Liona menatap mata Wirya dengan cemas, mulutnya terasa kering. Ia sudah menyiapkan berbagai kemungkinan, berbagai cara untuk menyampaikan apa yang sudah lama ia simpan dalam hatinya, tapi apa yang dikatakan Wirya jawaban yang tak terduga, membuat dunia seketika terasa berputar lebih cepat.
"Apakah Om serius?" tanya Liona, suaranya terdengar ragu, bahkan sedikit cemas. Ia tidak percaya dengan kata-kata yang baru saja keluar dari bibir pria itu.
Wirya duduk di kursi tepat di depan Liona, matanya terfokus padanya, mencoba menenangkan ketegangan yang ada di antara mereka. "Serius," jawabnya dengan mantap, walaupun ada rasa sesal yang samar dalam pandangannya.
Liona terdiam sejenak. Ia ingin memastikan bahwa ia benar-benar mendengar dengan jelas. Sesaat lalu, Wirya baru saja menyatakan bahwa dia bersedia untuk menikah dengannya, meski Liona masih merasa kesulitan menerima kenyataan. Dalam benaknya, itu adalah sebuah keputusan besar. Mereka tidak pernah membicarakan hal semacam itu sebelumnya. Liona merasa seperti ada bagian dari dirinya yang bergejolak, antara ragu dan yakin dengan rencananya.
"Kenapa Om mau menikah denganku, Om?" tanya Liona lagi, kali ini lebih pelan, mencoba mencari tahu lebih dalam. "Apakah ini karena Om merasa bersalah atas apa yang terjadi antara Ryan dan aku?"
Wirya menarik napas panjang, wajahnya menunjukkan tanda-tanda kelelahan yang sudah lama ia sembunyikan. "Sebagian besar, ya," jawabnya pelan, namun tidak menghindar dari tatapan Liona. "Aku merasa bertanggung jawab, Liona. Ryan membatalkan pertunangan kalian dan malah memilih adikmu dan itu … aku rasa aku juga punya andil dalam rasa sakit hati yang kamu rasakan. Jika aku bisa membuatmu merasa lebih baik, atau setidaknya bisa memperbaiki situasi ini, aku akan melakukannya."
Liona terdiam, hatinya terasa berat. Memang, rasa sakit hati yang ia alami setelah Ryan, kekasih yang sudah dikenalnya bertahun-tahun, membatalkan pertunangan mereka dan memilih adiknya, masih membekas. Namun, apakah itu cukup menjadi alasan untuk menerima tawaran menikah oleh Wirya? Seorang pria yang meskipun baik, adalah duda yang sudah lama ditinggal istrinya.
"Terima kasih, Om," ucap Liona akhirnya. "Tapi aku tidak ingin kita terburu-buru. Aku ingin kita bisa memulai hubungan ini dengan lebih baik. Jangan karena rasa bersalahmu, kita langsung melompat ke jenjang yang lebih besar. Aku ingin mengenalmu lebih dulu, bukan hanya sebagai ayah dari Ryan atau sebagai pria yang merasa bertanggung jawab atas rasa sakitku. Aku ingin kita mulai dari awal."
Wirya menatap Liona dalam-dalam, seolah mencoba menangkap setiap kata yang diucapkannya. Ia mengangguk pelan, setuju dengan pendapat Liona. Meskipun di hatinya ada sebuah keinginan yang kuat untuk segera membawa Liona menjadi bagian dari hidupnya, ia tahu bahwa hubungan yang dibangun tanpa dasar saling memahami akan mudah rapuh.
"Baik," jawab Wirya dengan suara lembut. "Aku setuju. Kita bisa mulai dengan perlahan, tidak perlu terburu-buru."
Liona merasa sedikit lega mendengar jawabannya. Ia tidak tahu apakah benar-benar siap untuk sebuah pernikahan sekarang, namun perasaan di hatinya mulai berubah. Seiring waktu, ia mulai memahami bahwa mungkin ada sesuatu yang lebih dalam antara dirinya dan Wirya. Seorang pria yang telah lama kesepian, yang merindukan belaian kasih sayang dari seorang wanita, yang mungkin saja, setelah sekian lama, Liona adalah jawabannya.
Wirya, yang kini sudah lama menjadi duda, merasakan keheningan yang dalam dalam hidupnya. Sejak istrinya selingkuh bertahun-tahun lalu, ia merasa seperti ada kekosongan yang tak pernah bisa terisi. Ia merindukan kehangatan yang hanya bisa diberikan oleh seorang wanita.
Liona, dengan segala kebaikan dan kelembutannya, tiba-tiba hadir di hidupnya, meskipun melalui jalan yang penuh liku. Setiap kali mereka berbicara, ada sesuatu yang membangkitkan rasa harapannya kembali, meskipun ia tahu bahwa itu bukan sesuatu yang bisa ia paksakan.
Liona menundukkan kepala, mencoba menenangkan pikirannya. "Om," ucapnya setelah beberapa saat. "Aku tidak tahu apa yang akan terjadi di masa depan, tapi aku ingin kita bisa saling memahami terlebih dahulu. Aku ingin memulai dengan perlahan, tanpa terburu-buru. Aku butuh waktu untuk mengenalmu lebih dalam dan aku yakin Om juga butuh waktu untuk mengenalku."
Wirya tersenyum tipis, ada kehangatan dalam tatapannya yang lembut. "Aku mengerti," jawabnya, suaranya penuh pengertian. "Kita bisa memulai dari sana. Aku bersedia menunggu."
Liona merasa seolah ada sebuah beban yang terangkat dari pundaknya. Meskipun masih banyak keraguan yang ada, ia merasa lega karena Wirya menghargai keinginannya untuk tidak terburu-buru. Wirya tidak ingin menikah hanya karena rasa bersalah atau kewajiban, tetapi karena perasaan yang tumbuh secara alami.
"Aku ingin kita menjalin hubungan ... asmara dulu, Om mengerti maksudku, kan?" tanya Liona dengan hati-hati.
"Mengerti, mulai sekarang kita pacaran," jawab Wirya yang langsung peka.
Liona sedikit kaget, tapi dia juga senang tidak perlu menjelaskan lebih detail apa yang dia inginkan terhadap Wirya.
"Memangnya Om tahu caranya pacaran? Om pernah pacaran?" tanya Liona.
"Belum pernah, tapi aku tahu caranya pacaran."
Liona mencuri-curi pandang pada Wirya yang belum mengalihkan pandangan dan terus menetap ke arahnya, entah kenapa itu membuatnya jadi salah tingkah sendiri.
***
Vina duduk di sebelahnya, diam-diam mengamati Ryan yang tampak lebih serius dari biasanya. Hubungan mereka masih terbilang baru, setelah tunangan dibatalkan karena perasaan Ryan yang tak bisa dipaksakan kepada Liona. Ia tahu betul betapa beratnya masa lalu yang harus diterima Ryan. Namun, ada sesuatu yang berbeda . Ryan tampak lebih tenang, lebih terbuka. Mungkin kehadirannya di sampingnya, sebagai tunangannya, bisa sedikit meringankan beban hatinya.
Ryan dan Vina turun dari mobil, dan ketika mereka melangkah menuju pintu rumah, Ryan merasakan kegugupan yang aneh. Ia menekan bel dan tak lama kemudian, pintu terbuka, menampakkan Wirya, yang tersenyum ramah.
"Selamat pagi, Nak," sapa Wirya dengan senyum lebar, seolah tak ada yang aneh, meskipun Ryan merasa ada sesuatu yang berbeda di rumah ini dari ayahnya. "Vina, selamat datang. Masuklah."
Vina tersenyum dan melangkah masuk, disusul Ryan yang merasa ada ketegangan di dalam dirinya. Tapi saat itu, sesuatu yang mengejutkan terjadi. Dari arah kamar, pintu terbuka, dan Liona keluar dengan langkah tergesa-gesa, matanya terlihat sedikit kemerahan, rambutnya acak-acakan, seperti baru bangun dari tidur atau … sesuatu yang lebih mencurigakan.
Ryan terkejut, matanya membelalak, dan sejenak ia merasa dunia berhenti berputar. Liona, mantan tunangannya, muncul dari kamar ayahnya, dalam kondisi yang tidak pernah ia bayangkan sebelumnya. Liona mengenakan piyama longgar milik Wirya, rambutnya kusut dan wajahnya tampak bingung, seolah ia terkejut karena tiba-tiba muncul begitu saja di ruang tamu. Namun, ada yang tidak wajar.
Vina, yang berdiri di samping Ryan, juga terdiam, matanya berpindah antara Ryan dan Liona. Liona terlihat kaget melihat mereka, tetapi ada senyum tipis yang muncul di bibirnya. Senyum itu terlalu cepat hilang, seperti ada sesuatu yang ia sembunyikan.
"Ah, Ryan, Vina, kalian datang," kata Liona, suaranya terkesan terburu-buru. "Aku kebetulan menginap di sini semalam. Jadi, aku baru saja mengobrol sedikit dengan ayahmu." Ia mencoba menjelaskan, namun kata-katanya seolah tersangkut di tenggorokan.
Ryan menatap Liona dengan tatapan dingin, meskipun hatinya terasa teriris. "Apa yang kamu lakukan di sini, Liona?" suara Ryan terdengar datar, meskipun matanya menyiratkan kegelisahan yang sangat jelas. "Kenapa kamu ada di kamar ayahku?"
Vina yang berdiri di samping Ryan mulai merasakan ketegangan yang meningkat. Ia menatap Liona dengan tatapan penuh tanya. "Liona, apa yang terjadi?" suaranya terdengar lebih rendah, tetapi ada nada cemas yang tidak bisa disembunyikan.
Liona berusaha tersenyum, meskipun senyum itu tampak lebih seperti upaya untuk menutupi sesuatu yang lebih besar. "Oh, tidak apa-apa. Aku hanya ingin berbicara lebih banyak dengan ayahmu," jawab Liona sambil menundukkan kepala, berusaha menghindari tatapan mata Ryan dan Vina.
"Tidak ada yang perlu kalian khawatirkan." Wirya angkat bicara.
Ryan merasakan dadanya berdebar lebih keras. Ada sesuatu yang tidak beres. Ia bisa merasakan keraguan dalam suara Liona, bisa melihat bahwa ada sesuatu yang coba disembunyikan. "Apa yang sebenarnya terjadi, Liona?" tanyanya lebih tegas, suaranya sedikit meninggi. "Kenapa kamu ada di kamar ayahku, di pagi hari seperti ini?"
Vina menatap Liona dengan pandangan yang lebih tajam, matanya mulai berkaca-kaca. "Liona, apakah kamu berusaha memberitahuku sesuatu yang aku tidak tahu? Apakah ada yang terjadi di antara kamu dan ayah Ryan?"
Liona merasakan tekanan yang semakin besar. Ia tahu pertanyaan-pertanyaan ini akan datang, tapi ia harus cepat keluar dari situasi yang membingungkan ini. "Aku rasa aku harus pergi," katanya dengan cepat, berusaha melarikan diri. "Aku hanya ingin berbicara sebentar dan sekarang aku sudah puas. Maafkan aku jika membuat kalian tidak nyaman."
Liona segera berbalik dan berjalan cepat menuju pintu keluar. Sebelum ia pergi, ia sempat menatap Ryan sejenak, namun tidak ada kata-kata yang keluar dari bibirnya. Hanya senyum tipis yang ia berikan, seolah menantang rasa penasaran yang semakin mendalam dalam hati Ryan. Tanpa berkata apa-apa lagi, Liona berjalan keluar dengan langkah cepat, seolah ingin segera menghindari apa pun yang sedang terjadi.
Ryan berdiri terdiam, mulutnya kering, tidak tahu harus berkata apa. Perasaan campur aduk mengalir dalam dirinya, kebingungan, rasa sakit hati, dan bahkan sedikit marah, semuanya bersatu dalam satu kesimpulan yang sangat sulit untuk diterima.
"Apa yang baru saja aku saksikan? Kenapa Liona ada di kamar ayah Ryan? Apa yang sebenarnya terjadi di balik pintu itu?" batin Vina.
"Ryan, aku .…" Vina mulai berbicara, tapi suaranya terhenti. Semua kata-kata yang ingin ia katakan terasa sulit keluar. Ia tahu betul bahwa ada banyak yang tidak mereka pahami, tetapi keadaan ini terlalu rumit untuk langsung diberi penjelasan.
Ryan menatap pintu yang baru saja ditutup, dan meskipun ia berusaha menenangkan diri, rasa sakit yang ia rasakan mulai terasa lebih dalam dari sebelumnya. "Aku … aku tidak tahu lagi apa yang terjadi, Vina," jawabnya dengan suara serak. "Aku benar-benar tidak tahu."
"Tidak perlu bingung begitu, Ryan. Liona hanya sedang bersedih tadi malam dan bukankah hubungan kalian sudah berakhir? Apa sekarang kamu merasa cemburu padaku?" sindir Wirya.