Saat kursi rodaku sudah hampir sampai di tangga paling bawah dan menginjak tanah, tiba-tiba berhenti. Tanganku masih memegang erat lengan kursi rodaku agar tidak terjatuh dan tersungkur ke tanah. Aku yang awalnya sudah pasrah dengan hal buruk yang akan terjadi setelah ini, merasa sangat bersyukur. Ternyata Tuhan mendengarkan do’a ku dan langsung mengirim malaikat untuk menyelamatkanku.
Aku tidak tahu entah sejak kapan kursi rodaku ini sudah berada di tanah halaman café. Jantungku masih berdebar dengan kencang dan keringat dingin bercucuran, mengingat kejadian yang baru saja menimpaku. Aku menarik nafas dalam-dalam dan membuangnya dengan kasar, berharap detak jantungku akan stabil setelah ini.
Aku menoleh ke belakang, kearah punggungku yang terasa hangat. Melihat tubuh seorang pria tinggi yang sedang memegang kursi rodaku. Mataku tertuju pada tangannya, kemudian mataku bergerak menjelajahi tubuh pria itu hingga berhenti di wajah putihnya yang tampan. Aku melihat wajah pria yang selama ini aku rindukan, Alexandre Wang. Mata kami saling bertemu cukup lama. Matanya yang sayu menatapku, menyiratkan kesedihan yang begitu dalam.
“Alexandre…” Aku menyebut namanya dengan wajah kaget.
Ia tersenyum mendengarku menyebutkan namanya. “Mira, apa kamu baik-baik saja?”
Aku terdiam dan terpaku menatap wajah Alexandre yang sekarang ada di hadapanku. Wajah yang sudah lama tidak ku lihat dari dekat setelah perpisahan itu. Ia terlihat lebih kurus dari delapan bulan yang lalu. Wajahnya yang lelah seperti kurang tidur, masih terlihat sangat tampan meski di sekitar rahangnya telah ditumbuhi rambut-rambut halus.
Alexandre berjongkok menyamakan tingginya denganku yang sedang duduk di kursi roda. Ia mengulurkan tangannya dan mengusap wajahku yang berkeringat dingin dengan sapu tangannya. Ia berbicara padaku dengan suara lembut penuh perhatian, “Di bagian mana yang sakit?”
Aku masih terpaku menatapnya tanpa menjawab sepatah katapun. Tiba-tiba suara Feride memanggilku dari belakang menyadarkanku. Ia berjalan menghampiriku sambil mengacak-acak isi tasnya seperti sedang mencari sesuatu.
“Dokter Emira, maaf membuatmu menunggu terlalu lama. Aku harus mengantri di kasir untuk membayar. Apa kita akan pulang se….” Feride menghentikan ucapannya saat ia sudah sampai di dekatku dan melihat Alexandre sedang berjongkok di hadapanku.
Alexandre bangkit meluruskan tubuhnya. Ia berdiri sambil memasukkan tangan ke saku kiri celananya. “Maaf, Nona. Biar aku saja yang mengantar Dokter Emira pulang.”
Feride masih menatap Alexandre Wang dengan wajah tak percaya. “Tapi…”
Alexandre mengangguk kepada Feride seperti memberikan sebuah isyarat. “En…Kalau begitu aku pulang dulu Dok. Sampai ketemu besok.” Feride melambaikan tangannya padaku, kemudian menoleh kearah Alexandre. “Aku permisi dulu Tuan.”
“Ya. Hati-hati di jalan.” Alexandre menjawab dengan wajah tanpa ekspresi.
Tak lama kemudian Alexandre Wang kembali memusatkan perhatiannya padaku yang masih menatapnya. “Sudah lama kita tidak bertemu. Apa kamu mau menemaniku jalan-jalan sebentar?”
Aku mengangguk menerima permintaannya. Saat melihat Alexandre aku merasa menemukan sebuah cahaya yang menerangiku walaupun hanya sebentar. Walaupun hanya sebentar tapi aku sangat ingin menikmati moment bersamanya saat ini, sebelum kembali ke kenyataan yang sebenarnya. Kenyataan bahwa sekarang aku bukan wanitanya lagi dan ia bukan milikku lagi. Sekarang aku hanya bisa memendam perasaanku terhadapnya saat ini dan memendam rasa penyesalan yang begitu besar dalam hatiku.
Alexandre mendorong kursi rodaku kearah mobil Porche silvernya yang terparkir di halaman café. Ia menggendong dan membantuku memasuki kursi penumpang depan. Aku melingkarkan tanganku ke leher Alexandre sambil menatapnya lekat. Perasan menyesal kembali menggerogotiku. Betapa meruginya aku telah meninggalkan pria sebaik dia. Aku sangat bersyukur bertemu dengannya hari ini dan telah membantuku keluar dari jurang kematian. Suamiku Nathan tidak pernah memperlakukanku sebaik ini. Malah ia lebih sering menyakitiku. Seperti kejadian yang baru saja terjadi, ia mendorong kursi rodaku dan pergi dengan wanita lain.
“Jangan menatapku seperti itu.” Alexandre tersenyum sambil melipat kursi rodaku dan memasukannya ke bagasi belakang mobil. Ia masuk dan duduk di kursi pengemudi, kemudian menginjak pedalnya membelah jalanan kota Istanbul.
****
Selama di perjalanan, tak satupun kata terlontar dari mulutku. Begitu juga dengan Alexandre Wang, ia tetap diam menatap kedepan mengendarai mobilnya. Aku tidak tahu kemana ia akan membawaku. Yang aku tahu pasti, aku akan selalu aman jika bersamanya.
Sesekali aku menatap wajah Alexandre dari samping yang sedang mengendarai mobil. Ia masih terlihat tampan meski hanya diam. Alexandre yang menyadari jika aku sedang menatapnya, memalingkan wajahnya kearahku. Ia kembali menyunggingkan bibirnya dan memberikan senyum hangat. “Jangan melihatku seperti itu. Apa ada yang berubah dari wajahku?”
Aku segera memalingkan wajahku ke luar jendela mobil. Wajahku memerah malu karena ketahuan telah menatapnya cukup lama. “Tidak. Tak ada yang berubah darimu. Kamu masih tampan seperti dulu.”
Tiba-tiba mobil yang dikendarai oleh Alexandre Wang berhenti. Ia memberhentikan mobilnya di pinggir pantai yang ada di Selat Bosphorus. Pantai itu menghadap ke Masjid Ortakoy yang sangat indah dengan Jembatan Bosphorus sebagai latar belakangnya.
Kota Istanbul terkenal dengan julukan kota dengan seribu masjid, karena jumlah masjid di sini memang tak terhitung lagi. Diantara begitu banyaknya masjid di kota Istanbul, ada sebuah masjid yang unik. Orang-orang menjulukinya dengan sebutan masjid romantis. Kubah Masjid Ortakoy yang berwarna pink terlihat sangat cantik. Lokasinya yang strategis di pinggir Selat Bosphorus dan bangunannya yang di d******i warna pink hingga ke interiornya, memberi kesan romantis.
Alexandre masih duduk di kursi kemudi dengan tangan kanan di stir mobil dan tangan kiri di pahanya. Ia menyandarkan tubuhnya di kursi kemudi dengan santai sambil menatap lurus ke depan. Ia menatap Masjid Ortakoy yang ada di seberang lautan sana berdiri dengan megahnya.“Mira…”
Aku menjawab sambil menoleh kearah Alexandre yang masih menatap lurus ke depan. “Ya.”
“Apa kamu masih ingat saat kita menikah di Masjid Ortakoy yang sangat indah itu?”
Aku memalingkan wajahku kearah bangunan di seberang sana yang di pandang Alexandre cukup lama. Aku masih diam tak bergeming, tapi Alexandre melanjutkan ucapannya. “Saat itu aku berpikir jika pernikahan kita hanya sebuah permainan. Saat itu aku juga berpikir kamu hanyalah pasanganku untuk memainkan peran di opera sabun.”
Alexandre mengangkat sedikit sudut bibirnya tersenyum pahit. “Ternyata tidak. Aku malah terjatuh di lubang yang aku gali sendiri.”
“Alexandre…maafkan aku.” Aku menunduk dan berbicara dengan suara serak.
Tanpa ku sadari air mataku menetes di pipi, dan Alexandre menyadari itu. Ia memiringkan tubuhnya menghadapku. Mengulurkan tangannya menghapus air mata yang menetes satu-persatu di pipiku. “Jangan menangis, Mira.”
Aku kembali melanjutkan ucapanku, “Maafkan aku karena telah sering menyakitimu.”
“Hey…aku tidak ingin melihatmu menangis. Kecantikanmu akan hilang kalau kamu menangis.” Alexandre kembali menghapus air mataku berusaha menggodaku. Dari dulu aku akan selalu merasa geli jika Alexandre menggodaku. Karena dia bukan tipe pria yang pintar untuk menggoda wanita. Berbeda dengan Nathan, ucapannya dulu membuatku hanyut dalam rayuan mautnya. Membuatku memilih jalan hidup yang salah dan meninggalkan Alexandre.
“Apa kamu ingin membeli Dondurma, Nona?” Alexandre berusaha menghiburku.
Aku tersenyum mendengar pertanyaanya. Tiba-tiba aku merasa kembali ke enam tahun yang lalu, dimana pertama kalinya aku bertemu dengan pria yang bernama Alexandre Wang.
Flashback On…
Saat itu aku yang ingin membeli es krim Dondurma harus mengantri panjang, sedangkan Alexandre Wang bisa langsung membelinya tanpa harus mengantri. Dulu aku tidak pernah mengenalnya dan tidak tahu siapa dia. Tapi saat aku melihatnya membeli es krim dengan mudah tanpa harus mengantri membuatku kesal. Hingga muncul pertanyaan di pikiranku, kenapa ia bisa membeli es krim itu tanpa mengantri? Memangnya siapa dia dan apa jabatannya hingga beli es krim pun harus di kawal oleh bodyguard? Terlalu berlebihan, gumamku dalam hati.
“Apa kamu ingin membeli Dondurma, Nona?” Tiba-tiba pria yang aku bilang berlebihan itu menoleh dan menyapaku. Awalnya aku merasa kaget dan kemudian timbul rasa takut, takut ia mengetahui kalau aku sedang merutukinya dalam hati karena kesal.
Aku mengangguk menanggapi pertanyaan pria itu. Ia tersenyum dan kemudian menyodorkan es krim Dondurma yang ada di tangannya. Aku yang masih menatap wajah pria itu lekat, menerima es krim yang ia berikan. “Terima kasih.”
Flashback Off…
Aku tidak tahu entah sejak kapan Alexandre sudah berada di sampingku. Ia menggendongku dan membantuku keluar dari mobil. Ia mendorong kursi rodaku melewati kios-kios yang ada di pinggir pantai. Dan kami berhenti di sebuah kios es krim yang ada di ujung jalan.