan orang yang sama, yang mendapatkan informasi palsu dari kakakku, sebab jika itu terjadi masalah ini akan kembali muncul ke permukaan dan menyeret nama besar lain yang terlibat.”
“Kayaknya beda orang sih, temen aku itu sempet tinggal di luar kota saat hamil besar dan melahirkan di sana.”
Dini menghela lega. “Syukurlah kalau bukan orang yang sama, sebab jika benar terjadi, calon ibu mertuamu pun akan terseret kasus ini.”
“Apa?!”
Dini menepuk pundak Edo. “Tenang, dokter Dena punya banyak orang yang akan melindunginya, dia termasuk salah satu manusia kebal hukum, nggak perlu khawatir. Nama baik kalian akan tetap terjaga dan perikanan Lo akan berjalan lancar.”
Dini tersenyum. “Salam buat temen kamu ya, aku yakin dia perempuan yang sangat luar biasa.”
Dini pun segera bergegas menuju ke ruang kerjanya, begitu juga dengan Edo.
Entah hanya sebuah kebetulan atau mungkin memang ada hubungannya dengan kejadian dulu, tapi Edo tidak sempat memikirkan itu, tujuan utama saat ini adalah memastikan Davina adalah putrinya. Edo tidak mungkin salah.
Sementara itu di tempat lain,,,
“Mbak Tiara ada tamu.” Ajeng menghampiri Tiara di meja kerjanya. Tiara melepas kacamata dan memijat sebentar pangkal hidungnya.
“Siapa?” Tanyanya, sebab tidak merasa memiliki janji dengan siapapun hari ini, bahkan untuk beberapa hari kedepan.
Pertemuan dengan klien hanya ada di hari Rabu, dan masih beberapa hari dari sekarang.
“Mbak Tiara ada janji dengan Dokter Edo?” Ajeng mendekat dengan suara berbisik.
“Nggak ada. Ngapain dia disini?” Sinis Tiara.
“Nggak tahu, katanya ada penting dan ingin bertemu dengan Mbak Tiara.”
Tiara menghela, untuk apa lelaki itu datang sampai ke kantor.
“Bilang padanya, aku sibuk.”
“Dokter Edo bilang, akan menunggu sampai Mbak Tiara selesai kerja.”
“Apa?! Gila atau gimana itu orang?!” Kesalnya yang semakin meningkat.
Tahu, Tiara pasti akan menolak bertemu dengannya, Edo pun sudah menyiapkan waktu lebih lama untuk menunggu.
“Aku nggak mau ketemu dia di jam kerja seperti sekarang, terserah mau nunggu atau nggak, itu urusan dia. Lagipula urusan pernikahan dia sudah ditangani Ayu, jadi aku nggak punya alasan untuk bertemu dengannya.”
Ajeng meringis pelan. “Baik, Mbak. Akan saya sampaikan.”
Tiara adalah sosok yang sangat keras, kerap bersikap tegas dalam beberapa situasi. Keputusannya tidak akan berubah, walau dipaksa atau di bujuk sekalipun.
Begitu juga dengan hari ini, saat ia menolak bertemu Edo, maka Tiara tidak akan menemuinya, apapun alasannya.
Bahkan setelah Edo menunggu kurang lebih dua jam, Tiara tetap berada di dalam ruang kerjanya tanpa merasa terganggu. . sekilas mungkin tidak terlihat terganggu tapi hatinya benar-benar dibuat tidak nyaman, apalagi setelah tahu Edo masih saja menunggunya.