Aku tengah menyiapkan surat-surat kelengkapan untuk mengajukan proses perceraian. Selain membeli ponsel baru, sengaja tadi siang menyempatkan diri untuk memfotokopi beberapa berkas. Rencananya, besok pagi aku baru akan mengurus ini ke pengadilan agama.
Namun, suara ketukan di pintu membuyarkan fokusku. Memang pintu kamar ini tadi sengaja dikunci. Setelah merapikan kembali surat-surat tersebut dan menyimpannya di lemari, segera kuayunkan kaki menuju pintu.
Bang Leon sudah berdiri tepat di hadapanku dengan tatapan yang terlihat gelisah dan gusar.
"Ada apa?"
"Ada yang perlu kubicarakan," ujarnya pelan.
"Oh, iya. Aku lupa. Baiklah. Abang duluan saja turun. Sebentar lagi kususul."
Bang Leon mengangguk pelan, lalu berbalik dan pergi. Sesaat sebelum menuruni tangga, dia kembali menoleh. Memandang dengan tatapan yang sulit kuartikan, lalu kembali melanjutkan langkahnya.
"Ayo, Sayang! Kita turun dulu temui papamu." Aku menggendong Alva yang sedang bermain di atas ranjang dengan bola-bola kecilnya.
Aku segera turun menemui keduanya yang terlihat sedang berdebat kecil. Mereka berhenti dan serempak menoleh saat menyadari kehadiranku.
"Kenapa kalian menatapku seperti itu? Baru nyadar kalau aku ini lebih cantik?" tanyaku sembari berdiri tegak dengan tatapan dingin.
Mira mengerling malas seraya membuang muka.
"Duduk, Dek," titah Bang Leon lembut.
Aku duduk dengan menyilangkan satu kaki. Sedikit mengangkat dagu dengan tatapan angkuh. Alva sendiri duduk tenang di samping dengan mainan mobil-mobilan. Aku ingin keduanya tak melihat sedikit pun sisi lemahku. Jika tidak, mereka akan bertindak seenaknya dan wanita ini pasti semakin gencar menghasut Bang Leon untuk memeras hartanya.
Untuk beberapa saat, keduanya masih diam. Mira yang tak sabar pun terlihat mencolek-colek lengan Bang Leon agar cepat bicara.
"Jadi bicara enggak, sih? Kalau enggak, aku mau ke kamar lagi. Di sini bikin mata sepet!" tukasku ketus.
"Jadi, dong, Mbak," sahut Mira cepat. "Ayolah, Bang! Kenapa jadi diam begitu coba? Abang sudah janji, lho, dari tadi siang. Kalau Abang ingkar, aku enggak akan kasih jatah dan kita cerai saja detik ini juga!" ancam Mira.
"Kamu apaan, sih? Kebiasaan mengancam begitu," tukas Bang leon terlihat sedikit kesal.
"Makanya cepat, Bang!" sungut Mira dengan wajah cemberut.
"Kalian mau ribut sendiri terus apa gimana?" tanyaku dengan satu alis terangkat naik.
Mira memelototi Bang Leon. Hingga pria yang tahun ini menginjak usia tiga puluh enam tahun itu menghela napas berat.
"Dek," panggilnya pelan.
"Hm. Apa yang mau Abang bicarakan?" tanyaku tenang sembari melipat kedua tangan di d**a. Tenang di luar karena sebenarnya, hati ini sudah lama hancur dan terkoyak. Lebur bersamaan dengan cinta dan sayang yang perlahan menghilang.
Bang Leon berdehem pelan. Berkali-kali mengatur posisi duduk dengan tangannya yang saling meremas. Sesekali menatapku, sesekali menunduk. Membuatku geram sendiri karena merasa tak sabar dengan apa yang ingin dia katakan. Meski sejujurnya, aku sudah bisa menebak arah pembicaraan kami ini.
"Lama banget, Bang," cicitku sembari tetap berusaha terdengar lembut dan tenang.
"Anu, Dek. Itu ... anu ...." Bang Leon menggaruk kepala, lalu kembali menatapku. "Abang sudah memikirkan ini semua dengan baik kalau ...." Dia menggantungkan ucapan. Jakunnya terlihat naik turun. Mungkin ragu, tapi entahlah.
"Nganu, nganu. Nganu apa? Yang jelas kalau bicara itu!" balasku sedikit kesal.
"Aku ... aku setuju dengan permintaanmu, Dek," ucap Bang Leon pada akhirnya.
Aku terdiam sejenak.
"Permintaan yang mana?" tanyaku pura-pura tak tahu.
Hati ini berdesir melihat Bang Leon menegakkan posisi duduk seraya menatapku serius. Meski ini yang kuinginkan, tapi tetap saja rasa perih itu tak bisa ditepis begitu saja. Sepuluh tahun bukanlah waktu yang singkat. Kami sudah melewati asam manisnya kehidupan, tapi gagal saat Bang Leon diuji dengan manisnya madu bunga lain.
"Lusi Anindya Sari binti Mahfud, aku talak kamu dengan talak satu. Mulai detik ini, kita enggak ada lagi hubungan apa pun, dan aku lepas tanggung jawab terhadapmu," ucapnya tegas dan mantap.
Hening.
Aku menelan ludah yang terasa tercekat di tenggorokan. Tidak bisa berkata-kata sekarang atau getaran di suaraku akan terdengar olehnya. Meski telah mempersiapkan diri, tapi ternyata rasanya tetap sakit saat kata itu terucap dari pria yang selama ini menemaniku dalam suka dan duka.
Akhirnya ... pernikahan kami benar-benar berakhir.
"Makasih, Bang," ucapku dengan rasa yang tak karuan. Senang, tapi juga sedih. "Aku sudah menyiapkan berkas-berkas untuk proses gugatannya. Terserah, mau Abang yang mengajukan atau aku?"
Bang Leon terdiam menatapku. Tatapan yang kulihat tak ada binar bahagianya.
Why? Bukankah seharusnya dia senang? Jika dengan mudahnya dia berkhianat, berarti dia sudah tahu konsekuensi akhirnya, bukan? Berpisah.
"Biarin dia aja, Bang. Untuk apa kamu repot-repot? Lagipula, Abang 'kan kerja." Mira ikut bicara sembari merangkul lengannya. Jelas sekali dia terlihat senang karena telah menjadi pemenang.
"Biar aku saja, Dek," ujar Bang Leon pelan.
"Bang!" protes Mira. "Kenapa bukan Mbak Lusi aja, sih?"
"Kamu bisa diam enggak?" tukas Bang Leon pelan.
Mira mendecak sebal, lalu melepaskan rangkulannya.
"Mengenai rumah ini, aku setuju dengan pendapatmu, Dek. Kita jual saja dan bagi dua hasilnya."
"Lho, kok?" Mira kembali terlihat terkejut. "Kenapa dijual? Ini 'kan rumah Abang. Biarin aja Mbak Lusi pergi dari sini dan cari kontrakan!"
"Ini bukan hanya rumahku, Mir. Ini rumah atas nama kami berdua," jelas Bang Leon.
"Tapi tetap saja Abang enggak perlu jual! Kasih aja dia uang sedikit untuk biaya hidupnya. Beres, kan?" cecar Mira tak terima.
Aku hanya tertawa miris sembari menggeleng. Mendudukkan Alva yang mulai merangkak naik ke pangkuan.
"Sepertinya, kamu belum tahu sesuatu tentang rumah ini, Mira," ujarku dengan seulas senyum sinis. "Ada sebagian uangku yang digunakan sewaktu membeli rumah ini. Kamu pikir, rumah ini dibeli hanya dengan uang Bang Leon?"
"Benar itu, Bang?" tanya Mira memastikan.
Bang Leon mengangguk, lalu menunduk sembari memijat pelipisnya.
"Kalau rumah ini dijual, kita mau tinggal di mana?" rengek Mira seraya menggoyang-goyang lengan Bang Leon. "Aku enggak mau kalau harus tinggal di kontrakan kecil, Bang. Aku enggak mau! Abang sudah janji mau bahagiain aku!" hardiknya seraya memukuli lengan Bang Leon.
"Tenang, Mira, tenang." Bang Leon menangkap tangan Mira. "Nanti kalau rumah ini sudah laku terjual, kita beli rumah baru."
Mira terdiam sejenak menatap Bang Leon.
"Beneran, Bang?" tanyanya dengan seulas senyum tipis.
"Benar."
"Tapi aku enggak mau kalau rumah barunya kecil, lho, Bang. Masa Mbak Lusi Abang ajak tinggal di rumah besar, tapi aku Abang ajak tinggal di rumah sempit?" rengeknya manja.
Aku tertawa seraya bangkit dari tempat duduk.
"Kenapa Mbak ketawa? Memangnya ada yang lucu?" Mira mendelik tajam padaku.
"Sejak kapan tertawa dilarang? Suka-suka aku, dong," balasku santai dengan senyuman sinis. "Oh, ya, Bang. Apa Abang tahu tentang hak dan kewajiban masa iddah wanita yang ditalak raj'i?"
Bang Leon menggeleng.
"Wanita yang ditalak raj'i berhak mendapatkan tempat tinggal dan nafkah. Itu artinya, Abang masih bertanggung jawab penuh atas semua kebutuhanku dan Alva. Aku juga masih harus tinggal di rumah ini selama massa iddah berlangsung. Abang dengar?"
"Iya, Dek. Abang ngerti," sahutnya pelan.
"Mana bisa begitu, Bang! Enak Mbak Lusi, dong! Masa dudah cerai masih mau dinafkahi?" protes Mira dengan tatapan tajamnya mengarah padaku. "Emangnya Mbak enggak malu apa? Sudah diceraikan, masih aja jadi beban!"
"Enggak, tuh. Kenapa harus malu?" Aku tersenyum sinis. "Memang hukumnya seperti itu, kok. Enggak percaya? Cari saja informasinya di internet atau kamu bisa tanyakan ke Ustadz Heri yang ada di lingkungan ini."
"Bang!" sentaknya pada Bang Leon. "Kenapa diam saja, sih? Lawan, dong! Masa jatah nafkahku masih harus dibagi dua dengannya?"
"Diam, Mira!" bentak Bang Leon yang membuat wanita itu seketika tersentak kaget. "Aku sudah nurutin mau kamu untuk menceraikan Lusi. Jadi, diamlah dan jangan banyak protes! Selebihnya, biarkan itu menjadi urusanku! Paham kamu?"
"Bang Leon curang! Abang pilih kasih!" Mira pergi ke kamarnya dengan mengentak-entakkan kaki.
Aku hanya menggeleng melihat kelakukannya, lalu berbalik dan melangkah pergi menuju kamarku sendiri. Akan tetapi, langkah ini kembali terhenti tepat di anak tangga pertama, lalu menoleh pada Bang Leon yang tertunduk seraya menopang kepala dengan kedua tangannya.
"Bang!" panggilku yang langsung membuatnya mengangkat wajah. "Aku enggak bisa lagi mengurus semua keperluan Abang. Didiklah Mira supaya dia mengerti apa hak dan kewajibannya sebagai seorang istri. Aku hanya berharap, ini pernikahan terakhir Abang," ucapku, lalu melayangkan senyum tulus yang terakhir kalinya untuk pria yang pernah kucintai dengan teramat dalam.
"Semoga Abang bahagia."
Aku berbalik memunggunginya bertepatan dengan setetes air mata yang meluncur begitu saja. Kulanjutkan kembali langkah dengan tegak meski air mata jatuh berderai.
Ternyata ... aku tak sekuat itu. Meskipun rasanya sudah siap dengan semua ini, tapi tetap saja terasa menyedihkan saat pernikahan yang sepuluh tahun kami bangun akhirnya kandas.
Aku tak akan menyalahkan Bang Leon sepenuhnya, pun tak akan menyalahkan diri sendiri. Anggap saja ini takdir agar kami berdua bisa menjadi lebih baik di masa depan. Tidak perlu merasa malu dengan status janda yang kusandang sekarang.
Bagiku ... menjadi janda lebih baik daripada terus memaksakan diri hidup dengan orang yang hanya bisa memberikan luka dan air mata.
???