Peserta

1570 Words
Keesokan paginya, ayah dan ibu Alena mengantar kepergiannya menuju kediaman kerajaan hingga pintu gerbang. Di depannya banyak wartawan berkerumun. Alena juga dapat melihat beberapa orang dari keluarga peserta lain. Terlihat dari wajah orangtua mereka yang sedih karena akan melepas anaknya untuk mengikuti kontes ini. Berbeda terbalik dengan orangtua Alena yang tersenyum bahagia mengantar kepergiannya. Ayah mengusap punggung Alena. “Sayang, kamu adalah putri ayah dan ibu yang terbaik. Keluarga kita berpendidikan dan latar belakang keluarga kita juga bagus. Kamu pasti bisa memenangkan kompetisi ini.” Alena menyunggingkan senyum tipis mendengar hal itu. Ia tidak pernah ingin menjadi ratu, dan ia yakin ia akan gagal. Itu sebabnya ia berani mengikuti kontes ini, karena ia hanya berniat bertemu Radit beberapa kali sebelum akhirnya ditendang oleh keluarga kerajaan karena tidak memiliki kualifikasi yang cocok untuk menjadi calon istri sang pangeran. Alena akhirnya berpelukan, berpisah dengan orangtuanya lalu mulai melangkah masuk ke dalam gerbang kerajaan bersama kandidat lain. Kerumunan bersorak-sorai hingga pintu gerbang ditutup dan ia tidak dapat melihat mereka lagi dengan jelas. Mata Alena memandang ke depan saat melihat kastil megah dengan sentuhan arsitektur khas jawa yang indah. Taman terbentang luas di samping bagian kastil itu, dihiasi berbagai tanaman dan bunga yang indah. Para kandidat telah dikumpulkan di dalam satu ruangan. Melihat dari interiornya, ini merupakan ruangan untuk menjamu tamu. Walau begitu, ia merasa nyaman duduk di sofa berwarna cokelat bercampur dengan hiasan emas. “Hai.” Bisik seseorang disampingnya. Alena menoleh. Seorang wanita dengan rambut hitam lurus tersenyum lebar menyapa. “Aku Nuri.” Wanita itu mengulurkan tangan. Alena membalas senyumannya dan menyambut uluran tangan wanita yang bernama Nuri tersebut. “Halo, aku Alena.” “Kamu berasal dari daerah mana?” Tanya wanita itu. “Dari sini. Yogyakarta. Kamu?” “Aku jawa barat, Bandung.” Alena dapat melihat dari keramahtamahannya. Wanita itu memang terlihat dari suatu daerah di Jawa barat. Ia tersenyum karena senang akan mendapat teman baru di tempat ini. Di antara ke empat peserta lainnya, Nuri tidak kalah saing. Wanita itu memiliki wajah yang ayu dan lemah lembut. Tipe wanita yang akan disukai oleh keluarga kerajaan. Tiga kontestan lainnya memiliki karakter wajah yang agak berbeda. Wanita yang ia tahu berasal dari Sumatera Barat selalu duduk menjauh dari orang lain dan terlihat keberatan untuk berkomunikasi. Sedangkan ekspresi wajah kandidat yang berasal dari Jakarta terlihat sedikit bosan menunggu di ruangan ini. Satu wanita lainnya yang Alena ketahui berasal dari Kalimantan terlihat sedih berada di tempat ini. Alena sendiri sudah berkali-kali mengecek jam tangannya. Menghitung waktu yang ia habiskan untuk menunggu di ruangan ini. Setelah beberapa waktu berlalu barulah pintu ruangan terbuka. Alena melihat dua orang membuka pintu lebar-lebar dan mempersilakan seseorang memasuki ruangan tersebut. Seseorang yang Alena lihat adalah sang ratu keraton. Ibu dari raden mas Raditya. Wanita itu memiliki wajahnya yang cantik nan lembut namun terlihat berwibawa dengan pundak dan dagu yang tegak. Semua orang sontak berdiri untuk menyambut kedatangan sang ratu. “Selamat datang semuanya.” Para kontestan menjawab dengan serempak. “Saya ingin mengumumkan beberapa hal penting mengenai proses yang akan berjalan ke depannya.” Ratu menuju kursi yang paling ujung dan duduk dengan anggun. Ia menyuruh kontestan untuk duduk setelahnya. “Saya tidak akan membuang waktu kalian terlalu lama, itu sebabnya kita mempersingkat tahapan seleksi. Seharusnya kami memilih sepuluh wanita untuk datang ke kerajaan namun karena waktu yang terbatas, kami hanya memilih lima yang terbaik. Saya harap kalian tidak mengecewakan kami, keluarga kerajaan beserta rakyat yang akan kalian pimpin ke depannya. Proses selanjutnya saya akan langsung menyerahkan kepada raden mas untuk memilih dua dari kalian berlima untuk bersaing hingga akhir.” Suara terkesiap dari beberapa orang terdengar. Alena sendiri tidak bereaksi apa-apa karena ia memang tidak berencana menetap lama. Satu pertemuan akan cukup baginya. Jika Radit adalah pria biasa, ia bisa saja mendatanginya di sembarang tempat namun masalahnya, pria itu adalah pangeran keraton yang setiap hari diiringi pengawal dan disorot media. Hanya di waktu-waktu tertentu seperti malam itulah ia dapat ditemui. Namun itu bukan waktu yang mudah ia temukan. Hanya kebetulan yang dapat membawanya bertemu pria itu. “Sekarang kalian boleh beristirahat, abdi dalem akan mengantarkan kalian ke kamar masing-masing. Raden mas akan mengatur waktu untuk menemui kalian kapanpun beliau siap. Penilaian beliau setelah pertemuan tersebut akan mempengaruhi keberadaan anda di istana ini.” Abdi dalem yang merupakan sebutan untuk orang-orang yang mengabdikan hidupnya untuk mengabdi kepada kerajaan, segera menghampiri para peserta satu persatu untuk menunjukan kamar yang akan mereka tempati. Alena dituntun ke dalam sebuah kamar yang berada paling ujung namun untunglah kamar yang ia tempati memiliki pemandangan langsung menuju taman sehingga ia akan betah merenung di dalam kamar itu. Setelah barang-barangnya ia bereskan, Alena membaringkan tubuhnya sebentar di atas ranjang. Meneliti sesaat kondisi ruangan tersebut. Kamar yang berukuran lumayan luas itu memiliki dinding berwarna hijau pastel dengan interior serba putih. Kasurnya memiliki tiang disetiap sudut dan kelambu yang biasa digunakan anggota kerajaan jaman dulu. Walau begitu, desainnya tetap cantik dipandang dan membuatnya betah berlama-lama di dalam ruangan itu. Selama mengikuti tahap seleksi, para peserta dilarang menggunakan ponselnya karena dikhawatirkan akan menyebarluaskan informasi-informasi penting di dalam kerajaan. Sehingga Alena tidak tahu lagi apa yang harus ia lakukan saat ini, biasanya ia memainkan ponsel untuk menghabiskan waktunya. Hingga akhirnya Alena mendapati dirinya mengantuk karena bosan dan memilih untuk memejamkan matanya sejenak dan beristirahat.  =-= Semilir angin malam membangunkan alena dari tidurnya. ia mengucek matanya dan tersadar bahwa ia tidak sengaja tertidur beberapa jam yang lalu. Perutnya keroncongan karena belum makan sejak tadi siang tiba di istana ini. Alena duduk dan melihat jam, masih pukul sebalas malam. Belum terlalu larut untuk meminta sedikit makan malam untuk dirinya. Akhirnya setelah mencuci muka, ia pergi menuruni tangga dan mencari dapur. Alena tidak menemukan satu pun orang yang dapat ia tanyai. Berbekal rasa percaya dirinya, ia pergi ke bagian belakang istana tersebut. berharap menemukan dapur atau apapun itu yang dapat memberikannya sedikit makanan. Saat menuju bagian belakang, ia mendapati ruangan tersebut terbuat dari kaca yang menembus ke sayap bangunan lain. Di depannya ada juga sebuah pintu untuk keluar dari istana. Mungkin ini semacam pintu belakang khusus, pikir Alena. Tadinya ia hendak meneruskan pencariannya ke arah lebih jauh namun samar-samar Alena melihat sebuah bayangan di seberang bangunan tempat ia berdiri saat ini. di kejauhan seseorang seperti baru saja keluar dari sebuah ruangan. Alena berpikir ia bisa bertanya pada orang itu arah menuju dapur. Maka dengan langkah yang riang ia keluar dari bangunan itu, menunggu di jalan setapak yang dialasi rumput dan bebatuan yang tertata dengan rapi. Alena melipat tangannya sambil melindungi tubuh dari angin malam yang berembus. Ia menunggu orang itu mendekat. Kakinya yang beralaskan sepatu datar diketuk-ketukannya ke lantai. Hingga akhirnya ia melihat bayangan itu perlahan-lahan mulai menampilkan sebuah sosok. Sosok yang ia kenal. Sosok yang menjadi tujuannya berada di sini. Sosok yang sama yang juga berdiri terpaku saat melihat Alena berdiri di tempat itu seolah menyadari sesuatu. “Radit.” Alena tanpa sadar memanggil nama itu dalam bisikan. Seolah mendengar namanya dipanggil, pria itu berjalan semakin dekat dan menatap lurus pada Alena. “Apa yang kamu lakukan di sini?” Suara bariton bernada dingin yang ia dengar tempo hari di klab malam persis dengan yang ia dengar saat ini. Alena mengerjapkan matanya dan mulutnya terbuka untuk menjawab namun seolah kehabisan kata, tidak ada kalimat apapun yang terucap hingga Radit akhirnya harus bertanya sekali lagi. “Saya tanya, apa yang kamu lakukan di sini?” “Hmm, anu..” akhirnya Alena mengumpulkan kesadarannya dan menjawab pertanyaan pria itu. “aku di sini untuk mengikuti kontes itu.” Radit mengerutkan keningnya. “Maksud kamu calon putri raja?” Alena mengangguk. Radit terlihat sedikit tidak percaya dengan kebetulan yang terjadi. Ia lalu memejamkan matanya dan menyisir rambutnya yang sedikit berantakan ke belakang. Melihat itu, Alena juga ingin menenggelamkan jarinya di sana. namun ia menahan diri dan mengepalkan tangan. “Kamu serius ingin mengikuti kontes sampah ini?” Tanya Radit dengan nada merendahkan. Alena tidak tahu pria itu merendahkan dirinya atau acara kontes ini namun yang jelas dalam benak Alena hanya bagaimana caranya untuk melanjutkan urusan yang tertunda dengan pria itu. Alena mengangguk lagi, dengan antusias. “Ratu bilang keputusan akhir ada di tangan kamu. Berdasarkan penilaian kamu, dua orang akan bertahan untuk proses lebih lanjut hingga akhirnya kamu menentukan pasangan hidup untuk dijadikan calon ratu selanjutnya.” Radit mendengus. “Tidak akan.” Alena pikir ia salah dengar. “Apa?” Tanyanya berharap Radit mengulangi kalimatnya namun pria itu tidak menggubris Alena sama sekali. Pria itu mulai masuk ke dalam ruangan. “Lebih baik kamu mengundurkan diri daripada membuang waktu di sini. aku tidak akan memilih siapapun untuk menjadi ratu.” “Tapi peraturannya ngga seperti itu. Kamu harus mendapatkan ratu dari ajang pemilihan ini kan?” “Percuma.” Jawab pria itu singkat. “Dengar. Aku kasih kamu peringatan sejak awal. demi kebaikan kamu sendiri, lebih baik keluar dari acara ini.” Alena mengejar langkah sang pangeran yang lebih cepat daripada dirinya. “Tunggu, dit.” Panggil Alena sambil meraih siku pria itu. Pria itu berhenti dan langsung membalikkan badannya untuk berhadapan dengan Alena. Alena yang tidak mengharapkan gerakan tiba-tiba itu kaget dan mundur beberapa langkah namun punggungnya di tahan oleh lengan yang melingkari pinggangnya. “Dengar. Kamu ngga akan dapat apa-apa dari sini. lebih baik pergi dan jangan buang waktumu di sini. Mengerti?” “Kenapa?” Tanya Alena penasaran. Pria itu bersikeras menyuruhnya pergi. Tapi pria itu tidak pernah menjawab hingga akhirnya ia benar-benar pergi meninggalkan Alena beridri sendirian.  
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD