13. Kebencian

1123 Words
“Nggak bisa, sibuk banget. Sorry.” Edo mengatakannya dengan penuh penyesalan, agar seseorang yang ada di seberang sana mengerti bahwa ia tidak bisa ikut hadir bukan karena tidak mau, tapi karena sibuk. Padahal ia memang tidak berniat ingin datang. Menghadiri acara reuni adalah salah satu hal yang paling dihindarinya selama ini, bukan karena Edo merasa belum sukses seperti beberapa orang yang memang tidak beruntung di dunia kerja, tapi karena Edo kerap enggan menjawab pertanyaan yang bersifat pribadi. Terkadang masih banyak diantara temannya itu yang masih penasaran dengan kisah singkat rumah tangganya. Mereka jelas tahu, akhirnya Edo dan Tiara gagal membina rumah tangga, tapi tidak sedikit dari mereka bersikap sok simpati dan menyesalkan keputusan Edo mengakhiri rumah tangganya. “Ayolah, Do. Masa nggak bisa,” bujuk Selvia dari seberang sana, melalui sambungan telepon. “Maaf sekali Selvi, aku nggak bisa.” Tolaknya untuk yang kesekian kali. “Masih nggak ada waktu sebentar, kita semua juga udah punya kesibukan masing-masing, tapi kami masih menyempatkan waktu untuk bertemu dengan teman-teman waktu zaman putih abu-abu.” Selvi tetap berusaha membujuk, walaupun sejak awal Edo sudah menolaknya dengan alasan sibuk. “Bahkan Tiara aja yang nggak pernah hadir di acara reuni, kali ini bersedia hadir.” Selvi sepertinya sengaja menggunakan Tiara sebagai pancingan, dengan harapan Edo bersedia hadir. “Kamu nggak penasaran sama mantan istri kamu itu, yang semakin hari makin cantik aja.” Godanya. “Dan kamu bisa bawa calon istrimu, soalnya Tiara juga bawa pacar barunya yang super ganteng.” Selvi terkekeh, dimana Edo justru memijat pangkal hidungnya sebab tiba-tiba saja ia merasa begitu penting. “Pokoknya kamu harus datang ya, Do. Kami tunggu, untuk undangan dan waktunya aku kirim via email, ya?” Edo hanya menggumam pelan sebagai jawaban. Seharusnya Selvi tidak perlu mengatakan itu sebagai cara untuk membujuknya, sebab cara tersebut benar-benar ampuh membuatnya ingin menghadiri acara reuni yang semua sangat dihindarinya. Edo benar-benar penasaran dengan kehidupan Tiara, termasuk kehidupan pribadinya. Apakah setelah bercerai dulu, ia tidak pernah lagi menikah atau menjalin hubungan dengan lelaki lain? Satu minggu berlalu dan setelah kejadian waktu itu Edo tidak pernah lagi menghubungi atau menemui Tiara. Ia membiarkan wanita itu tenang terlebih dahulu, sebab Tiara akan semakin menolak dan membencinya jika ia tetap memaksa. Seorang wanita turun dari mobil mewah di lobi rumah sakit. Penampilannya begitu mencolok dengan kacamata hitam yang menutupi sebagian wajahnya. Kedatangannya ke rumah sakit bukan untuk berobat atau memeriksakan kesehatannya, tapi untuk menemui sang kekasih. Dala kesehariannya, wanita itu memang kerap berpenampilan menarik. Kecantikan paripurna adalah keharusan dalam setiap harinya. Mungkin sejak pertama kali mengenalnya, Edo tidak pernah melihat Rima dengan penampilan biasa. Ia selalu terlihat memukau, memanjakan mata. Lambaian tangan wanita itu mengarah padanya, dengan senyum lebar yang membuat kecantikannya bertambah dua kali lipat. Apakah Edo menyukai wanita itu karena kecantikan yang ada dalam dirinya? Tentu saja bukan. Tapi karena hubungan kedua orang tuanya sangat dekat dan Edo berpikir tidak ada salahnya menjalin hubungan dengan wanita yang sudah dikenalnya sejak kecil itu. Berhubungan dengan seseorang yang sudah lama dikenal tidak terlalu buruk, setidaknya Edo tidak perlu mencari tahu bagaimana sifat dan kebiasaannya. “Macet banget ya ampun,” keluh wanita itu, saat jarak diantara keduanya sudah sangat dekat. “Jakarta memang selalu macet, kecuali idul Fitri tentu saja.” Balas Edo. “Aku kira nggak semacet ini.” Rima merangkul satu tangan Edo, bergelayut manja di lengannya. Edo hanya tersenyum saja. Mungkin karena Rima lebih banyak menghabiskan waktu di luar negri bahkan sejak kecil wanita itu tinggal di sana, membuatnya tidak terbiasa dengan situasi Jakarta dengan segala kemacetan yang ada. “Sudah makan?” Tanya Edo. “Belum. Lapar sekali,” rengeknya. “Mau makan di kantin? Aku nggak punya banyak waktu.” Edo melihat jam di pergelangan tangannya, ia masih memiliki satu jam waktu untuk beristirahat. “Boleh. Aku suka makanan kantin.” . Edo mengangguk, menggandeng Rima ke kantin untuk mencari makanan di sana. Rima bukan tipe wanita rewel khas anak orang kaya, yang selalu meributkan hal-hal sepele, seperti makanan. Dia tipikal wanita yang sangat mudah berbaur dengan siapapun, salah satu nilai tambah untuknya yang membuat Edo merasa cukup nyaman ada di dekatnya. “Aku pesan banyak makanan, nggak apa-apa, kan?” Wanita itu memesan mie ayam, batagor, dan siomay dalam porsi besar. Tidak lupa ia pun memesan dua minuman dingin, es teh manis dan es jeruk. “Aku belum makan sejak kemarin.” Keluhnya, dengan mulut penuh makanan “Kenapa? Kehabisan stok makanan?” Salah satu hal yang tidak mungkin terjadi, sebab keluarga Rima sangat berkecukupan. Tidak mungkin juga kedua orang tuanya membiarkan anak kesayangannya kelaparan sejak kemarin. “Bukan. Aku kesal sama Ibu,” Rima menghela lemah. Sangat jarang terjadi hubungan anak dan ibu itu memburuk. Mereka sangat dekat satu sama lain. “Kenapa?” Tanya Edo, dengan satu tangan menusuk siomay menggunakan garpu. “Kamu tahu, Ibu minta aku ganti Wo.” Kekesalan terlihat jelas di wajah Rima. “Kenapa minta ganti? Bukannya Ibu yang minta kita ke Madam Ida dan menyarankannya sejak awal.” Rima mengangguk, mulutnya penuh makanan.. “Iya. Tiba-tiba aja Ibu minta ganti WO. Kan, bikin kesel.” Kening Edo mengerut. “Kenapa sangat mendadak?” Sangat mencurigakan, sebab Dena dan Madam Ida berteman baik. Keduanya saling mendukung satu sama lain sejak dulu, dan tidak mungkin keduanya saling mengecewakan. Untuk acara pernikahan Rima yang dianggap sebagai anak sendiri oleh Madam Ida, tentu saja Madam sudah menyiapkan segala persiapan dengan sangat matang. Bahkan Madam pun tidak kalah antusiasnya seperti Dena, karena menganggap pernikahan Rima harus menjadi yang terbaik tahun ini. Tapi, tiba-tiba saja Dena ingin menggantinya secara mendadak. Sangat tidak masuk akal dan mencurigakan. “Nggak tahu. Bahkan saat aku tanya alasannya, Ibu nggak kasih penjelasan yang bisa bikin aku paham. Kalau misal ada yang nggak suka, harus jelas dan bisa aku mengerti kalau mendadak kayak gini bukannya setuju tapi malah bikin aku bingung.” Edo mengangguk. Mempercayakan acara besar pada salah satu WO tidak mudah. Selain keja sama tim yang bisa diandalkan, juga kedua belah pihak harus saling percaya dan berkomunikasi dengan baik. Dari sekarang sampai waktu pernikahan nanti yang sudah direncanakan sejak lama memang masih tersisa waktu kurang lebih lima bulan, tapi panjangnya waktu tidak akan menjamin acara berlangsung dengan baik dan sempurna sesuai keinginannya. “Aku udah cocok sama Madam Ida dan tim, apalagi sama Mbak Tiara. Dia sangat profesional dan selalu kasih pilihan lain kalau aku ngerasa nggak cocok.” Rima menghela lemah. “Nggak biasanya ibu begini, tiba-tiba aja.”lanjutnya dengan kesal. “Mungkin bisa dibicarakan lagi, apa alasan ibu mendadak seperti ini.” “Aku udah terlanjur kesal. Alasannya nggak logis banget, katanya nggak suka sama Tiara. Alasan macam apa itu?! Memangnya Ibu yang mau menikah, ibu yang terlibat secara langsung dengan Mbak Tiara, kan nggak!”
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD