BAB 4
HOME
Sebuah rumah di tengah hutan...
"Bagaimana bisa kau tinggal sendiri di tempat seperti ini?" koreksi Mara saat melihat gubuk kayu sederhana di bawah naungan pohon rimbun yang daunnya mulai berguguran di akhir musim panas.
"Ini tidak seburuk yang kau bayangkan."
"Maksudku kau benar-benar tinggal sendiri? "
"Aku bisa pergi ke kota kapanpu jika aku mau, tapi berburu di hutan kadang juga menyenangkan."
Mara tau itu, dan kebebasan adalah harga yang mahal, mungkin Theo salah satu yang beruntung dengan hal itu dan apa salah jika Marra mulai iri karenanya.
"Kita bisa berburu sore ini jika kau mau," kata Theo yang sudah membukakan pintu untuk Mara.
"Sepertinya menarik," berburu bersama, Mara belum pernah berburu dengan orang lain sebelumnya.
"Hanya ada satu kamar kau bisa tidur di sana dan aku akan tidur di luar."
Sebenarnya Mara ingin menolak, tapi sepertinya memang tidak sopan membiarkan wanita tidur di luar, meskipun yang Theo sebut sebagai kamarpun juga tidak seperti apa yang pernah Mara bayangkanMara. Hanya ada ranjang sederhana di sudut ruangan beserta meja kecil senada, jendela juga hanya sekedar sebagai sarana ventilasi. Meski tak seperti yang Mara bayangkan rumah ini nampak bersih, dan Mara agak terkejut ternyata ranjangnya juga cukup nyaman untuk di tiduri, Marra hanya coba merebahkan tubuhnya yang lelah saat tiba-tiba dia mencium aroma makanan yang mulai memenuhi gubuk kecil tersebut.
Karena penasaran Mara keluar untuk mencari tau dan ternyata Theo sedang terlihat sibuk mengerjakan sesuatu di dapur kecilnya. Theo sepertinya benar-benar membuat sendiri makan siang untuk mereka, jujur Mara tidak bisa banyak membantu, dan sadar betapa bodohnya dia selama ini. Marra merasa tidak akan bertahan hidup sehari di luar tanpa membuatnya kelaparan.
Mereka benar-benar berburu sore itu, tidak terlalu jauh dari rumah Theo sudah berhasil memanah seekor rusa sementara Mara hanya mendapat seekor kelinci.
"Jangan khawatir daging kelinci lebih lembut."
"Jujur kau sedang menghiburku atau sedang meremeh kan ku? " timpal Mara.
"Aku serius Mara, aku lebih suka daging kelinci," Theo kembali tertawa..
"Itu lucu sekali, Anak Muda."
"Ku ingatkan sekali lagi, aku lebih tua darimu."
"Itu tidak lucu, " tepis Marra, acuh.
"Binatang apa yang pernah kau buru sebelumnya? "Tiba-tiba Theo kembali bertanya.
"Mungkin 7 rusa," Mara asal menjawab tanpa benar-benar menghitung kemudian Mara kembali coba mengingat, "pernah juga seekor Elang."
"Apa yang kau pikirkan, kau mengarahkan panahmu pada seekor Elang ! " Theo berhenti untuk melihat Mara yang tadinya berjalan di belakangnya.
Elang adalah hewan terlarang untuk diburu, memang tidak ada aturan tertulis tentang itu tapi Elang adalah lambang dari kejayaan negeri Utara, karena konon itu adalah mahluk kesayangan King Alzov, membunuh elang sudah jelas bukan hal sepele.
"Tenang, aku akan menjaga rahasiamu," tambah Theo kemudian.
"Katakan kenapa kau merasa ingin membunuh elang?"
Kali ini Theo berpura-pura serius untuk menunggu jawaban Mara.
Mara sadar pemuda itu hanya ingin melihat sampai di mana batas kesabarannya. "Jangan berpura-pura, kurasa semua orang ingin melakukannya andai ada kesempatan," itu hanya sarkasme bagaimana sebenarnya semua orang membenci arogansi Raja Utara tersebut.
"Tapi tidak ada yang cukup berani," koreksi Theo, menambahkan.
"Aku akan melakukannya jika ada kesempatan," sela Mara, lagi.
"Apa itu berarti kau lebih menyukai Arthur? "
Mara berpikir sejenak, "Tidak juga," geleng Mara.
"Kenapa kudengar dia pangeran yang tampan, kurasa bukankah semua wanita seharusnya menginginkannya? "
"Hanya wanita bodoh yang menginginkan pria yang masih mencintai wanita lain."
"Darimana kau tau? "
"Jangan pura-pura bodoh, semua orang tau, dia tidak akan pergi ke selatan jika bukan karena King Alzov membunuh kekasihnya," tambah Mara, "selama dia masih di Selatan, selama itu pula dia masih belum bisa mengubur wajah Claire nya yang tersayang itu."
"Kau bicara seolah kau belum pernah jatuh Cinta, Marra."
Marra coba mengabaikan sindiran Theo.
"Apa dia, Putri yang kau cintai itu juga tinggal di utara? "Mara hanya asal bertanya untuk mengalihkan tema tentang Artur.
Theo kembali berhenti sejenak untuk menoleh Mara yang berjalan mengekor di belakangnya.
"Tidak, dia tinggal di selatan," jawab Theo singkat tanpa perlu menoleh lagi dan sudah kembali bejalan lebih cepat.
Mara kenal beberapa Putri di Selatan, tentu saja dia mulai menebak-nebak.
Ada Putri Merry dari Burna, Putri Alexsis dari Hitemia, Maria dari Khoza, dari Rizona ada si kembar Tanya dan Tania tapi umur mereka masih sebelas tahun mustahil Theo menyukai anak-anak,dan sisanya hanya ada dirinya sendiri Aurora dari Kaokasia, tidak tentu dirinya tidak masuk hitungan itu konyol.
"Cepatlah hari sudah mulai gelap,"
Mara baru sadar jika langkahnya sudah tertinggal jauh..
*****
"Kau perlu pakaian ganti, "Theo berdiri di depan pintu menyerahkan beberapa pakaian untuk Mara,"aku tidak melihatmu membawa apapun dari kemarin."
"Trimakasih," kembali lagi Marra sadar betapa bodoh dirinya, dan dia masih tidak menyangka jika ternyata Theo juga memperhatikan hal yang dipikirnya sesepele.
"Akan kucarikan pakaian yang lebih layak besok."
"Aku tidak ingin kau mencuri pakaian dari jemuran untukku."
"Aku masih sanggup membeli dua tiga pakaian untukmu, asal jangan meminta lebih," Theo terdengar agak kesal, walaupun Marra sepertinya sama sekali tak merasa sudah menyinggungnya.
"Kau bisa pakai uangku," Mara justru mengeluarkan beberapa koin emas dari kantongnya. Marra merasa iti cukup untuk membeli beberapa pakaian.
"Sudah kubilang aku akan membelikanmu, simpan saja uangmu."
"Baiklah,jangan menyesal anak muda," Mara kembali menyimpan uangnya.
"Jangan lupa aku lebih tua darimu! "
Mara kembali mengabaikannya dan segera mengganti pakaian setelah Theo benar-benar pergi.
Theo baru memanggilnya kembali saat makan malam, dia membuat sup dari kelinci hasil buruan mereka sore tadi.
"Ini enak," kata Mara sungguh-sungguh.
"Sangat mudah membuatnya nanti kuajarkan."
"Benarkah kau akan mengajarkanku memasak? "
Jujur agak konyol membayangkan pria bertubuh tegap justru mengajarinya memasak.
"Secara tehnik aku mengajarkanmu cara bertahan hidup, tentu kau tidak ingin hanya memakan tikus tanah bakar saat tersesat bukan."
Kembali lagi Marra merasa Theo benar, karena seharusnya dia tau tehnik paling dasar untuk bertahan hidup, selain hanya membuat api maksudnya.
"Dan itu gratis untukmu."
"Hm, tentu aku tidak ingin membayarmu hanya karena mengajariku merebus kelinci."
Meski sebenarnya Pemuda itu masih agak jengkel tapi sungguh dia tidak bisa mencegah dirinya sendiri untuk mulai menertawakan kebodohan Marra.
"Kau mau minum."
Mara coba menggeleng tapi tidak menolak dan langsung meneguk gelas yang disodorkan Theo.
"Dengar ini bukan tindakan yang bijak, kita hanya berdua dan kau memberiku anggur."
"Sebaiknya kubuatkan coklat panas untukmu."
"Tidak," Mara justru menarik gelas yang masih di tangan Theo, Theo coba mencegahnya tapi setiap kali gadis itu berhasil menepis tangan pemuda itu. Entahlah mungkin Mara hanya ingin melupakan masalahnya sejenak dengan sedikit bersenang-senang menjadi orang bodoh.
"Sudah cukup Mara," Theo kembali coba menarik gelas Mara dengan tegas.
"Tolong sekali lagi," gadis itu coba merengek, tingkahnya sudah tidak seperti gadis waras yang ia kenal.
"Kau hanya akan memuntahkan daging kelinci yang susah payah kau cari sepanjang sore."
"Itu terdengar lucu... " Mara justru tertawa...
"Aku serius Mara,"
Theo berhasil mencegah tangan Mara untuk kembali meraih gelas di depannya, Theo masih menahan tangan gadis itu di atas meja.
Theo justru mendapati wajah gadis itu yang begitu dekat, dan Marra sedang menatapnya ....
"Di mana keluargamu Theo? "
Tiba-tiba Mara bertanya.
Theo menggeleng, "Aku tidak seberuntung itu."
"Maksudmu kau tinggal sendiri di tengah hutan di besarkan oleh beberapa kera dan ibu gajah?" sepertinya Mara sudah benar-benar mabuk.
Seingat Mara, dirinya hanya minum beberapa gelas setelah menghabiskan daging kelincinya tadi.
"Tidak ada kera tidak ada gajah Mara."
Mara merasa sepertinya ada lengan keras yang menahan punggungnya.
"Tidurlah kau sangat mabuk."
Wajah Theo mulai berputar-putar di kepala Marra dan tangan nya yang lancang justru mulai terulur untuk menyentuhnya.
"Kau tampan," Mara memperhatikan pemuda itu dengan lebih teliti dan melihat ada yang menghangat di matanya.
"Ingat jangan coba menciumku," Mara menjentikkan jari telunjuknya untuk menyentuh bibirnya.
"Kau mabuk Mara, ayolah pergi ketempat tidur."
Selanjutnya Mara hanya merasakan kakinya yang sudah tidak lagi menyentuh lantai.
*****