"Kenapa pikiranmu terlalu jauh sampai ke arah sana?" tanya Panji pelan.
"Aku pikir semua laki laki mempunyai tujuan yang sama, hanya ingin bersenang-senang dengan perempuan, lalu perempuan itu di hempaskan begitu saja bila sarinya telah habis." ucap Aya menatap tajam ke arah Panji.
"Aku hanya ingin menolongmu, mengantarmu sampai rumah dengan selamat. Aku tidak ada maksud lain. Dan bila itu terjadi kamu bisa berteriak sekencang-kencangnya." ucap Panji dengan tenang.
Panji hanya merasa nyaman bersama Aya. Dirinya ingin selalu menjaga gadis impiannya ini.
Aya seperti tampak sedikit berpikir menimbang nimbang permintaan Panji yang sebenarnya tidak berlebihan.
Karena malam semakin larut dan dingin, Aya pun menyetujui bila harus diantarkan pulang oleh Panji. Sahabatnya Firman kini sudah tidak ada lagi di sisinya, jadi tidak mungkin Aya tetap bergantung pada orang yang sudah tidak ada lagi di kota ini.
"Oke tapi khusus malam ini saja." ucap Aya pelan.
"Aku siap menjadi supir roda duamu." ucap Panji terkekeh dan berjalan ke arah parkiran motornya.
Motor yang sudah tidak asing lagi. Motor matic Aya sudah di tambal. Kedua bannya pun terlihat baru seperti habis di ganti.
"Ban luarnya kamu ganti Mas?" ucap Aya pelan.
Panji pun hanya tersenyum tipis dan tidak menanggapi. Motornya sudah berjalan di atas aspal menuju rumah sederhana Aya.
Satu mobil merah masih terparkir di depan rumahnya. Sesuai dengan ucapan Kak Fadil ingin menemui Ibu karena ada hal yang penting.
"Aya... aku langsung pulang saja." ucap Panji yang merasa canggung bila harus bertemu Friska.
"Kita tukar motor dulu. Itu motor kamu sudah ada di halaman." ucap Aya menjelaskan.
"Baiklah..." ucap Panji pelan. Panji pun turun dari motornya dan mendorong motor itu ke dalam halaman rumah.
Baru saja kakinya melangkah Aya mendegar suara ramai ramai dari dalam rumahnya. Ada suara Fathur yang terdengar histeris dan menangis sejadi jadinya.
Aya yang terkejut mendengar teriakan itu pun berlari masuk ke dalam rumah, di ikuti oleh Panji yang ikut berlari menuju sumber arah suara teriakan itu.
Didalam rumah itu terlihat Ibu Aya yang terlihat tidak sadarkan diri di pangkuan Fathur yang menangis. Didepannya ada Kak Fadil dan Mbak Friska yang terlihat shock.
"Kenapa Ibu... Kenapa Ibu, Fathur!!!" teriak Aya dengan sangat kencang.
Fathur hanya menangis dan menunduk. Tidak mungkin Fathur tidak tahu apa yang terjadi.
"Ada apa Aya." ucap Panji dengan tergesa-gesa masuk ke dalam rumah Aya.
Tatapannya tidak sengaja bertemu dengan netra Friska yang juga nampak terkejut melihat kedatangan Panji ke rumah Aya.
"Fathur?!! Jawab Mbak Aya. Ibu kenapa.... Ibu bangun Bu.... Ini Aya.... Bu.... " ucap Aya yang menciumi wajah ibunya.
"Aya... biar aku pindahkan m Ibu ke kamarnya." ucap Panji pelan. Panji pun menggendong Ibu Aya dan menidurkannya di kasur. Hidungnya diberi minyak angin agar cepat sadar.
Panji pun memijat kaki Ibu Aya dengan penuh kepedulian.
Aya terus memegang tangan Ibunya dan sesekali mengolesi minyak angin di lubang hidungnya.
Sekitar dua puluh menit kemudian, Ibu Aya pun kembali siuman dan mulai membuka matanya.
Arah pandangan pertama menatap Panji yang masih memijat kakinya. Lalu menatap Aya dan Fathur. Terakhir tatapan sini pun ditujukan kepada Fadil dan Friska.
"Pergi Fadil. Jangan pernah kembali ke rumah ini lagi. Jangan pernah akui aku sebagai Ibumu. Pergi!!!!!! " teriak Ibu Aya yang histeris. Hatinya sungguh kecewa dan terasa sakit hati karena telah dibohongi oleh anaknya sendiri.
Fadil pun tidak pergi malahan mendekati ibunya dan menggenggam tangan IbubAya dengan lembut dan mengecupnya berkali kali.
"Maafkan Fadil telah membuat Ibu kecewa." ucap Fadil terbata bata. Bibirnya pun mendarat di kening Ibunya lalu kedua pipi Ibunya.
"Ampuni Fadil Ibu.... Maafkan anakmu yang sudah durhaka. Fadil pergi Bu.... " ucap Fadil dengan mata yang sudah berkaca-kaca.
Ibu Aya hanya terdiam seperti patung. Tidak merespon sedikitpun yang di ucapkan oleh Fadil. Hatinya yang lembut sudah terlanjur kecewa.
Tangannya hanya menggenggam erat tangan Aya. Mungkin kehadiran anak perempuan semata wayangnya ini bisa merubah suasana hatinya yang kacau menjadi bahagia.
Fadil tetap bersikukuh dengan keputusannya. Dia pergi bersama Friska dan meninggalkan Ibu dan kedua adiknya yang terus saja menangis tanpa kejelasan.
Langkahnya terhenti saat Aya berteriak histeris ke arah Fadil dan Friska.
"Apa yang membuatmu seperti ini Kak Fadil? Apa karena kita miskin?" tanya Aya dengan geram. Teriaknya begitu menggelegar ke seluruh penjuru kamar.
"Kamu masih terlalu kecil, untuk ikut campur urusanku Aya. Urus sekolahmu dan dirimu hingga kamu sukses dan bahagia dengan hidupmu. Sumber kebahagiaan ku saat ini adalah Friska dan buah hati kita.' ucap Kak Fadil dengan tegas dan lantang.
Deg.....
Deg.....
Deg....
Ucapan itu begitu sulit untuk diterima. Aya hanya menatap tajam ke arah Kak Fadil dan Friska. Sedangkan Panji yang syok mendengar pengakuan Fadil pun ikut terperanjat kaget.
"Apa maksudnya Kak Fadil. Kenapa????" ucap Aya histeris. Kedua tangannya di hentakkan di di atas kasur dan kakinya seperti tegang dan ini menendang apapun di sekitarnya.
"Sudah Aya. Aku menyayangimu sebagai adikku, tapi biarkan aku memilih jalan hidupku sendiri. Selamat Tinggal semuanya." ucap Kak Fadil lirih dan menggandeng tangan Friska untuk segera pergi dari rumahnya. Rumah masa kecilnya yang menjadikan Fadil sukses seperti ini. Hasil keringat dan jerih payah orang tuanya tidak ada artinya lagi di banding wanita yang kini ada di sampingnya.
Panji sejak tadi menyimak perseteruan Keluarga Aya. Hatinya ikut sedih dan terluka. Mengingat Ibu dan Bapaknya di rumah menanti kepulangan anaknya agar segera sukses.
Doa orang tua terutama Doa Ibu itu sangatlah mustajabah. Suara deru mobil pun sudah berlalu. Kini tatapan Aya beralih pada Fathur untuk menanyakan apa yang sebenarnya terjadi.
"Fathur... ada apa ini." tanya Aya pelan.
"Sudahlah Aya. Adikmu masih terlalu kecil, Dia tidak tahu apa-apa. Pergilah ke kamarmu Fathur, Ibu ingin bicara dengan Kakakmu." ucap Ibu Aya dengan kedua mata yang masih basah.
"Baik Ibu." ucap Fathur menurut. Kemudian mengecup pipi Ibunya dengan penuh kasih sayang.
Fathur pun meninggalkan kamar Ibu menuju kamarnya sendiri. Kamar itu milik Fadil, tapi semenjak Fadil bekerja, kamar itu beralih fungsi menjadi kamar pribadi Fathur.
"Aya itu siapa?" tanya Ibu Aya dengan pelan. Tatapannya sejak tadi menatap Panji, seolah-olah meminta untuk menghampiri Ibu Aya.
"Itu Mas Panji Bu. Dia yang membantu Aya tempo hari. Mas Panji sini, kenalin ini Ibu Aya." ucap Aya lembut dan bergetar.
Panji pun menghampiri Ibu Aya dan menyalinnya dengan sopan.
"Kamu Panji. Sepertinya Ibu pernah bertemu tapi dimana." ucap Ibu Aya pelan.
"Mungkin di jalan Ibu." ucap Panji dengan sopan.
"Kalian kenal kekasih Kak Fadil?" tanya Ibu Aya pelan.
Aya dan Panji pun saling bertatapan dan saling mengangguk.
"Dia Friska Bu. Dia kekasih Mas Panji." ucap Aya pelan dan menundukkan kepalanya.
Ibu Aya hanya tersenyum tipis melihat keduanya secara bergantian.
"Maafkan Fadil anak Ibu, Panji. Mungkin Fadil sudah melukai perasaan kamu." ucap Ibu Aya pelan. Dadanya terasa sesak, penyakit dalam yang di deritanya selama ini sudah berhasil Ibu Aya tutupi dari ketiga anaknya.
"Panji tidak apa apa. Sebelum semuanya terjadi, mungkin ini yang terbaik untuk Panji." ucap Panji pelan. Hatinya begitu sabar dan tegar. Jiwanya begitu besar melupakan pengkhianatan yang dilakukan oleh Friska.
"Friska bukan wanita yang baik. Dari sorot matanya, Dia hanya memanfaatkan kebijakan Fadil. Suatu hari kakakmu akan menyesal telah meninggalkan rumah ini." ucap Ibu Aya terbata bata. Suara batuk yang keras hingga menimbulkan bercak darah di telapak tangan Ibu Aya.
"Ibu... Ibu kenapa? Kenapa ada darah? Ibu sakit apa? Kita ke dokter ya Bu. Mas Panji, tolong Aya Mas." ucap Aya memohon.
Panji pun langsung keluar rumah dan mencari taksi untuk membawa Ibu Aya.
"Aya... Jadilah pengganti Ibu untuk Fathur. Cari Suami yang baik dan sayang denganmu. Ibu lihat Panji orang yang baik. Bilang Firman maafkan Ibu yang tidak amanah." ucap Ibu pelan.
"Apa maksud Ibu tidak amanah??." ucap Aya setengah berteriak.
Ibu hanya tersenyum melihat Aya. Rasa sakitnya sudah tidak tertahankan lagi.
"Ibu ada apa sebenarnya.... Astaghfirullah... " ucap Aya yang sudah menangis meraung-raung.