Secangkir kopi hitam kerap menjadi minuman favorit Tiara dikala memulai hari. Pekat yang pahit. Ia sudah meninggalkan semua varian kopi yang manis sejak… entahlah, mungkin sejak ia kehilangan berbagai hal yang manis dalam hidupnya.
Tiara menghembuskan nafas kesal. Ini benar-benar terlalu pagi untuk sebuah kenangan sepahit kopinya.
“Mbak Ti,” suara nyaring yang sudah sangat familiar di telinga Tiara kembali terdengar. Bahkan tanpa menoleh pun, Tiara sudah tahu siapa pemilik suara tersebut.
Ajeng, Tanto, dan Ayu.
“Kopi hitam lagi?” Ajeng menyipitkan kedua matanya, menatap tidak suka ke arah gelas plastik yang ada di tangan Tiara
“Sama roti,” Tiara menunjuk ke arah bungkus roti yang masih tinggal separuh itu. Ajeng selalu nampak kesal setiap kali melihat Tiara minum kopi pahit tanpa gula. Setelah kejadian beberapa waktu lalu, dimana Tiara muntah-muntah setelah menghabiskan dua gelas kopi dalam rentang waktu yang sangat berdekatan. Ajeng menganggap itu adalah sinyal dari tubuh Tiara, bahwa lambungnya bermasalah. Tapi sebenarnya bukan hanya lambung yang bermasalah, tapi juga hatinya.
“Kalian udah sarapan?” Tanya Tiara pada ketiga temannya.
“Kami sarapan di lokasi aja, biar hemat uang jajan.” Balas Ayu dengan senyum jahil.
“Baiklah. Ayo, kita berangkat.”
Masih sangat pagi, sekitar pukul tujuh tapi mereka berempat harus segera menuju lokasi dimana sepasang kekasih akan melangsungkan hari bahagianya hari ini.
Bukan pernikahan Rima dan Edo, mereka masih dalam tahap persiapan.
Tiara memiliki klien dalam beberapa bulan kedepan, bisa dipastikan jadwalnya benar-benar sibuk.
“Masih dengan musim hujan.” Keluh Ajeng, yang sudah beberapa kali mengeluhkan tentang dirinya yang tidak menyukai hujan.
“Cucian nggak kering, Jeng?” Tanya Tanto dengan nada jahil.
“Iya, pulang kehujanan dan pakaian nggak kering.” Keluhannya masih sama, hanya tentang pakaian tidak kering dan pulang kehujanan. Tapi diam-diam Tiara pun menghela lemah. Ada kenangan tentang hujan yang selalu berhasil membuatnya harus menarik nafas panjang dan dalam untuk mengusir rasa panas dalam mata. Panas yang memang tak pernah sampai menjelma tangis, tapi selalu berhasil melemparkannya pada ingatan yang akan membuat Tiara memegang d**a.
“Mbak Ti, baik-baik aja?”
Ajeng adalah pengamat yang baik, setiap perubahan yang terjadi pada diri Tiara selalu berhasil disadarinya.
“Akhir-akhir ini Mbak Ti kelihatan nggak bersemangat.”
“Masa sih?” Tiara berusaha tersenyum, menepuk pelan wajah dengan kedua tangannya.
“Capek aja mungkin, akhir-akhir ini banyak banget kerjaan.” Alasan yang sama, yang kerap digunakan Tiara. Tapi jika dipikir ulang, ia memang selalu menyibukkan diri dengan bekerja. Melakukan hal-hal dengan baik, meminimalisir kesalahan yang terjadi sampai tubuhnya merasa lelah dan begitu sampai ke rumah yang perlu dilakukan hanyalah tidur bersama malaikat kecilnya. Gila kerja sudah dilakukannya sejak lama, dengan begitu ia bisa mengalihkan pikirannya dari hal-hal yang kerap membuat Tiara terus memikirkan kejadian lalu. Tidak pantas untuk selalu diingat, namun masih saja tersimpan abadi dalam hatinya.
Namun, skenarionya sekarang berubah, dimana pekerjaan yang selalu dianggap mampu mengalihkan perhatian, justru seolah kembali menguak luka lama. Mengoreknya kembali hingga Tiara hafal setiap gores luka yang dirasakannya dulu. Itu menjadi dilema besar dalam hidupnya, saat dituntut profesional dan menahan luka dalam hati di waktu yang bersamaan.
“Coba periksa dulu ke dokter, siapa tahu asam lambungnya kumat.”
“Iya, nanti setelah acara ini selesai.”
“Besok aja. Kita nggak ada jadwal kan?”
Tiara mengangguk. “Iya, besok saja.”
Entah benar atau tidak asam lambungnya naik, tapi yang pasti saat ini Tiara kerap dilanda perasaan tidak nyaman, takut dan cemas.
Lokasi pernikahan kali ini berada di salah satu gedung serba guna karya bakti, gedung yang kerap digunakan oleh beberapa orang untuk melangsungkan acara penting, seperti pernikahan atau ulang tahun. Tiara dan tim yang lain berhasil menyulap tempat tersebut menjadi seperti taman bunga dengan tema burgundy, warna yang sedang naik daun di awal tahun ini.
Tiara dan ketiga temannya bertugas mengawal acara dari awal sampai akhir memastikan acara tersebut berjalan dengan lancar. Pihak Tiara bekerjasama dengan beberapa pihak, termasuk MC, catering dan band yang bertugas meramaikan acara. Ijab kabul sudah dilaksanakan kemarin, untuk hari ini hanya ada resepsi saja.
“Siap?” Tiara menghampiri si pengantin wanita yang sudah terlihat cantik mengenakan gaun modern berwarna burgundy, sesuai tema pernikahan yang diinginkannya.
“Sudah,” jawabnya singkat. Beberapa kali bertemu sejak awal menghubungi TRW, wanita bernama Cindy itu sangat ramah, murahan senyum dan bisa diajak diskusi dengan baik. Namun hari ini, hari yang seharusnya bisa membuat ia tersenyum bahagia justru membuatnya murung da terlihat kesal.
“Kenapa? Gugup?” Tanya Tiara, semakin mendekati Cindy. Di ruang yang sama pun ada di suami yang sudah siap dengan penampilan tidak kalah memukau. Tapi keduanya duduk berjauhan, yang membuat Tiara menyadari satu hal. Mereka baru saja bertengkar.
“Tenang, jangan panik apalagi gugu. Mau minum?” Tiara menawarkan minum, dengan harapan si pengantin bisa lebih tenang.
“Minum dulu. Tarik nafas dan buang secara perlahan.”
Saran Tiara dilakukan Cindy, tapi yang membuat Tiara terkejut yakni saat melihat kedua mata Cindy memerah dan wanita itu menangis.
Tiara menatapnya dengan tatapan sedih. “Hei, jangan nangis.” Tiara memberikan selembar tisu padanya.
“Aku nggak tahu apa yang membuatmu bisa sesedih ini, tapi kamu sudah melakukannya sejauh ini. Kamu hebat, kamu kuat. Lihat di luar sana, semua orang sudah menunggumu. Ingin melihat betapa cantiknya Cindy hari ini.”
“Mbak Ti,” Cindy terlihat berusaha menahan air matanya terus keluar, karena bisa merusak make up yang sudah terpasang sempurna di wajahnya.
“Tenangkan hati kamu, aku yakin kamu pasti bisa.” Tiara tetap memberikan semangat pada Cindy, walaupun apa yang dialami wanita itu nyaris serupa dengan apa yang terjadi padanya dulu. Permasalahannya pasti beda, tapi menangis sedih saat pernikahan, adalah kesamaan yang terjadi diantara keduanya.
Butuh beberapa menit untuk menenangkan Cindy, bahkan Tiara sempat memanggil MUA untuk merapikan kembali penampilan Cindy.
Sepasang pengantin itu pun keluar, untuk melakukan rentetan acara yang sudah disusun sejak awal, termasuk potong kue dan lempar bunga. Beruntung situasinya bisa cepat terkendali dengan baik, walaupun Tiara tidak tahu apa yang menyebabkan Cindy terlihat begitu sedih saat di dalam ruangan tadi. Tapi saat prosesi acara berlangsung, keduanya bisa bekerja sama dengan baik.
Drama pernikahan kerap terjadi, hal-hal di luar dugaan pun bisa saja terjadi tanpa bisa dikendalikan. Pengantin pingsan, ataupun pihak keluarga yang kerap ikut campur dan menghalangi proses acara berlangsung. Semua itu sudah pernah Tiara lewati.
Mewujudkan impian banyak pasangan pengantin adalah tugasnya, walaupun pernikahan impiannya hancur dan tidak bisa diselamatkan.
“Aku ke belakang dulu, ya?” Tiara merasakan perutnya sakit dan mual. Ia sudah berusaha menahannya sejak tadi, tapi karena ingin memastikan tidak terjadi hal yang tidak diinginkan, yang mungkin saja dilakukan Cindy dan suaminya, Tiara pun berusaha menahannya dengan minum banyak jus buah. Berharap rasa manis asam dari jus buah bisa mengurangi rasa mual yang dirasakannya. Tapi ternyata justru membuatnya kondisinya semakin memburuk.
“Mbak Tiara pucet banget, ya ampun!” Ajeng terlihat khawatir. “Mbak Tiara boleh pulang, acaranya udah mau selesai.”
Tiara menggeleng, menolak saran Ajeng. Ia tetap mengutamakan totalitas saat bekerja, tidak mungkin meninggalkan lokasi sebelum acara tersebut benar-benar selesai.
“Aku mau ke belakang dulu sebentar, tolong tetap perhatikan Cindy dan suaminya, ya?”
Ajeng hanya mengangguk saja, menatap khawatir Tiara yang tengah berjalan dengan tergesa menuju kamar mandi.
Di lobi utama, Edo baru saja keluar dari dalam mobilnya. Meminta salah satu petugas untuk memarkirkan mobilnya sebab ia sangat buru-buru. Sudah sangat terlambat untuk menghadiri acara pernikahan teman satu profesinya. Tapi ia berusaha menyempatkan untuk tetap datang walau nyaris di ujung acara.
“Iya, gue udah di lobi. Sebentar lagi sampai.” Ucapnya pada seseorang melalui sambungan telepon.
Edo berjalan cepat, menuju lokasi tapi. Ia benar-benar tergesa, beberapa teman sudah menunggunya.
Kejadian tidak terduga terjadi saat seseorang menabraknya.
“Maaf, saya tidak sengaja.” Ucap wanita itu, yang terlihat menunduk dengan satu tangan menutupi mulutnya.
“Tiara,” ia mengenalinya.
Wanita itu menoleh dengan kedua mata membulat sempurna. “Maaf, saya tidak sengaja,” ucapnya untuk yang kedua kali. Lantas ia segera pergi meninggalkan Edo.
Seharusnya ia kembali melanjutkan langkahnya menuju ke lokasi acara, tapi ia justru berbalik mengikut wanita itu yang terlihat sangat pucat.