Alva merengek melihatku terisak sembari menggendongnya. Kubaringkan dia perlahan dan segera menyusuinya. Aku sudah mencoba mengontrol perasaan, tapi air mata ini tidak bisa diajak kompromi.
Aku pernah mendambakan keluarga yang harmonis seperti Ibu dan Ayah. Mereka tetap setia sampai maut memisahkan, tapi aku? Aku gagal meraih impian itu. Alva harus kehilangan papanya di usia yang masih hitungan bulan.
"Maafin mama, Nak." Kukecup kepalanya lembut. "Bukan mama enggak sayang, tapi mama ingin merawat dan menjagamu dengan penuh senyuman, bukan tangisan. Mama akan terus terluka jika bertahan," lirihku seraya mengucek mata yang buram karena air mata.
"Saat kamu besar nanti, kuharap kamu bisa mengerti keputusan mama ini. Belajarlah dari kesalahan papamu, Nak. Belajarlah untuk memahami bahwa kesetiaan itu penting."
Aku menyeka air mata saat menyadari ponsel bergetar. Nanny memanggil.
Dia memang sahabat terbaik. Selalu tahu saat-saat di mana aku butuh sandaran.
"Assalamu'alaikum," sapanya setelah telepon tersambung.
"Wa'alaikumsalam," jawabku sedikit serak dan bergetar.
"Lus, kamu nangis? Apa yang terjadi?" tanyanya lembut.
"Aku ... aku dan Bang Leon sudah cerai, Nan. Dia sudah jatuhin talaknya."
Hening.
"Nan, bukankah ini yang kumau? Berpisah dari Bang Leon. Tapi kenapa aku nangis, ya? Benar-benar bodoh." Aku tertawa. Menertawakan diri sendiri lebih tepatnya.
"Lusi," lirihnya.
"Aku boleh nangis 'kan, Nan? Apa dunia akan tertawa ketika melihatku yang selalu pura-pura kuat, tapi nyatanya tetap berurai air mata waktu kata talak terucap?"
"Tentu saja boleh, Lus. Menangislah sepuasnya kalau itu bisa buat kamu sedikit merasa lega. Tapi setelah itu, kamu harus tunjukkan pada dunia terutama pada pengkhianat itu kalau kamu wanita hebat, Lus. Kamu kuat!" Nanny mencoba menguatkanku sambil ikut terisak.
Tak ada lagi percakapan. Kami berdua sama-sama menangis. Nanny tahu benar bagaimana sakitnya perpisahan karena dia pun korban dari perceraian papa mamanya.
"Lusi? Dengarkan aku! Kamu harus kuat. Yakinlah esok hari akan cerah. Akan ada pelangi setelah hujan, Lusi. Akan ada kebahagiaan setelah air mata. Percaya sama aku!" ucapnya dengan penuh keyakinan.
"Kamu tahu 'kan, bagaimana sedihnya aku waktu orangtuaku berpisah? Aku merasa terpukul dan sedih, tapi lihatlah sekarang! Aku bahagia bersama Mas Ridho. Begitu juga denganmu nanti. Kamu dan Alva pasti akan bahagia. Dan giliran para pengkhianat itulah yang akan menangis. Kamu dengar itu, hm?"
Aku spontan mengangguk meski dia tak mungkin melihatnya.
"Makasih, ya. Kamu telepon di waktu yang tepat."
"Sama-sama. Perasaanku dari tadi enggak enak, makanya telepon kamu."
"Istirahat, Nan. Jaga kesehatanmu dan jangan bergadang terus! Aku tutup dulu teleponnya, ya."
"Hm, baiklah. Ingat pesanku, ya. Jangan sungkan untuk telepon kalau butuh bantuan apa-apa," pesannya.
"Iya, pasti. Aku akan telepon kamu lagi nanti."
"Kamu juga istirahat, Lus. Sudah cukup kamu menangisi pria enggak punya hati itu! Dia jahat! Leon tega membuang darah daging dan istri yang menemani dari nol cuma demi wanita gatal itu!" Nanny terdengar emosi, tapi samar kudengar suaminya berbisik mengingatkan agar dia tenang.
"Maaf, Lus. Aku kebawa emosi," ucapnya lirih.
"Enggak apa-apa. Ya sudah, istirahatlah. Assalamu'alaikum."
"Wa'alaikumsalam," jawabnya, lalu sambungan pun terputus.
Kuletakkan ponsel, lalu menyelimuti tubuh mungil Alva yang mulai terlelap. Menumpuk bantal di samping kiri-kanan sebelum meninggalkannya ke kamar mandi. Aku ingin mengadu pada-Nya. Menumpahkan segala beban dan rasa sakit yang selama ini kupendam dalam-dalam karena harus berpura-pura kuat di depan musuh.
Biarlah malam ini aku menangis sepuasnya. Mulai esok pagi, takkan ada lagi air mata. Aku harus tersenyum lebar. Tersenyum menang karena sebentar lagi, Bang Leonlah yang akan menangis.
???
Ketukan di pintu membuat gerakan tanganku yang tengah memoleskan make up jadi terhenti. Lumayan. Dengan bantuan make up bisa sedikit menyamarkan mata yang sembab. Kuayunkan kaki menuju pintu, lalu menatap mantan suami di hadapan dengan sedikit mengangkat dagu.
"Kenapa?" tanyaku santai.
"Aku mau ambil baju, Dek."
"Oh ... tunggu di sini," ujarku cuek, lalu pergi ke dekat lemari dan kembali dengan menyeret satu koper. "Nih! Semua pakaian Abang sudah ada di sini. Silakan cari sendiri baju kerjanya."
"Kamu enggak gosokin bajunya, Dek?" Pertanyaan itu membuatku yang hendak menutup pintu jadi batal.
"Apa, Bang? Coba ulangi sekali lagi." Keningku berkerut menatapnya.
"Gosokin bajunya," ulangnya seraya menggaruk pipi.
"Abang enggak salah?" Aku tersenyum sinis. "Memangnya istri Abang yang sekarang itu siapa?"
"Mira masih tidur, Dek," ucapnya tanpa rasa malu.
"Ya, dibangunin, dong! Kenapa malah nyuruh aku yang gosok?" balasku dingin.
"Mira tambah marah, Dek. Dia ...." Bang Leon tak melanjutkan ucapan, lalu membuang muka seraya menggaruk kepala.
Aku tersenyum mengejek. Dalam hati tertawa puas karena sudah bisa menebak kenapa istri barunya itu sampai marah lagi.
"Ok. Tapi ini terakhir kalinya aku bantu Abang. Setelah ini, suruh saja Mira atau Abang kerjain semuanya sendiri."
"Iya," jawabnya pelan.
Aku mendecak sebal. Kubuka kembali koper itu, lalu mengambil kemeja dan celana kerjanya.
"Abang rapikan saja dulu baju lainnya di kamar bawah. Nanti aku kasih ini pas sekalian turun."
Bang Leon mengangguk dengan seulas senyum tipis. Dia membuka mulut hendak bersuara lagi, tapi aku sudah lebih dulu menutup pintu.
???
Beberapa menit kemudian, aku sudah keluar kamar. Dress yang panjangnya sedikit di atas lutut, ditambah make up dan rambut lurus yang dibuat curly ujungnya ini membuatku tersenyum puas.
Sudah lama aku tak pernah memakai pakaian seperti ini karena Bang Leon melarang. Apalagi jika sedang ada teman kantornya yang berkunjung. Dia malah memintaku memakai kaus kebesaran dan celana kulot.
Aku menuruni tangga dengan santai sambil bersenandung kecil. Ekor mata ini menangkap Bang Leon yang baru keluar dari kamarnya tengah menatapku dalam diam.
Dengan raut wajah santai, kusodorkan kemeja dan celana miliknya.
"Ini yang terakhir kalinya," ucapku dingin, lalu berbalik dan pergi.
"Dek!"
Aku berhenti melangkah.
Bang Leon mendekat dan sekarang sudah berdiri tepat di hadapanku.
"Kenapa pakai baju ini lagi?" tanyanya dengan dahi berkerut.
"Hah?" Keningku berkerut. "Kenapa memangnya dengan baju ini? Bagus, kok." Aku menelisik penampilan sendiri.
"Memang bagus, tapi kamu enggak cocok. Kamu lebih cocok pakai kaus dan celana kulot saja. Ganti sana!"
Aku diam sejenak, lalu tertawa kecil sambil menggeleng.
"Siapa Abang berani ngatur-ngatur aku?" Seulas senyum sinis terbit di wajahku.
"Aku sua ...." Bang Leon tak melanjutkan ucapan. Dia terlihat kikuk dan membuang muka seraya menggaruk kepalanya sendiri.
"Apa perlu kuingatkan lagi apa yang terjadi semalam, hm?" sindirku seraya maju lebih dekat. "Kita sudah jadi mantan, Bang," bisikku.
"Ini berkas-berkasnya." Kuberikan amplop cokelat tepat di dadanya, hingga Bang Leon spontan menahan agar tidak terjatuh ke bawah. "Cepat urus ke pengadilan agama biar semuanya selesai dengan cepat!" tegasku, kemudian berlalu begitu saja menuju dapur.
Bang Leon sempat terdiam sejenak, tapi tak lama dia masuk ke kamarnya lagi.
Belasan menit kemudian, Mira keluar sudah rapi dengan pakaian kerja. Wajahnya kusut. Aku yang tengah sarapan pun sebisa mungkin menahan senyum.
"Ck, enggak ada sarapan apa?" ketusnya seraya membuka penutup saji.
"Memangnya kamu punya pelayan pribadi? Masak sendirilah," balasku cuek.
"Itu Mbak dapat nasi uduk dari mana?" Dia menatap ke piringku.
"Belilah. Masa minta?"
"Beli di mana?" Dia menarik satu kursi di depanku, lalu duduk.
"Depan."
"Baaang!" serunya dengan wajah cemberut.
Bang Leon keluar dari kamar Mira sudah berpakaian kerja juga. Dengan tergesa-gesa dia menghampiri meja makan.
"Ada apa, sih? Pagi-pagi sudah teriak-teriak saja."
"Enggak ada sarapan, Bang! Padahal, aku lapar banget pagi ini," ujarnya ketus.
"Kan, dari pagi aku sudah coba bangunin kamu, Mir, buat bikin sarapan. Tapi kamunya malah enggak mau," balas Bang Leon.
"Males!" sahut Mira, lalu membuang muka seraya melipat kedua tangan di d**a.
"Kamu itu 'kan istriku, Mir. Harus membiasakan diri bangun pagi. Siapin semua keperluanku termasuk sarapan," ujar Bang Leon lembut.
"Kenapa aku harus penuhin semua keperluan Abang? Abang saja enggak bisa menuhin keinginan aku!" balasnya sengit seraya berdiri. "Abang enggak jujur sepenuhnya sama aku dari awal! Aku kecewa sama Abang!" Mira pergi dengan wajah cemberut.
Bang Leon mengusap kasar wajahnya, lalu menoleh padaku.
"Apa?" tanyaku cuek.
"Enggak." Bang Leon menggeleng, lalu mendekat. "Papa berangkat dulu, ya, Jagoan." Bang Leon mengecup kedua pipi Alva, lalu mengulurkan tangannya padaku.
Aku menatapnya heran dengan satu alis terangkat naik, lalu tersenyum sinis.
"Maaf, lupa." Bang Leon menarik tangannya lagi.
"Abaang! Cepetan, dong! Nanti kita telat!" teriak Mira dari luar.
"Aku berangkat, ya."
"Hm," sahutku cuek.
???