2

846 Words
Lia sudah mengatur semuanya. Ia sengaja memulangkan beberapa tim lainnya kembali ke Yogyakarta. Sedangkan drinya tetap berada di kota kecil itu bersama Panji. Lia beralasan kalau tim kedua bakal datang terlambat karena faktor operasional kantor. "Lia, Kita kapan pulang! Kamu tahu kan, lusa, aku bakal menikah. Aku harus pulang. Seharusnya kemarin aku pulang duluan dengan tim yang lain, bukan malah mengerjakan hal yang gak berguna kayak gini," jelas Panji begitu marah. "Panji, cuma kamu yang bisa kerjakan proyek ini. Seharusnya kamu bangga dong. Siapa tahu, setelah ini, kamu naik jabatan dan kita memiliki posisi yang sama," jelas Lia menepuk bahu Panji dan mulai menggoda Panji. "Cih .. Lepas. Hubungan kita sebatas kepala tim dan anggota tim. Rekan kerja dan tidak lebih dari itu," jelas Panji lalu menepis tangan Lia yang memegang bahunya. "Lalu, kejadian malam itu? Gimana?" tanya Lia denagn senyum penuh arti. "Jangan gila kamu, Lia! Itu hanya akal -akalanmu saja kan! Anak -anak juga bilang kok," ucap Panji semakin emosi. "Terserah kamu mau bilang apa? Intinya, kamu pilih nurut aku? Atau aku kirimkan semua bukti itu ke rumah Aya, calon istri kesayanganmu itu," jelas Lia penuh kemenangan. Lia merasa apa yang telah ia lakukan berhasil. Sekarang tinggal menunggu saja. Panji pasti keberatan soal ancaman itu. Ia harus menjaga perasaan Aya, bukan? *** Dua minggu berlalu dengan cepat sekali. Besok adalah hari pernikahan Aya dan Panji. Tetapi malam ini, Panji seolah menghilang tidak ada kabar. Padahal, kemarin mereka masih bertukar pesan. Memang tiga hari ke belakang, Panji tidak pernah menelepon Aya. Ia hanya mengirimkan pesan dan memberikan foto saja. Agak aneh, tapi Aya tidak mempermasalahkan hal itu. Jantungnya semakin berdegup kencang. Malam ini, Aya tidak bisa tidur nyenyak. Pukul tiga pagi nanti, perias bakal datang untuk merias. Kamar tidurnay juga sudah di sulap menjadi kamar pengantin yang sanagt cantik sesuai keinginan Aya. Kemarin, Kak Fadil sudah bertanya pada Aya soal Panji. Apakah Panji sudah pulang atau belum, dan Aya hanya bilang sudah. Karena memang begitu janji Panji pada dirinya. Aya mengirimkan pesan singkat kepada Panji. "Mas? Kamu sudah sampai mana? Akad nikahnya besok lho? Kamu gak lupa kan? Kamu sudah di jalan?" "Mas ... Kok ceklis satu sih ..." "Mas ..." "Mas Panji!" "Mas?" "Ya Allah, Mas? Hapemu kenapa Mas?" "Jangan buat aku stres dong, Mas?" Semakin banyak Aya mengirimkan pesan kepada Panji. Semakin banyak pula kecemasan yang di rasakan Aya. Semua pesan itu belum terkirim kepada pemilik kontak. Status pesan itu centang satu. Entah ponsel Panji rusak? Tidak ada sinyal? Atau ...? Kemungkinan lain? "Tidak!" teriak Aya frustasi sambil menjambak rambutnya sendiri. Ia benar -benar kacau malam ini. Tubuhnya mulai lemas dan terasa lelah sekali. Tubuh mungil itu di jatuhkan di atas kasur yang sudah di dekorasi dnegan sprei berwarna pink berbahan satin. Aroma wanginay semerbak membuat kedua mata Aya menutup dan akhirnya terlelap. Tepat pukul tiga, perias pengantin sudah datang dan langsung masuk ke kamar Aya. Perias itu membangunkan AYa dan meminta Aya untuk segera mandi dnegan air hangat karena akan di make up. Acara akad nikah akan berlangsung tepat pukul tujuh pagi di Masjid besar dan di lanjutkan pesta pernikahan di gedung yang megah. Pernikahan ini adalah impian Aya. Setiap perempuan pasti memiliki pernikahan impian mereka. Dan saat inilah yang di tunggu-tunggu oleh Aya. Hati Aya tidak tenang. Jantungnya pun semakin berdegup kencang. Keringat dingin membasahi kening dan mengalir pelan di wajahnya. Aya dan Kak Fadil sudah berada di Masjid menunggu pengantin prianya datang. Kak Fadil terlihat mondar mandir di depan Aya yang menjadis makin gugup tak karuan. "Dari kemarin, Kak Fadil nanya kamu kan, Aya. Panji sudah datang belum? Panji sudah pulang dari dinas belum? Kamu bilang sudah, aman, tenang aja. Kak Fadil pikir memang benar. Kalau sudah begini, gimana? Waktu akad tinggal setengah jam lagi. Sampai saat ini, Panji gak ada kabarnya! Gila itu orang!" umpat Kak Fadil penuh emosi. Aya menundukkan kepalanya. Rasanya ingin menangis. Rasanay hari ini ingin cepat -cepat berakhir atau jangan sampai bertemu dulu denagn hari ini sebelum Panji benar -benar ada. "Terus sekarang gimana? Sejak semalam, ponsel Panji sudah gak bisa dihubungi. Pesan kamu juga gak terkirim. Kontrakannya juga kosong. Kantornya tutup. Terus gimana?" tanya Kak Fadil ikut stres. Penghulu dan para saksi sudah siap di dalam Masjid besar itu. Hanya tionggal emnunggu Panji, pengantin prianya. "Ki -kita batalkan saja, Kak?" ucap Aya terbata. Suaranya serak menahan isak tangis. Ia sangat kacau sekali. Ia yakin kalau Panji tidak akan datang. "Apa kamu bilang? Batalkan? Mudah banget kamu bilang gitu, Ya? Kamu aja yang batalkan. Kakak gak mau menanggung malu!" ucap Kak Fadil begitu marah besar. Fadil sangat marah dan kecewa berat kepada Panji. Kalau lelaki itu hadir dan meminta maaf, maka Fadil akan menjadi orang pertama yang bakal memukul Panji. "Brengs3k!" umpat Fadil saat keluar dari ruangan kecil itu meninggalkan Aya sambil emngepalkan tangannya. Napas Fadil memburu karena menahan amarahnya. Ia terpaksa mendekati penghulu dan MC untuk mengabarkan berita buruk bahwa pernikahan ini di batalkan karena pengantin pria tidak bsia di hadirkan. Hancur rasanya hati Aya. Perniakahn impiannya hanay sebatsa persiapan dan kebahagiaannya benar-benar semu. Hatinya remuk redam dan hancur berkeping-keping bagai kaca yang hancur.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD