Di tengah malam yang dingin di London, suara tembakan itu bergema di antara bangunan tua dan lorong gelap. Tiga peluru tepat menembus d**a pria di depan Julian Leonard—pria yang tadi sore mencoba menjatuhkannya lewat pengkhianatan di pasar saham. Wajah Julian tetap datar, dingin, tak ada satu pun perubahan emosi. Dia hanya memutar tubuhnya, menatap darah yang mulai membentuk genangan di lantai, lalu berjalan perlahan ke arah mobil sport hitamnya yang sudah menunggu di ujung gang. Saat mobilnya melaju menembus jalanan kota yang diterangi lampu-lampu neon, Julian membuka jendela dan menatap keluar. Angin malam menerpa wajahnya yang tegas, sorot matanya tajam seperti pisau. Ia menarik napas panjang, mengingat suara Mama-nya yang selalu memaksa dalam telepon, *“Julian, pulanglah. Sudah sepulu

