Bab 4. Melukai Lagi

1579 Words
Hari itu adalah hari yang akan menentukan, hari di mana ia harus menanggapi luka yang sudah terlalu lama tersembunyi, dan meminta maaf kepada Liona serta menjelaskan segala sesuatu yang belum sempat ia ungkapkan. Ryan menarik napas panjang sebelum memulai. “Terima kasih sudah datang,” katanya, memulai percakapan dengan lembut meski hatinya terasa berat. “Aku tahu ini bukan hal yang mudah bagi kita semua.” Liona tidak berkata apa-apa, hanya menatap Ryan dengan mata yang penuh amarah namun juga kelelahan. Sementara Vina, yang duduk di samping Liona, hanya menunduk, seolah tak tahu harus berkata apa. Keheningan itu berlangsung beberapa detik, sebelum Ryan akhirnya membuka mulut lagi. “Liona,” katanya, suara Ryan bergetar sedikit. “Aku tahu aku sudah menyakitimu. Aku tahu aku membatalkan pertunangan kita dan aku memilih Vina. Aku minta maaf, benar-benar minta maaf, karena telah melukai hatimu begitu dalam. Aku tidak pernah berniat untuk membuatmu merasa seperti ini.” Liona tetap diam, menatap Ryan dengan tatapan yang sulit dijelaskan. Tiba-tiba, suasana menjadi semakin kaku. Ryan mengerutkan dahi, berusaha memahami mengapa Liona tidak mengucapkan sepatah kata pun. “Liona, aku tahu aku salah,” lanjut Ryan. “Aku hanya berharap kita bisa mengakhiri semuanya dengan cara yang baik, dengan saling memahami, meski keputusan ini sulit untuk kita semua.” Liona akhirnya membuka mulut, namun suara yang keluar dari bibirnya terasa begitu dingin. “Dan kamu pikir dengan mengatakan maaf seperti itu, semuanya akan selesai? Apakah kamu pikir kamu bisa menyelesaikan semuanya hanya dengan kata-kata, Ryan?” Ryan terdiam. Ia merasa perasaan Liona benar-benar terluka. Ia bisa melihat dari sorot mata Liona yang penuh emosi, seolah ia sudah terlalu lelah untuk berurusan dengan semua ini. “Liona, aku tidak bisa mengubah apa yang sudah terjadi,” ujar Ryan dengan nada lebih rendah. “Aku sudah memilih Vina. Itu bukan keputusan yang mudah, aku memang sudah tidak bisa bersama kamu lagi, aku minta maaf jika itu membuatmu merasa lebih sakit.” Vina akhirnya mengangkat kepala, namun hanya menunduk sebentar. Tatapannya tidak bisa bertahan lama dan ia kembali mengalihkan pandangannya ke meja. Liona memandang adik tirinya itu dengan tajam. “Dan kamu, Vina,” kata Liona dengan suara yang mulai bergetar. “Apa kamu merasa tidak bersalah? Kamu hanya diam saja di sini, sementara aku yang terluka begitu dalam? Kamu bahkan tidak meminta maaf. Kamu tahu betul bagaimana rasanya, kan? Kamu tahu betul apa yang telah kamu lakukan!” Vina tampak terkejut dengan perkataan Liona. Ia berusaha membuka mulut, tetapi kata-kata itu seakan terhenti di tenggorokannya. Ia hanya bisa menunduk dan menggigit bibirnya, mencoba menahan air mata yang hampir jatuh. “Vina,” Liona melanjutkan, suara penuh luka, “Kamu tahu bagaimana rasanya ketika orang yang kamu cintai memilih adik tirimu, sementara kamu hanya bisa menahan rasa sakit tanpa ada yang peduli. Tapi itu belum cukup. Kamu tahu kenapa aku begitu sakit? Ini terjadi karena ibumu yang merebut ayahku dari ibu kandungku. Kamu tahu betul bagaimana hidupku berubah sejak saat itu! Dan sekarang, kamu datang ke dalam hidupku, merusak semuanya, tanpa sedikit pun rasa bersalah!” Liona berdiri dari kursinya, nadanya semakin tinggi, tidak dapat lagi menahan emosi yang membengkak di dadanya. “Kamu bahkan tidak tahu betapa hancurnya aku melihat kalian berdua. Aku bahkan tidak pernah merasa dihargai, tidak pernah merasa punya tempat di dalam keluarga ini dan kini aku harus menerima kenyataan bahwa kamu, Vina, yang hanya datang setelah ibu kamu merebut ayahku, menjadi pilihan terakhir untuk Ryan. Apa yang salah dengan aku, ha?!” Vina terdiam dan air mata mulai mengalir di pipinya. Namun, ia tidak berani berkata apa-apa. Rasa bersalah menguasai dirinya, namun ia merasa seolah tidak ada yang bisa dia lakukan untuk memperbaiki semuanya. Ia bahkan tidak tahu harus berkata apa untuk meredakan amarah Liona. Ia tidak tahu harus berada di pihak siapa. Melihat kedua perempuan di hadapannya begitu terluka, hatinya terasa pecah. Namun, sesuatu dalam dirinya mulai bergulir, sebuah rasa marah yang mulai terbangun, bukan kepada Vina, melainkan kepada Liona. “Liona, cukup!” Ryan berdiri dan berbicara dengan nada yang lebih tinggi, suaranya penuh kemarahan yang terpendam. “Kamu memang benar, ibu Vina datang ke dalam hidupmu dan itu bukan kesalahannya! Kamu tidak bisa terus menyalahkan orang lain atas masalah kita! Kamu bilang kamu terluka, tapi kamu juga tidak pernah melihat aku sebagai orang yang juga terluka! Aku tidak bisa terus bertahan dengan hubungan yang sudah mati, Liona! Itu tidak bisa disalahkan pada Vina atau siapa-siapa!” Liona terdiam, matanya membelalak lebar, mendengar kata-kata Ryan yang seperti pukulan tajam ke jantungnya. “Jadi, ini salahku, Ryan? Aku yang selalu salah? Aku yang harus disalahkan karena tidak bisa menerima semua ini? Kamu memilih Vina dan aku yang harus menerima kenyataan ini begitu saja tanpa bisa berkata apa-apa?” Ryan merasakan amarahnya memuncak, namun ia tidak bisa menahan kata-kata yang sudah terlanjur keluar. “Kamu tidak bisa terus terjebak dalam masa lalu, Liona! Semua ini sudah terjadi dan kita harus menerima kenyataan. Jangan terus membuatku merasa bersalah!” Liona duduk kembali di kursinya, tubuhnya kaku, wajahnya pucat, namun mata itu tidak bisa menyembunyikan rasa sakit yang dalam. “Jadi kamu memilih untuk menyakiti aku dengan kata-kata itu? Setelah semuanya yang kamu lakukan? Setelah pertunangan kita yang sudah batal, ini yang kamu katakan padaku?” Ryan menunduk, menyesali kata-kata yang baru saja keluar dari mulutnya. “Liona, aku tidak bermaksud begitu. Aku hanya merasa kesal, bingung dan aku tidak tahu harus bagaimana. Aku minta maaf.” Tapi Liona sudah tidak bisa lagi mendengar kata maaf itu. Hatinya sudah terlanjur hancur, dan tak ada lagi ruang bagi penyesalan yang datang terlambat. *** Wirya menatapnya dengan wajah penuh perhatian, melihat Liona yang menangis tanpa suara. “Liona, ada apa? Kenapa kamu menangis seperti ini?” Suara Wirya terdengar lembut, penuh kekhawatiran. Liona hanya terisak, tidak bisa menjawab langsung. Ia menatap ke luar jendela mobil, mencoba menenangkan napasnya yang tersengal-sengal. Hatinya begitu perih, dan ia tak tahu harus mengungkapkan semuanya seperti apa. “Aku tidak tahu harus mulai dari mana,” ujar Liona, akhirnya bisa berbicara, meski suaranya masih terisak. “Ryan, dia menegaskan hubungan dengan Vina.” Wirya menghela napas, mencoba memahami perasaan Liona. Ia mengangguk perlahan, merasa simpati mendalam pada gadis yang kini duduk di sampingnya. “Aku tahu itu pasti sangat sulit untukmu, Liona. Tapi, kamu harus ingat, kamu tidak sendirian.” Liona mengusap air matanya dengan kasar, namun tak bisa menghentikan alirannya. “Aku tidak tahu harus bagaimana lagi, Om. Bahkan orang yang aku harap bisa mengerti aku, malah memilih Vina.” Wirya menatapnya dengan penuh perhatian. "Liona, kamu memang terluka. Aku bisa merasakannya. Tapi jangan biarkan satu keputusan orang lain merusak semua yang sudah kamu capai dalam hidup ini." Liona terdiam sejenak, masih mengusap wajahnya, namun suara yang keluar dari mulutnya penuh ketidakpastian. “Om, aku cuma ingin tahu, kalau nanti aku menikah, jika Om menemukan seseorang yang lebih baik, apakah Om akan meninggalkanku juga seperti Ryan meninggalkanku?” Pertanyaan itu keluar begitu saja, tanpa ada perasaan yang bisa ditahan lagi. Liona menatap Wirya dengan mata yang penuh kebingungan. Ia merasa bingung dengan dirinya sendiri, tak tahu lagi siapa yang harus ia percayai. Apakah pernikahan benar-benar berarti sesuatu? Atau pada akhirnya, itu hanya sebuah permainan untuk orang-orang yang tidak mengerti apa arti sejati dari hubungan? Wirya memandang Liona dengan tatapan yang penuh kasih sayang, namun juga penuh kebijaksanaan. “Liona,” jawab Wirya dengan suara lembut namun tegas. “Pernikahan bukanlah sesuatu yang bisa dipermainkan. Itu adalah komitmen yang serius. Sebuah keputusan untuk bersama, dalam suka dan duka. Jika aku memilihmu, itu berarti aku memilih untuk bertanggung jawab atasmu, bukan hanya dalam kebahagiaan, tetapi juga dalam saat-saat sulit. Aku tidak akan pergi begitu saja.” "Apa Om yakin?" tanyanya, matanya masih berkaca-kaca. "Apa benar tidak akan meninggalkanku?" Wirya tersenyum kecil, meskipun ada kesedihan di matanya. “Liona, dunia ini memang penuh dengan ketidakpastian. Tetapi jika kamu menemukan seseorang yang mampu bertahan dalam keadaan sulit bersamamu, maka kamu telah menemukan seseorang yang benar-benar berharga.” "Apa Om bisa mencintaiku?" tanya Liona. "Kenapa kamu menantang begitu? Memangnya kamu pikir aku bukan pria? Lagipula kamu yang mengajak aku menikah lebih dulu," kata Wirya. "Bukan menantang, hanya saja aku tidak ingin merasa kesepian atau terbuang lagi. Aku sudah menceritakan semuanya pada Om tentang bagaimana keluargaku, tentang mereka yang pilih kasih. Dulu aku pikir aku bisa terbebas dari mereka karena suatu saat Ryan akan menikahiku dan membawaku pergi dari rumah itu, tapi ternyata takdir berkata lain. Sekarang hanya Om yang bisa aku harapkan membawaku pergi dari rumah itu." Wajah Liona menunduk, dia rasa sudah sangat muak dengan ayahnya yang selalu saja membela Farah dan Vina dengan alasan apa pun walau Liona berada di posisi tidak bersalah, impiannya bisa pisah dari keluarga itu bisa diwujudkan dengan menikahi Wirya karena Ryan sudah berpaling darinya. Sedangkan Wirya menatap wajah Liona yang sedang berpikir dengan menunduk. Wirya sadar ada getaran aneh yang telah lama sirna, seperti dia sedang mengalami pubertas kedua di usianya yang sudah tua. Wirya menarik senyumannya memandangi wajah cantik Liona. Sejujurnya itu bukan pertama kali, Wirya merasakan juga waktu pertama kali Ryan memperkenalkan Liona padanya dan sekarang semuanya jadi terwujud. "Tapi, masa kamu menangisi pria lain, padahal kita sudah pacaran, sebenarnya yang tidak bisa belajar mencintai siapa? Kalau seperti ini, kamu yang mempermainkan hubungan kita," balas Wirya. "Bukan begitu, Om. Aku, kan masih sakit hati, memangnya tidak wajar? Lagipula Om tidak seperti pacar bagiku, tuh!" gerutu Liona. Wirya menarik senyuman miringnya dan langsung memacu mobil. "Menginap lagi di rumahku, besok aku yang akan bertanggung jawab kalau orang tuamu marah."
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD