Radit menyuarakan kenikmatannya dengan geraman seksi yang keluar dari mulutnya.
Alena sendiri terlalu asik mengagumi milik pria itu yang sangat jauh berbeda dengan pria lain, atau sebut saja Adi yang baru saja ia lihat beberapa jam sebelumnya.
Radit menarik Alena dan menempatkan tubuh wanita itu di bawahnya. Ia mengagumi tubuh polos Alena yang sempurna dan tanpa cacat. Payudaranya penuh, tidak besar dan tidak kecil namun pas untuk genggaman tangannya. Radit berpikir bahwa dua benda itu akan menjadi hal yang ia sukai mulai sekarang. Ia mengulurkan tangan untuk merasakan dan membuktikan pikirannya. Kedua tangannya meremas dua benda itu bersamaan hingga membuat Alena menarik napas.
Benar. Gunung kembar wanita itu terasa sangat pas untuknya. Lalu tangannya turun menyusuri perut rata Alena. Radit merasakan kehalusan kulit tubuh yang membuat tangan lelaki manapun ingin menyentuhnya terus menerus. Hingga akhirnya ia berhenti di ujung paha wanita itu. Dengan hati-hati ia merentangkan kedua paha itu ke arah yang berlawanan.
Tidak ada rambut halus yang menutupi keindahan di bawah sana. Nampaknya wanita itu sangat merawat miliknya karena sering berhubungan dengan pria lain, pikir Radit. Lantas ia membuka milik wanita itu dengan kedua jarinya hingga terlihat warna merah muda yang sangat indah, menghipnotis mata Radit seketika.
Ditatap seperti itu, alena merasakan pipinya memerah dan tanpa sadar ia ingin merapatkan kedua pahanya. Namun, Radit tidak memberikan kesempatan itu untuk Alena karena pria itu sudah terlanjur menundukkan kepala dan mencium miliknya dengan lembut.
“Dit..” Napas Alena tersengal.
Pria itu menikmati inti kewanitaan Alena dengan mulut dan lidahnya. Sesekali jarinya masuk untuk ikut merasakan kehangatan wanita itu.
Tubuh Alena bergetar karena menahan kenikmatan yang diciptakan Radit di dalam tubuhnya. “Dit, udah.. Aku ngga tahan.” Tangannya memegang kepala Radit dan meminta pria itu berhenti.
Radit menuruti keinginan Alena hanya karena ia sendiri pun sudah tidak sabar untuk memasuki tubuh wanita itu. Ia mengambil bungkusan plastik kecil di dalam laci samping tempat tidur itu yang sudah disediakan oleh pengurus hotel lalu menggunakannya untuk perlindungan. Ia tidak ingin terjadi sesuatu yang tidak diinginkan dengan wanita yang pertama kali ia temui.
Pria itu mencium bibir Alena dengan penuh hasrat sambil menggesekkan miliknya beberapa kali sebelum ia kahirnya benar-benar memasuki Alena dengan kasar.
“AAAAARH..” Alena menjerit karena rasa sakit yang membakar dirinya. Matanya terpejam bukan karena nikmat melainkan menahan untuk tidak mendorong Radit agar keluar dari tubuhnya. Ia berulang kali mendengar dari teman-temannya bahwa saat pertama kali melakukan hal itu memang akan sedikit menyakitkan tapi ia tidak menyangkan rasanya akan sesakit ini.
Radit kebingungan karena ini diluar perkiraannya. Mana mungkin seorang perawan berani menggoda dan mengajak pria lain untuk bercinta semudah itu? Apa wanita ini gila?
Alena baru sadar bahwa pria itu berhenti bergerak karena sedang kebingungan. Maka ia meminta pria itu melanjutkannya segera. “Dit, mau sampai kapan kamu bengong?”
“Kamu ngga apa-apa?” Tanya pria itu untuk pertama kali berbicara tidak formal pada Alena.
Alena menggeleng sambil tersenyum.
“Ini akan sedikit menyakitkan untuk pertama kali.”
“Aku tahu.” Jawab Alena. Ia yakin pria itu masih kesulitan untuk melanjutkan maka Alena berinisiatif untuk mencium pria itu, ia menaikkan lehernya agar dapat menjangkau bibir Radit. Kedua lengannya melingkari bahu pria itu hingga Radit kembali tenang dan melanjutkan gerakannya.
Alena beberapa kali meringis karena masih merasakan nyeri di tubuh bagian bawahnya namun seiring dengan rasa sakit itu, ia merasakan kenikmatan saat Radit memaju-mundurkan miliknya.
Butuh sekuat tenaga untuk Radit menahan dirinya untuk tidak bersikap kasar saat menyelesaikan permainannya kali ini dengan seorang wanita. Biasanya ia tidak sabaran dan selalu mengutamakan hasratnya tapi karena raut wajah wanita itu, ia menahan gerakannya agar stabil dan tidak menyakitinya.
Setelah Radit mengamati Alena yang sudah mulai rileks dan santai, barulah ia memompa dirinya sedikit cepat hingga akhirnya merasakan ketegangan ditubuhnya. Radit menahan dirinya hingga Alena bergetar hebat dan berteriak. “Ahh.. Dit.. Ak.. Aku udah ngga bisa. Ngga tahan.”
Radit mencium bibir Alena lalu berkata. “Jangan ditahan. Lepaskan.” Setelahnya Alena membiarkan dirinya mengikuti arus kenikmatan yang melanda tubuhnya.
Beberapa saat sebelum tubuhnya meledak, Radit menggeram dan membenamkan wajahnya di pundak Alena. Tangannya meremas p******a wanita itu bersamaan dengan keluarnya cairan panas dari tubuhnya.
Radit mengistirahatkan dirinya di atas Alena walau masih menahan tubuh dengan satu siku. Ia melihat Alena dari samping. Wanita itu memejamkan mata dan Radit dapat merasakan kedamaian dalam diri wanita itu. Melihat itu, membuatnya puas dan bangga bahwa dirinyalah yang menyebabkan ekspresi seperti itu muncul.
Radit berguling ke samping namun ia menundukkan kepalanya diatas d**a wanita itu. Bibirnya mencari puncak p******a Alena dan menghisapnya dengan lembut. Sesekali ia menghisap kulit payudaranya hingga meninggalkan bekas kemerahan disana.
Alena menggerakan tangannya untuk memeluk kepala dan bahu Radit. Ia menikmati apa yang dilakukan pria itu hingga akhirnya tanpa sadar jatuh terlelap sambil mendekap Radit.
=-=
“Alena.”
Dalam tidurnya, Alena mendengar seseorang memanggil namanya namun matanya tidak ingin terbuka karena kelelahan dan ia masih butuh tidur untuk waktu yang lama. Tapi beberapa waktu kemudian, ia merasakan punggungnya dihujani ciuman hangat hingga menjalar berakhir pada bokongnya.
Alena membuka matanya spontan dan menoleh ke belakang tubuhnya. Ia menjernihkan kepalanya dan mengumpulkan potongan ingatan semalam. Adi, bar, seorang pangeran, toilet, hotel dan RADIT!
Ia masih berada bersama Radit hingga saat ini.
“Dit, kamu ngapain?” Tanya Alena dengan suara sengau karena baru saja terbangun dari tidurnya.
“Sarapan.” Jawab pria itu serak. Ya, suaranya memang berat namun pagi ini terdengar lebih berat dan serak. Perpaduan yang sangat seksi bagi Alena bahkan hanya dengan mendengar suara pria itu.
Radit kembali menciumi punggung dan menuju ke bahunya. Mencium Alena dari belakang setelah memalingkan wajah wanita itu agar menghadap padanya. Sambil melakukan itu, Alena merasakan sesuatu terselip di bagian bawah tubuhnya. Matanya membulat saat menyadari pria itu sedang memasukkan miliknya ke dalam tubuh Alena.
“Dit, aku ngga bilang mau ngelakuin ini lagi sama kamu.”
“Well, you’re still here jadi aku anggap kamu masih mau melakukan ini.”
Benar juga, ini salah Alena. Mengapa ia tidak langsung pergi setelah melakukan itu dengan Radit semalam? Dasar bodoh.
Radit menggerakkan tubuhnya dari belakang. Ia berguling menyamping dan menarik Alena bersamanya hingga tangannya dapat leluasa memainkan d**a milik wanita itu. Ia juga dapat mengakses leher mulus Alena dengan baik walau dari samping. Sesekali tangannya turun ikut menyentuh bibir v****a milik wanita itu.
“Alena..” Pria itu memanggil nama Alena dengan napas tertahan. Gerakan pinggulnya semakin dalam juga cepat. Remasan tangan pria itu di d**a Alena menguat hingga akhirnya keduanya mencapai puncak yang bersamaan.
Kali ini Alena tidak dapat berkata apa-apa karena takjub akan rasa yang dihasilkan pria itu pada tubuhnya. Sangat berbeda dengan semalam walaupun sama-sama menyenangkan. Namun pagi ini, karena tubuhnya sudah terbiasa sehingga rasanya semakin baik dan memuaskan.
Alena bergerak menjauh dan melepaskan milik Radit dari tubuhnya.
“Okay, time to say goodbye, Dit.” Alena duduk dari posisinya semula dan membelai perut sixpack milik pria itu sebagai perpisahan bahwa dirinya tidak akan merasakan otot yang terbentuk sempurna itu. Radit membuka mata saat mendengar kalimat Alena.
Alena hendak bangkit dari tempat tidur itu menuju kamar mandi. “Mau kemana?” Suara pria itu mendadak terdengar dingin saat bertanya pada Alena.
Alena menatapnya dan menjawab. “Udah jam 8, aku mau pulang.”
Alena menggapai ponsel yang ia letakkan di atas nakas semalam. Jarinya lantas membuka aplikasi perbankan untuk mengecek jumlah uang yang masuk semalam.
Matanya membesar saat melihat nominal angka di rekeningnya. Untuk memastikan, ia menghitung kembali angka nol yang ada di layar. “Kamu transfer 200 juta?” Tanya Alena panik. Ia mengira pria itu akan membayarnya di angka sepuluh hingga dua puluh juta saja. Berapapun itu Alena tidak begitu memedulikan nominalnya karena memang bukan itu tujuan ia mendekati sang pangeran.
“Anggap saja itu uang tutup mulut.”
“Tunggu!” Seru Alena. “Kamu ngancam aku pake uang agar aku ngga ceritakan hal ini?”
Pria itu memandang datar pada Alena. “Kurang?”
“Kamu ngga usah khawatir. Aku ngga berniat menceritakan apapun tentang kamu.” Alena mulai kesal. “Mana nomor rekening kamu, aku balikin semuanya.”
“Bukannya kamu bilang butuh uang? Aku bisa kasih kamu lebih banyak dari yang kamu mau.”
“NGGA BUTUH!” Teriak Alena kesal.
Alena memberikan ponselnya kali ini pada Radit, seperti apa yang pria itu lakukan padanya semalam. “Nomor rekening kamu.” Pintanya.
Radit menaikkan sebelah alisnya pada Alena. “Pergi saja dari sini dan jangan memiliki urusan apapun dengan kerajaan. Aku ngga akan ganggu kamu, begitu pula sebaliknya. Jangan muncul lagi di hadapanku.”
Bahu Alena mengedik. “Ya udah kalo ngga mau dibalikin, terserah.” Lalu ia berjalan untuk memunguti bajunya.
Radit bersandar di kepala ranjang sambil menikmati pemandangan sebuah tubuh indah mengenakan pakaian di depannya.
“Kamu harus inget sama siapa kamu berurusan, Alena. Jangan berani-beraninya muncul lagi dihadapanku.” Radit memperingati wanita itu hingga Alena menghentikan gerakannya.
“Itu tergantung suasana hati aku nanti. Siapa yang tahu tiba-tiba aku kangen sama kamu dan malah pengin nyamperin kamu ke istana?”
“Kamu yakin berani melakukan itu?”
Alena menyunggingkan senyum di wajahnya yang cantik. “We will see, dit.”
=-=
Di kantin kampus, pagi hari, Alena menaruh kepalanya di atas meja panjang yang hanya diisi oleh dirinya sendiri. Semangkuk bubur ayam yang baru saja ia pesan sepuluh menit yang lalu mendadak tidak menarik bagi Alena. Namun perutnya seolah protes karena sejak kemarin ia belum makan dengan layak karena terlalu sibuk memikirkan Radit.
Dengan lemas, Alena mengambil sendok dan menuangkan sambal dari wadah plastik yang di taruh di tengah meja oleh Pak Udin, sang penjual, saat mengantarkan pesanannya ke meja tadi. bagaimanapun, perutnya harus di isi untuk mencerna pelajaran sejarah yang akan masuk di jam pertama.
Sebagai mahasiswa tingkat akhir, Alena harus belajar dengan giat di samping waktu bermainnya yang juga padat. Itu semua ia lakukan agar memiliki kehidupan yang seimbang. Ia tidak ingin masa depannya hancur karena tidak bisa mendapatkan IPK tinggi, karena tidak peduli bagaimanapun sebuah perusahaan masih menjunjung nilai IPK dalam merekrut karyawan di sisi lain ia juga tidak ingin masa mudanya membosankan karena hanya fokus mengejar nilai IPK. Maka dari itu ia membutuhkan teman yang dapat menyeimbangkan hidup dan waktunya.
Seperti gadis yang sedang berjalan ke arah mejanya kali ini. Echa.
Echa dengan sedikit berlari menghampirinya dengan senyum lebar. “Kunyuk, kok gue telponin dari kemaren ngga lo angkat?”
Boro-boro ia ingin mengangkat telepon dari Echa. Mendengar dering bunyi ponselnya saja ia ogah, sehingga setelah pulang dari hotel Alena sengaja mengaktifkan mode sunyi pada ponselnya. Alena menyendokkan bubur ke dalam mulutnya tanpa menjawab pertanyaan Echa.
“Lo di service habis-habisan sampe kemaren ya sama raden mas?”
Mendengar Echa memanggil pria itu dengan sebutan raden mas membuat Alena bergidik dan menaruh sendoknya. Ia menghela napas, namun akhirnya membuka mulut. “Kayaknya gue salah langkah, Cha.”
Mendengar itu, Echa berhenti memasang wajah tengilnya menjadi sangat serius dan kepo. “Hah, kenapa? Dia ga ngidap fetish macem-macem kan?”
“Ngga sih, tapi..” Alena mengedarkan pandangannya ke seluruh kantin memastikan jarak antara dirinya dengan siswa lain cukup jauh sehingga tidak dapat mendengarkan pembicaraan mereka. “Dia kayaknya bener-bener cuma cari temen one night stand malam itu.”
Echa mengerjapkan matanya dan tidak berkata apa-apa selama lebih dari sepuluh detik hingga Alena harus menggoyangkan tangannya di udara, di depan wajah Echa.
“Eh, maksudnya gimana? Emang itu kan yang lo mau, lepas perawan sama dia? Dah gitu lo bisa bebas sama cowok lain.”
“Masalahnya sampe sekarang gue ngga bisa ngelupain setiap detik yang terjadi di malam itu.” Alena menutup kedua matanya dengan telapak tangan.
“Ya udah, lo deketin lagi aja kalo gitu. Berusaha lagi. Siapa tau kalo lo goda dia, dia bakal mau lagi.”
Alena menggeleng. “Kayaknya keputusan dia udah bulat. Dia transfer duit ke gue sebagai duit tutup mulut. Walaupun tanpa perjanjian tertulis, dia bisa gugat gue kalo ngelanggar. Ini pemerintahan yang diatur keluarganya, hukum bisa berpihak sama dia kapan aja.”
“Lo ditransfer berapa duit?”
“Lima ratus juta.”
“HAAAAAAAAAAH?” Echa berteriak kaget. Alena yakin karena nominal yang ia sebutkan barusan. “Gila! Itu mah duit l***e sebulan juga lewat kali, Len.”
Alena sampai harus memukul lengan Echa agar temannya mau merendahkan suara cemprengnya itu. “Berisik, jangan keras-keras. nanti yang lain denger.”
Echa menengok ke sekitarnya lalu meringis. “Oh iya, sorry. Abis gue kaget banget denger duit segitu. Itu artinya di rekening lo lagi ada duit sebanyak itu?”
Alena mengangguk pasrah.
“Yah, tapi ngga heran juga sih. Radit kan emang tajir. Selain dia putra mahkota, Radit juga punya perusahannya sendiri di bidang pertambangan. Duit segitu mah kecil kali, Len.”
“Hah? Dia punya perusahaan? Maksud lo dia udah kerja?” Tanya Alena.
Echa dengan wajah tak berdosanya mengangguk. “Iya lah, menurut lo aja dia ngapain kalo ngga kerja di umur segitu?”
“Dia bukannya anak kuliahan, Cha?”
“Ngomong apa sih lo?”
“Jordan anak kuliahan kan?”
“Iya, tapi hubungannya Jordan sama Radit apa?”
“Bukannya Radit sama Jordan saling kenal?”
Echa tertawa dengan puas mendengar pertanyaan Alena. “Dih apa sih, ngaco. Dari mana tu cecunguk bisa kenal sama radenmas?”
“Tunggu. Jadi, berapa umur Radit sekarang?”
Echa menghitung angka di kepalanya, jarinya mengacung untuk memastikan hitungannya. “Kayaknya 29 deh, Len. Apa 30 ya? Coba lo cari di internet aja. Sekitar segitu pokoknya.”
“Whatttttttttt?” Jika ini ilustrasi kartun, mata Alena pasti akan terjatuh ke lantai saking bulatnya saat ia mendengar jawaban Echa.
Semua penghuni kantin kali ini benar-benar memperhatikan Alena karena tengah membuat kegaduhan di pagi hari tapi ia sama sekali tidak peduli. Hancur, hidupnya benar-benar hancur. Bagaimana mungkin ia bisa berhubungan dengan pria yang beda jarak umurnya hampir sepuluh tahun dengannya?