Bab 3. Tertuduh

1682 Words
Ruang tamu rumah orangtuanya terasa sempit, udara di dalamnya semakin berat. Hanya ada suara detak jam di dinding dan suara desahan napas yang perlahan meningkat. Doni, ayahnya, berdiri di hadapannya dengan tangan terlipat di depan d**a, sementara Farah, duduk di kursi di samping ayahnya, menatapnya dengan pandangan yang penuh kecurigaan. Vina, adik tirinya, baru saja melapor kepada mereka bahwa Liona semalam menghabiskan waktu di rumah Wirya. Tentu saja, itu memicu amarah dan Liona merasa dipermalukan tanpa alasan yang jelas. "Apa benar kamu semalam di rumah Wirya?" suara Doni terdengar tegas, namun penuh keraguan. Wajahnya yang keras menandakan kekecewaan yang mendalam, sementara di sisi lain, Farah menatap Liona dengan tatapan tajam, seolah ingin menemukan kebohongan dari setiap kata yang keluar dari bibirnya. Liona menarik napas panjang, mencoba menenangkan dirinya, meski hatinya penuh amarah. Dia tidak pernah merasa begitu tersudutkan dalam hidupnya. Bagaimana bisa sebuah kunjungan yang seharusnya biasa menjadi topik yang begitu besar? “Ya, aku memang di sana, Ayah,” jawab Liona dengan suara yang cukup stabil meski dalam hatinya bergolak. “Tapi bukan seperti yang kalian kira, bukan untuk hal yang buruk.” Doni mendekat, kini jaraknya hanya beberapa langkah dari Liona. “Jadi, kamu mengakui itu? Kamu semalam menginap di rumah ayah mantan tunanganmu? Apa yang kamu lakukan di sana, Liona? Apa kamu tidak paham betapa buruknya itu?” Liona menatap mata ayahnya yang penuh kecewa, hatinya mulai meronta. “Aku hanya pergi berbicara dengan Om Wirya. Tidak ada yang lebih dari itu.” Farah menyela dengan nada sinis. “Oh, jadi kamu pergi hanya untuk berbicara? Jangan bohong, Liona. Kami sudah mendengar kabar yang berbeda. Katanya kamu mengadu ke Wirya tentang hubungan Vina dan Ryan. Apa benar itu? Kalau begitu, kamu sudah berusaha merusak pertunangan mereka?” Liona merasa darahnya mendidih. “Merusak pertunangan mereka? Apakah itu yang kalian pikirkan tentangku? Sejak kapan kalian berpikir begitu buruk tentangku, padahal yang pertunangannya jelas rusak siapa?” Farah menyeringai. “Jadi kamu merasa dendam karena itu? Sudah pasti kamu ada niat ke sana.” Liona bangkit dari kursinya, tak mampu lagi menahan emosi yang sudah memuncak. “Kalian terlalu berprasangka buruk padaku. Apa salahku? Apa kalian ingin aku terus berada dalam bayang-bayang Vina yang selalu mendapatkan segala sesuatu dengan mudah, sementara aku harus terus berjuang hanya untuk dihargai?” Doni menatap putrinya dengan tatapan penuh amarah. “Jangan berbicara tentang itu, Liona! Ini tentang kebenaran, bukan soal persaingan dengan adik tirimu. Kalian berdua harus bisa saling menghormati.” Liona merasa seperti dihadapkan dengan dinding yang tidak bisa ditembus. Setiap kata yang keluar dari mulut kedua orang tuanya seperti pisau yang mengiris hatinya. Vina selalu menjadi pusat perhatian, selalu mendapat dukungan, selalu dianggap lebih baik. Sementara dirinya, meski sudah berusaha dengan keras, tetap dipandang sebelah mata. “Coba pikirkan dengan kepala dingin,” lanjut Farah, suaranya dingin dan penuh tuduhan. “Apa kamu sudah tidak bisa menerima kenyataan kalau Ryan memilih Vina dan meninggalkanmu? Kamu pikir kalau kamu mengadu kepada Wirya, itu bisa membuat semuanya berubah?” Liona menundukkan kepala, matanya mulai basah, namun ia menahan air matanya dengan keras. “Aku tidak pernah berniat merusak hubungan mereka. Aku hanya tidak tahan melihat bagaimana kalian selalu mendukung Vina dan aku selalu harus menunggu giliran. Bahkan ketika Ryan memilih Vina, kalian masih tetap memihaknya, bukan aku.” Farah mendengus dan memutar matanya. “Jadi, ini tentang Ryan? Lagi-lagi soal Ryan? Apakah kamu masih belum bisa berpaling dari hubunganmu dengan dia?” Doni menambahkannya dengan tegas, “Liona, kalau kamu masih terobsesi dengan Ryan, itu adalah masalahmu sendiri. Jangan bawa-bawa kami ke dalam masalah pribadi kamu.” “Cukup!” teriak Liona dengan suara bergetar, matanya menatap tajam ke arah kedua orang tuanya. “Cukup! Aku lelah dengan ini semua. Aku lelah selalu dianggap kurang, selalu dianggap tidak cukup baik. Aku tidak ingin lagi diatur oleh kalian! Tidak lagi! Bahkan Om Wirya lebih bisa mengerti perasaanku padahal dia bukan orang tuaku.” Doni dan Farah terdiam sejenak, terkejut dengan pernyataan mendalam yang keluar dari mulut Liona. Liona bisa merasakan ketegangan di udara, sebuah perubahan yang tak terelakkan. “Aku sudah cukup besar untuk membuat keputusan sendiri, untuk hidupku sendiri,” lanjut Liona dengan suara yang lebih rendah, namun penuh tekad. “Aku tidak ingin lagi hidup di bawah bayang-bayang Vina, atau bahkan di bawah aturan kalian yang selalu pilih kasih. Mulai sekarang, aku akan mengambil kendali atas hidup saya sendiri, apa pun konsekuensinya dan jangan pernah menyuruhku mengalah lagi!” Tiba-tiba, suasana di ruang tamu itu terasa hening, begitu hening hingga Liona bisa mendengar suara napasnya sendiri yang cepat. Dia tahu, dengan kata-kata itu, dia telah mengubah sesuatu. Sesuatu yang mungkin akan sulit untuk diperbaiki. Liona berjalan cepat ke kamarnya, di sana dia melihat Vina yang sedang mengintip dari balik pintu. "Lain kali jika ingin mengadu katakan yang sebenarnya, jangan menuduhku, dasar w************n yang suka berbohong, sama seperti ibumu!" *** Semenjak melihat Liona yang menginap di rumah ayahnya tersebar, pikirannya terus dihantui pertanyaan yang belum terjawab. Sejak malam itu, hatinya terasa berat, seolah ada sesuatu yang tergantung antara dirinya dan Liona. Meskipun kini ia telah memutuskan untuk bersama Vina, adik Liona, hubungan yang telah terjalin bertahun-tahun dengan Liona tidak bisa begitu saja lenyap. Lalu, tanpa bisa menahan lagi, Ryan meminta kesempatan untuk berbicara dengan ayahnya. Ia tahu, Wirya adalah sosok yang lebih bijaksana, yang selalu dapat memberikan perspektif yang lebih jernih. Namun, pertanyaan yang ingin ia ajukan jauh lebih personal daripada sekadar urusan keluarga. “Ayah,” suara Ryan terdengar serak, namun tetap mantap. “Tadi malam, Liona datang ke sini. Menginap di kamar Ayah? Kenapa dia bisa ada di sini semalam dan apa yang sebenarnya terjadi?” Wirya yang sedang menyusun kertas di mejanya, perlahan menoleh dan menatap anaknya. Wajahnya yang lebih tua, namun masih tegas, menyiratkan bahwa ia tahu perasaan Ryan. Wirya tidak langsung menjawab. Ia menatap anaknya sejenak sebelum akhirnya berbicara dengan nada lembut, namun penuh makna. "Ryan, Liona datang ke sini semalam dalam keadaan yang sangat tertekan. Dia datang hampir tengah malam, kehujanan. Matanya merah dan tubuhnya kedinginan. Itu yang pertama kali aku perhatikan, bagaimana dia kelihatan sangat terpuruk, seperti seseorang yang habis mengalami sebuah perasaan yang sangat dalam," kata Wirya pelan, memandangi anaknya. Ryan mengerutkan keningnya. “Kehujanan?” Ia terdiam sejenak. “Tapi kenapa dia datang ke sini, Ayah? Kenapa tidak pulang ke rumah? Kenapa harus ke rumah Ayah, malah menginap di kamar Ayah?” Wirya menarik napas panjang, kemudian melanjutkan ceritanya. "Liona datang, lalu duduk di sini, di ruang tamu. Dia bilang ada banyak hal yang ingin dia ceritakan. Dia menangis, tapi matanya tampak kosong, kosong sekali. Setelah berbicara beberapa lama, dia mulai membuka dirinya sedikit demi sedikit." Ryan menunduk, mencoba mencerna perkataan ayahnya. “Apa yang dia ceritakan?” Wirya terdiam sejenak, seperti sedang mencari kata-kata yang tepat. "Liona bercerita banyak hal. Tentang kamu dan Vina. Tentang bagaimana perasaannya melihat pertunanganmu dengan adiknya, Ryan. Sejujurnya, aku melihat ada sesuatu yang sangat terluka di dalam dirinya, sesuatu yang lebih dari sekadar keinginan untuk mendapatkan perhatian." Ryan merasa tenggorokannya tercekat. Tentu ia tahu bahwa Liona sudah lama merasa cemas dan terluka dengan hubungan mereka, terutama setelah ia memutuskan untuk melamar Vina. Tapi mendengar bahwa Liona masih begitu terluka bahkan setelah semua yang terjadi, hatinya terasa sesak. Sebuah perasaan yang sulit dijelaskan menggelayuti d**a Ryan, perasaan yang kini mulai berubah menjadi penyesalan. “Dia bilang dia sakit hati, Ryan,” lanjut Wirya, suaranya pelan, namun penuh makna. "Dia merasa dihancurkan melihat kamu memilih Vina, adiknya, dan meninggalkannya begitu saja. Menurut Liona, ini bukan hanya soal kamu berpisah dengannya, tapi tentang bagaimana dia merasa tidak pernah cukup baik bagi kamu dan bagi orang tuanya. Bahkan, katanya, dia merasa terabaikan, diperlakukan seperti bayangan oleh keluarganya sendiri." Ryan menatap ayahnya, terkejut. Kata-kata itu seperti kilat yang menyambar, menghantamnya dengan keras. Ia merasa tak bisa bergerak, seolah semua perasaan yang telah ia coba pendam, kini kembali muncul dan membanjiri dirinya. "Tapi ... tapi aku sudah berusaha," jawabnya, mencoba mencari pembenaran. “Aku sudah mencoba menjelaskan semuanya pada Liona. Aku sudah menjelaskan alasan kenapa aku memilih Vina. Aku tidak bisa terus bersama Liona setelah hubungan kami yang rusak. Kenapa dia tidak bisa mengerti itu?” Wirya menatap Ryan dengan tatapan yang penuh pengertian, namun juga ketegasan. “Ketika mereka merasa terluka dalam prosesnya. Liona sangat mencintaimu, bahkan meskipun kalian berdua berpisah, rasa itu tidak bisa langsung hilang. Dan yang lebih penting, Ryan, adalah bahwa Liona merasa tidak ada yang benar-benar mendukungnya. Di matanya, Vina selalu mendapat perhatian lebih, selalu dianggap lebih baik. Mungkin, dia merasa sangat sendirian dalam perjuangannya.” Ryan menundukkan kepala, matanya mulai berkaca-kaca. “Aku tidak tahu kalau Liona merasa seperti itu ... aku tidak tahu kalau aku membuatnya merasa terpinggirkan begitu.” Wirya menepuk bahu anaknya, lalu duduk di kursinya. “Ini bukan tentang siapa yang lebih baik atau lebih buruk, Ryan. Ini tentang bagaimana perasaan orang lain, bagaimana kita sebagai keluarga saling mendukung satu sama lain. Dan terkadang, kita harus bisa melihat lebih dari sekadar permukaan." Ryan terdiam sejenak. Perasaan cemas dan penyesalan mulai memenuhi dadanya. Apakah keputusan yang ia ambil untuk melamar Vina sudah tepat? Apakah ia sudah cukup memikirkan perasaan Liona? Atau justru ia terlalu fokus pada dirinya sendiri hingga melupakan perasaan orang yang dulu sangat ia cintai? "Aku tidak pernah bermaksud menyakiti Liona, Ayah," kata Ryan dengan suara berat. "Aku tidak tahu harus bagaimana. Aku ingin membuat semuanya lebih baik, tapi mungkin aku sudah terlalu jauh." Wirya menatapnya. "Kadang, Ryan, kita hanya bisa mencoba memperbaiki apa yang bisa kita perbaiki. Tetapi yang terpenting adalah, kita tidak boleh menutup mata terhadap perasaan orang lain hanya karena kita merasa sudah membuat keputusan yang benar." Meskipun ia sudah memutuskan untuk melanjutkan hidup bersama Vina, ia tak bisa mengabaikan perasaan Liona begitu saja. Bagaimana bisa ia mengabaikan rasa sakit hati yang masih menghantui Liona? Sebuah dilema yang kini menyelimuti pikirannya. “Aku harus berbicara dengan Liona,” gumam Ryan. “Aku harus menjelaskan semuanya padanya.” Wirya mengangguk. "Jika kamu merasa itu perlu, lakukanlah. Tapi ingat, Ryan, ini bukan hanya tentang kata-kata. Ini tentang bagaimana kamu bisa membuat Liona merasa bahwa dia dihargai dan diterima, apa pun yang terjadi."
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD