3. Malu-Malu Harimau

1450 Words
Di sebuah lorong rumah sakit, semua orang sibuk memikirkan nasib Regar. Lelaki itu kini tengah menjalani perawatan intensif hampir satu jam berlalu namun dokter yang menanganinya tak kunjung keluar juga. Indira sedari tadi hanya berdiri barisan yang paling ujung. Sembari menggigiti kuku-kukunya.  "Gara-gara kamu 'kan Ra? Kamu itu ya Ra..Ya Allah Ra-Ra. Bagaimana jika Regar kenapa-kenapa? Apa yang akan kamu pertanggung jawabkan?" tanya Mama dengan nada emosi namun tidak berani membentak. Mereka sadar jika kini sedang berada di tempat umum.  Memang sedari tadi, Indira menjadi sasaran kemarahan keluarganya. Ia sangat ketakutan juga, namun semua orang seakan tidak melihat kondisi psikisnya yang juga terguncang. Ya meskipun secara fisik ia tak mendapat luka apapun karena Regar memeluknya tadi ketika insiden terjadi. "....." Indira hanya menunduk. Tak berani menjawab dan masih menggigiti kuku-kukunya. Pikirannya cemas pula memikirkan Regar. Ia yang awalnya tidak menyalahkan dirinya sendiri, kini pun harus menyadari. Bahwasannya memang ini semua salahnya. Tuan Rajasa mendekat pada istrinya. Diusapnya bahu Nyonya Rajasa, "sudahlah Ma. Jangan salahkan Indira. Toh ini juga Insiden." Pria paruh baya yang menjadi ayah Indira sekaligus pemimpin di keluarga Rajasa itu merupakan orang yang santai namun serius. Bijak namun tetap tegas ketika menyikapi suatu hal. Intinya, pria itu tahu menempatkan dirinya sebagaimana mestinya. Indira mengangkat wajahnya. Lalu berkata, "benar kata Mama, Pa.." "...ini salah Indira. Kalau saja Indira tidak mengganggu Om Regar ketika menyetir. Pasti beliau tidak akan mengalami insiden nahas ini," lanjutnya. Mencoba menahan isakan tangis yang hendak pecah, serta menepis kenangan buruknya tentang insiden yang begitu cepat berlalu itu. Indira sekali lagi mencoba untuk tabah. Ia memang harus berbesar hati untuk mengakui kesalahannya. Usai menjelaskan hal yang patut diacungi jempol. Sang mama justru tersulut emosinya. Itu semua terlihat ketika Indira mencuri pandang menatap wajah mamanya yang berubah memerah. "Ikut Mama." Nada dingin yang sarat akan perintah itu membuat Indira bergidik ngeri. Ini kali pertamanya seumur hidup diperlakukan sedemikian tegas oleh mamanya. Terakhir kali ia mendapat pukulan setelah mendengar nada seperti itu. Itu kejadian lampau. Tatkala ia membolos sekolah semasa duduk di bangku sekolah menengah pertama. Mama menyeret Indira dengan kasar. Sesampainya di taman, wanita itu menghempaskan paksa tangan Indira. Indira sempat mengaduh, dan memeriksa pergelangan tangannya yang ternyata memerah. "Mama nggak habis pikir sama kamu Ra. Mama pikir, kamu akan bersikap manis pada Regar. Ra? Asal kamu tahu ya.." "..Regar sudah menerima tawaran Papahmu untuk menikahimu." Kedua mata Indira sontak membulat tak percaya dengan apa yang barusan didengarnya. Benarkah!? Menikah? Lelucon apalagi ini.. "M-maa? Ini bohongan 'kan?" Mama menatap tajam dan dalam kedua bola mata sayu Indira, "tidak. Mama serius. Asal kamu tahu, sebelum makan malam kemarin. Mama, Papah, Regar dan putrinya sudah sempat makan bersama di sebuah restoran. Kami awalnya hanya bercanda membicarakan calon pendamping Regar, mengingat Paula juga akan bertumbuh menjadi gadis dan pastinya membutuhkan bimbingan seorang ibu. Mama ingat, jika Mama memiliki putri semata wayang yang baik dan penurut. Manis sekali.. Mama bahkan telah membayangkan betapa ramainya rumah kita nanti jika kamu menikah dengan Regar." "Ma..." "Diam. Dengarkan! Tapi apa yang Mama dapati kini. Mama menyesal pernah memuji-muji kebaikanmu di depan Regar. Mau ditaruh mana muka Mama ini Ra!? Katakan sekarang apa maumu? Kamu sudah puas karena membuat Regar hampir saja merenggut nyawa? Bahkan di depan matamu? Kamu senang Paula hidup sebatang kara?" "Ma!! Stop Ma!" teriak Indira frustasi. Sedari tadi kediamannya bukan berarti mengiyakan segala perkataan sang mama. Namun ia mencoba menghormati tiap kata yang keluar dari bibir wanita yang telah melahirkannya itu. Indira menghapus air matanya. Sekali tarikan napas. Lalu ia berkata, "Ma? Mama pikir, Indira nggak merasa bersalah. Indira bersalah Ma. Indira sudah mengakuinya di depan semua anggota keluarga kita tadi. Apa Mama pikir Indira nggak merasakan sakit? Sakit Ma..tapi bukan fisik. Melainkan psikis dan batin Indira." "Tidak ada seorang pun yang menanyakan kondisi Indira," ucapnya diakhir. Indira terduduk lemas di kursi kayu yang berada di taman itu. Ia menangkup wajahnya dengan kedua tangan. Ia menangis sejadi-jadinya. Mama justru mengulas senyum sinisnya, "memangnya apa alasan kamu merasa bersalah? Bukan 'kan malah baik jika Regar mati. Dengan begitu kamu tidak harus menikah dengan duda anak satu itu." "Hikss..hikss..Indira bisa selamat dan duduk di sini, itu semua berkat Om Regar-" "Berhenti memanggilnya Om! Dia bukan Om kamu!" "Maksud Indira. Indira bisa selamat karena R-regar, Ma.." Tatapan tidak suka seketika mama layangkan pada Indira. Indira menyadari kesalahannya dalam bertutur kata lagi. "Panggil yang sopan bisa Ra? 'MAS' masih cukup layak untuk Regar." Dengan menelan ludahnya susah payah. Indira mencoba menuruti dan mempraktekkan titah sang mama. Hingga emosi wanita itu mereda. Keduanya saling meminta maaf dan memaafkan. Mama pun juga merasa bersalah karena tidak mau mendengarkan penjelasan Indira terlebih dahulu. Sedangkan Indira yang kalut akibat insiden tadi pun juga sempat tersulut emosi karena tudingan-tudingan sang mama pun kini akhirnya menyadari juga kesalahannya. Drrrrtt...ddrrrt.. Getar ponsel mama membuat pelukan keduanya terlepas. Mama pun mengangkat telepon tersebut. Beberapa menit kemudian, ekspresi mama berubah menjadi senang. Indira pun juga ikut senang melihatnya. Kabar baik datang dari dalam rumah sakit yang menyatakan bahwa Regar telah sadarkan diri. Lelaki itu kini mencari Indira.. Indira!? Untuk apa!? Sekembalinya Indira ke depan pintu ruang rawat inap VIP yang di dalamnya telah terdapat Regar itu, Indira ragu-ragu untuk melangkahkan kakinya masuk ke dalam. Namun tatapan lembut sang mama dan juga anggukan mantab wanita itu membuatnya memberanikan diri untuk masuk. Ketika ia masuk ke dalam ruangan serba putih dan berbau obat-obatan itu, kedua mata Indira langsung mendapati sosok lelaki penyelamatnya yang rela berbaring di brankar rumah sakit demi dirinya. Regar, lelaki itu menyenderkan dirinya di kepala brankar. "Masuklah.." katanya lirih dengan senyum yang baru disadari Indira bahwa senyum duda beranak satu itu sungguh manis. Padahal kondisinya baru saja siuman dari insiden mengerikan itu. Wajah pucatnya yang terpancar nyata, berhasil membuat Indira diliputi rasa bersalah yang teramat sangat. "Sini.." ucapnya dengan begitu lemah lembut. Ahh ini bukan lemah lembut, melainkan kondisinya yang belum pulih dan masih sangat lemas. "Saya bukan hantu. Tidak perlu takut seperti itu." Mendengar candaan yang masih saja keluar dari bibir Regar, membuat hati Indira menghangat. Ternyata sikap lelaki ini masih sama seperti sebelum insiden terjadi. "B-bagaimana kondisi Mas?" Indira memberanikan diri bertanya dan memanggil Regar dengan sebutan yang mamanya sarankan. Memang benar kata mamanya, Regar masih cocok untuk dipanggil demikian. Tetapi apa yang Indira lihat kali ini? Regar, lelaki itu justru mengerutkan dahinya. "M-mas? Kamu nggak salah panggil saya?" "Nggak." Indira menggeleng dan mengulas senyumnya. Lalu ia mendudukkan dirinya di kursi plastik yang tepat berada di sebelah brankar Regar. Regar yang tidak mengerti dengan perubahan sikap Indira pun semakin penasaran saja dibuatnya. "Kenapa memanggil saya dengan sebutan 'Mas'? Apa ini atas permintaan Mama?" "Tidak. Panggilan 'Om' terlalu tua untuk M-mas Regar.." jawab Indira dengan mengulas senyumnya. Ia berbohong kali ini. Tidak mungkin ia berkata jujur pada Regar. Karena ia takut menyakiti hati pria yang telah menjadi malaikat penolongnya itu. Selain itu ia juga tak ingin Regar salah paham terhadapnya. Ya memang awalnya ini semua atas permintaan sang mama. Namun pada akhirnya Indira sendiri pula yang menginginkan mengganti panggilan 'Om' dengan 'Mas'. "Mas tidak keberatan 'kan?" Indira mencoba bertanya lagi dan memastikan. Ia hanya tidak nyaman mendapati wajah Regar yang masih tertegun dengan panggilan yang terbilang cukup manis dan romantis bagi orang jawa itu. Regar menggeleng. "Hanya saja..telinga saya geli Ra," celetuk Regar yang diakhiri dengan kekehan singkat. Indira sendiri pun ikut terkekeh. "Mas, gimana keadaan Mas? Kaki Mas?" "Seperti yang kamu lihat. Mungkin untuk beberapa bulan ke depan, saya harus menggunakan kursi roda kemudian mulai berangsur-angsur belajar menggunakan tongkat dan baru bisa berjalan kembali. Kenapa?" Mendapati tatapan iba dari kedua mata Indira. Regar sontak menceletuk, "Kamu tidak usah merasa bersalah Ra. Kamu nggak salah." "Tentu saja saya salah Mas! Lagian kenapa sih Mas pakai acara selamatin saya? Kenapa nggak biarin saya juga ikut terluka? Kan nggak adil Mas.." Tangis Indira akhirnya pecah juga di depan Regar yang digadang-gadang akan menjadi suaminya itu. Entah bisikan dari mana yang membuat Regar berani mengusap air mata Indira. "Jangan nangis Ra.. tidak usah menaruh iba dengan kondisi saya." "Siapa yang iba!? Saya kesal Mas!" Regar terkekeh mendengar kekesalan Indira. "Lalu? Sekarang apa maumu?" "Indira bersedia merawat Mas hingga Mas kembali bisa berjalan lagi. Mas mau?" Pertanyaan polos Indira hampir membuat Regar hilang kendali. Karena sedari tadi lelaki itu hanya berpura-pura lemas dan lunglai. Padahal ia sudah biasa saja. Hanya saja kesakitan pada kakinya yang tak dapat ia tahan apalagi sembunyikan. "Ahh..apa diperbolehkan?" Indira yang sadar akan kepolosannya pun mengubah pola pertanyaannya. Sembari mengedip-ngedipkan kedua matanya seolah memohon. Regar yang gemas pun langsung meraupkan tangan besarnya ke wajah imut Indira. "Boleh!?" tanya Indira sekali lagi. Kali ini dengan nada yang sedikit naik dan ia pun juga bangkit dari duduknya. Regar tersenyum dan mengangguk, "boleh calon istriku." Jawaban Regar yang tak terduga dan tak tertebak membuat kedua pipi Indira memerah karenanya. "Massss..." serunya karena malu. ***
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD