KBL.06 AKU BELUM INGIN PULANG

1309 Words
    Aku tidak tahu entah sejak kapan Alexandre sudah berada di sampingku. Ia menggendongku dan membantuku keluar dari mobil. Ia mendorong kursi rodaku melewati kios-kios yang ada di pinggir pantai. Dan kami berhenti di sebuah kios es krim yang ada di ujung jalan.       Untuk membeli es krim Dondurma ini kami harus mengantri beberapa orang. Saat giliran kami datang, Alexandre Wang memilihkan varian es krim untuk kami dan memesannya. Ia memesankan es krim Dondurma dengan rasa stroberi untukku dan rasa vanilla untuknya. Aku sangat menyukai es krim ini, karena es krim ini seperti es krim gelato dengan tekstur yang kenyal dan elastis serupa permen karet. Tekstur es krim ini juga tidak lengket dan tidak meninggalkan bau di permukaan tangan.       Es krim Dondurma ini identik dengan cara penyajiannya yang sangat unik. Dalam penyajiannya penjual meletakkan es krim menggunakan tongkat besi panjang dan disajikan di atas cone es krim. Namun penjual tidak langsung memberikannya  padaku, ia membolak-balikkan dan menjungkir balikkan es krim terlebih dahulu untuk menghiburku sebagai pembeli. Yah, ini juga salah satu alasan kenapa aku menyukai es krim Dondurma ini. Aku tertawa melihat penjual es krim saat melakukan atraksinya yang unik itu. Rasanya sudah lama sekali aku tidak tertawa. Dan beberapa bulan terakhir baru kali ini aku tertawa lepas. Jiwaku seperti hidup kembali setelah sekian lama di dalam gelap.       Alexandre kembali mendorong kursi rodaku menyusuri pedestrian yang ada di pinggir Selat Bosphorus. Malam ini terasa sangat indah, setidaknya aku bisa melupakan kejadian buruk hari ini walaupun hanya sebentar.       “Bagaimana kalau kita duduk di sini saja?” Alexandre berhenti mendorongku dan meletakkan kursi rodaku di samping bangku taman yang menghadap ke laut.       Aku mengangguk menyetujuinya. Angin laut bertiup begitu lembut menerpa kulitku. Rambutku yang ikal ikut tertiup angin seolah-olah akan terbawa olehnya. Alexandre merapikan  beberapa helai rambut yang menutupi wajahku karena tertiup angin. Ia menatapku lekat dan berbicara, “Apakah kamu bahagia dengannya?”       Aku tidak bisa menjawab pertanyaan Alexandre. Lidahku terasa kelu saat ia menanyakan kebahagiaanku dengan Nathan. Apa aku harus menjawabnya dengan jujur bahwa aku tidak bahagia? Kontan rasa penyesalan dan rasa bersalah kembali menggerogotiku. Aku sangat menyesal telah memilih berpisah dengan Alexandre. Aku juga merasa bersalah sudah pernah menyakiti perasaan Alexandre dan tidak bisa menjaga janinnya. Saat ini aku hanya bisa meneteskan air mataku. “Maafkan aku Alexandre…”       Yah, tidak ada selain kata maaf yang bisa aku ucapkan pada Alexandre. Seharusnya aku bersimpuh dan berlutut di hadapannya agar ia bisa memaafkan segala kesalahanku. Tapi aku tidak mampu dan terlalu malu melakukan hal itu.       Alexandre tidak menjawab kata maafku. Aku tidak tahu apa dia memaafkanku atau tidak. Ia melihat arloji yang ada di tangannya dan berkata, “Apa kamu sudah ingin pulang?”       Aku menghapus air mataku dan tidak menjawab pertanyaan Alexandre, tapi malah balik bertanya, “Apa boleh kita lebih lama lagi di sini?”       “Apa Nathan tidak akan mencarimu nanti?”       Aku menggelengkan kepalaku menghadapnya, “Aku belum ingin pulang.”       Alexandre tersenyum mendengar jawabanku. Aku tidak tahu apa yang sedang ia pikirkan, yang aku tahu senyumnya lebih mekar di banding senyumnya di awal kami bertemu tadi. Kami kembali menatap ke depan dalam diam, menikmati keindahan Selat Bosphorus yang memanjakan mata.       Kota Istanbul di seberang lautan terlihat sangat megah dengan bangunan-bangunannya yang dihiasi cahaya malam hari. Jembatan Bosphorus terlihat sangat anggun dengan lampunya yang berwarna ungu. Banyak kapal-kapal yang berseliweran saling berpapasan dilautan. Burung-burung camar tampak berterbangan, sesekali satu dari mereka  menukik ke permukaan air dan menangkap seekor ikan di paruhnya. Sebuah pemandangan yang sangat indah untuk di nikmati saat berada di Selat Bosphorus pada malam hari.       Aku sangat menikmati kebersamaanku dengan Alexandre. Meski diantara kami tidak saling bicara dan lebih banyak diam, tapi malam ini sangat berarti bagiku. Jika aku bisa, aku ingin waktu berhenti bergulir hanya sampai di sini saja, agar aku bisa lebih lama lagi bersamanya. Tapi kenyataan menyadarkanku, bahwa itu tidak akan mungkin dan aku harus kembali ke rumah.       Suara ponsel yang ada di dalam tasku memecahkan kesunyian kami yang sudah berlangsung lama. Aku bergerak mengambil ponselku yang ada di dalam tas dan menyentuh layarnya. “Hallo, Aliye.”       “Nyonya…Nyonya ada di mana?” Terdengar suara lembut penuh kecemasan dari seberang telepon.       “Aku sedang di luar, Aliye. Ada apa?”       “Tidak, Nyonya. Aku hanya mencemaskan Nyonya. Hari sudah malam tapi Nyonya belum juga pulang.”       “Aku tidak apa-apa, Aliye. Aku akan segera pulang.” Aku menutup telepon dan memasukan ponselku ke dalam tas.       Alexandre menoleh ke arahku dan berkata, “Apa sekarang kamu sudah ingin pulang?”       “Ya, apa kamu bisa membantu mengantarku pulang?” Aku tersenyum menatap wajah Alexandre yang juga sedang menatapku.       “Tentu saja. Dengan senang hati aku akan mengantarmu pulang.” Alexandre Wang bangkit dari bangku dan mendorong kursi rodaku. Kami kembali melewati pedestrian dan kios-kios tadi menuju ke tempat Alexandre memarkirkan mobilnya.       “Maaf sudah merepotkanmu. Aku tidak bisa pulang sendiri dengan keadaanku sekarang ini. Wanita lumpuh sepertiku ini sangat tidak berguna, malah sering merepotkan orang lain.” Aku menoleh ke belakang dan tersenyum pada Alexandre yang sedang mendorong kursi rodaku.       “Jangan berbicara seperti itu. Aku yakin kamu pasti akan sembuh, Mira.” Alexandre berusaha menghiburku.       “Apa kamu ingin membeli sesuatu yang lain?” Alexandre bertanya padaku saat kami sudah sampai di parkiran mobil.       “Tidak, aku tidak mau apa-apa.” Aku tersenyum pada Alexandre.     ****         Alexandre memberhentikan mobilnya di depan pagar rumahku. Ia tidak memasukan mobilnya ke dalam pekarangan rumah, tapi malah menelpon Aliye. “Aliye, jemput Nyonya ke depan.”       “Kenapa kamu tidak masuk saja?” Aku yang mendengar Alexandre menelpon Aliye bertanya setelah ia menutup teleponnya.       Alexandre mengulurkan tangannya menunjuk kearah mobil Audi milik Nathan yang terparkir di halaman rumah. Ia tersenyum dan berkata, “Dia sudah pulang. Aku tidak ingin dia salah paham dan menyakitimu lagi jika melihatku.”       Aku terdiam sejenak menatap kearah mobil yang terparkir itu, “Alexandre, terima kasih sudah membantuku. Terima kasih sudah mengantarku pulang.”       Ia mengangguk dan kembali tersenyum padaku. “Jika kamu butuh bantuan, jangan sungkan untuk menghubungiku.”       Tak lama kemudian Aliye muncul di samping pintu mobil Alexandre bersama Fatem - asisten rumah tanggaku yang lainnya. Ia membuka pintu mobil dan membantuku menaiki kursi roda bersama Fatem. Sedangkan Alexandre masih duduk dengan tenang di kursi kemudinya.       “Fatem, tolong bawa Nyonya ke kamarnya.” Aliye meminta bantuan Fatem untuk mengantarku ke dalam rumah.       Fatem mengangguk pada Aliye dan kemudian mendorong kursi rodaku. Ia membawaku memasuki rumah melewati pintu samping, agar memudahkannya membawaku ke kamar.       “Apa Tuan sudah pulang, Fatem?” Aku bertanya pada Fatem.       “Sudah, Nyonya.” Fatem menjawab sambil mendorong kursi rodaku.       “Sejak kapan Tuan pulang?”       “Baru satu jam yang lalu, Nyonya. Tapi…”       “Tapi apa, Fatem?” Tiba-tiba perasaanku menjadi tidak enak mendengar ucapan Fatem terhenti.       Fatem menunduk menjawab pertanyaanku, “Maaf Nyonya, saya lancang. Tuan pulang bersama wanita lain.”       Aku menarik nafasku dalam-dalam berusaha mengontrol emosiku agar tidak meledak. Nathan benar-benar sudah sangat keterlaluan. Tadi sore ia bersama wanita lain ke café, dan malam ini ia malah membawa wanita lain ke rumah. Apa ini yang dinamakan rumah tangga? Apa aku harus bertahan dengan keadaan seperti ini? Rumah tangga yang sedikitpun tidak pernah menghargaiku sebagai istri.       “Ternyata kau sudah pulang.” Nathan tiba-tiba keluar dari pintu kamarnya menggunakan piyama. Ia menoleh ke arahku yang hendak memasuki kamar.       Aku hanya diam tidak menanggapi ucapannya. Ia masih berdiri di depan pintu kamarnya menatap dan tersenyum padaku. “Sayang, lusa temani aku menghadiri acara peresmian rumah sakit baru tempatku bekerja.”       Aku mengangguk menyetujuinya dan memasuki kamarku di bantu oleh Fatem. Aku tidak ingin berlama-lama di luar dan berbicara dengan Nathan. Yang ada hanya amarahku akan membuncah jika mengingat ia membawa wanita lain ke rumah dan naik ke atas ranjangnya. Aku hanya ingin hidup tenang meski kemungkinan besar tidak ada lagi cinta diantara aku dan dia.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD