Part 7–Keasinan

1885 Words
Usai dimandikan, Alva tertidur pulas. Kubuka kotak ponsel baru, lalu memindahkan kartu dan semua nomor penting dari ponsel lama. Ponsel yang sudah bertahun-tahun tidak pernah berganti. Tak hanya RAM yang minim, tapi layarnya yang sudah retak di sana-sini terkadang cukup menyulitkanku. Jauh berbeda dengan Bang Leon. Dalam setahun ini, dia sudah tiga kali mengganti ponsel. Meski aku mengingatkan agar jangan terlalu menghamburkan uang, tapi dia selalu menganggap enteng semua itu. Padahal, tak selamanya hidup akan enak terus seperti sekarang. Dulu, kami pernah berada di titik terendah. Sekarang keadaan jauh lebih baik, tapi bukan berarti selamanya akan terus seperti ini karena roda kehidupan berputar. Meskipun, aku berdoa kami tak akan mengalami kepahitan itu lagi. Terbayang kenangan dulu, pagi-pagi aku berkeliling jualan donat. Selesai berjualan, aku pergi menjadi buruh cuci. Terkadang jualan jajanan anak-anak juga di depan rumah. Sementara, Bang Leon sendiri selalu murung dan uring-uringan. Dia malu untuk melakukan pekerjaan selain kantoran. Gengsinya terlalu tinggi. Untunglah dari sebulan yang lalu, Nanny memberitahuku tentang sebuah aplikasi menulis. Selain bisa menyalurkan hobi, menulis juga termasuk salah satu hiburan. Terkadang jadi obat pelipur lara. Dengan menulis, aku tak perlu meninggalkan Alva demi bekerja di luar. Bang Leon saja yang tidak tahu kalau aku mulai menapaki dunia literasi. Setiap kali hendak bercerita tentang ini, ada saja halangannya. Dia selalu sibuk dengan dunianya sendiri yaitu ponsel. Terkadang dia juga pergi begitu saja dengan teman kantor. Akan tetapi, akhirnya aku tahu kalau selama ini ternyata dia sibuk menjalin hubungan dengan Mira. "Beli hape baru?" Aku yang tengah sibuk menuliskan kelanjutan cerita pun mengangkat wajah sekilas. Bang Leon datang ke kamar ini dengan matanya yang tertuju pada ponsel yang kupegang. "Hm," jawabku singkat. Kusimpan draft tulisan dan segera menutupnya. Biar saja Bang Leon tak perlu tahu aku sudah punya penghasilan sendiri dari menulis. "Ada apa Abang ke sini?" tanyaku saat melihatnya duduk di tepi ranjang di dekat kaki. "Ini kamarku juga. Tentu saja aku berhak masuk kapan saja sesukaku. Lagipula, aku ini masih suamimu." Bang Leon mengambil ponsel baru dari tanganku, lalu mengotak-atiknya. "Kok, enggak bilang kalau mau beli hape baru?" "Kenapa? Abang keberatan? Setelah bertahun-tahun lamanya, baru kali ini aku ganti hape. Itu pun karena hape lama sudah susah dipakai. Abang enggak lihat itu retak di layarnya sudah banyak?" "Bukan begitu, Dek. Kalau kamu bilang, kan bisa aku beliin. Daripada kamu keluar sendiri bawa Alva." "Dari dulu aku 'kan sering bilang mau ganti hape. Tapi jawaban Abang apa? Cuma nanti, nanti terus." "Iya, maaf. Aku suka lupa. Padahal, udah dari dulu aku rencana mau beliin kamu hape baru." Dia tertawa kecil sembari menggaruk pipi. Aku mengerling malas mendengar kata-katanya. "Tentu saja Abang lupa. Wong sibuk dengan kekasih gelap," sindirku yang langsung membuatnya bungkam. "Ke mana saja tadi? Kok, lama?" Dia tidak menggubris sindiranku barusan. "Kata Mira, kamu perginya dari pagi, kan?" "Ke rumah Nanny." "Ke rumah Nanny atau ke rumah mantan bosmu itu?" tudingnya yang langsung membuatku menatap tajam. "Maksud Abang bilang begitu apa? Abang nuduh aku?" "Aku cuma enggak mau kamu lupa dengan statusmu. Kamu itu masih istriku. Jadi, jangan macam-macam di luar sana!" balasnya tidak mau kalah. "Macam-macam gimana? Kalau Abang enggak percaya, tanya aja sama Nanny." Kurebut ponsel baru di tangannya dan mencari nomor temanku itu. "Telepon dia biar Abang enggak suudzon!" Kusodorkan ponsel di mana panggilan pada Nanny sudah tersambung. "Enggak usah." Bang Leon dengan cepat mematikan kembali sambungan dan mengembalikan ponsel baru itu padaku. "Abang pikir aku akam betah berdua saja dengan istri baru Abang, hm? Lihat saja rumah! Apa wanita itu mengerjakan sedikit saja pekerjaan di sini? Enggak, kan?" "Itu karena—" "Sudah, sudah! Aku tahu Abang pasti akan terus belain dia," potongku dengan tatapan tajam. "Jangan bilang kalau Mira juga yang sudah menghasut Abang sampai tega nuduh aku. Iya?" "Mira cuma takut kamu melakukan sesuatu yang bisa mencoreng nama baikku, Dek. Takutnya—" "Keluar!" desisku dengan rasa panas yang mulai menjalar di d**a. Kupejamkan mata demi menahan gejolak amarah yang sedang bergemuruh di dalam sana. "Dek ...." "Ke–lu–ar!" ulangku. Pelan, tapi penuh penekanan dengan tatapan dingin. Bang Leon masih bergeming. Dia seperti ingin mengatakan sesuatu, tapi tidak jadi saat menyadari raut wajahku yang tidak bersahabat. Mungkin saja wajahku saat ini terlihat seperti ingin memakan orang. Memang! Bang Leon beranjak dari tempat duduknya, lalu pergi. Sempat langkahnya terhenti kembali dan berbalik menatapku. "Kamu berubah, Dek. Kamu enggak selembut dulu. Sekarang, kamu jadi sering membantah dan mudah marah." "Jangan lupakan satu hal, Bang! Abang sendirilah yang sudah mengubahku," balasku dingin. Bang Leon menggeleng, lalu pergi dengan sedikit membanting pintu kamar. Sampai-membuat Alva tersentak bangun dan menangis. ??? Aku keluar kamar sekitar pukul setengah tujuh malam. Tak kulihat Bang Leon dan istri barunya ada di sini. Akan tetapi, melihat kamar mereka yang tertutup rapat, sudah pasti keduanya ada di sana. Kuayunkan kaki menuju ruang makan di mana sudah tersaji hidangan untuk makan malam. Memang aku sempat melihat Mira memasak tadi saat turun ke bawah. Kalau hanya dilihat dari tampilan sepertinya enak, tapi tidak tahu dengan rasanya. Kuambil sendok, lalu mengambil sedikit makanan tersebut dan mencicipinya. Seketika itu juga dahiku mengernyit sembari bergidik. "Asin banget," gumamku langsung meneguk segelas air putih dan menyimpan sendoknya di wastafel. Yakin Bang Leon mau makan itu semua? Aha! Kayaknya sebentar lagi akan ada pertunjukan seru, nih! Aku memilih duduk di ruang tengah sembari menunggu mereka. Tak berselang lama, keduanya keluar dengan senyuman lebar sambil bergandengan tangan. Iih, eneg! "Ayo, Dek! Kita makan malam sama-sama. Mira sudah masak banyak tadi." Aku tertawa dalam hati. "Wah, pintar masak juga kamu, Mir," pujiku yang membuat senyum wanita berambut cokelat itu semakin mengembang. "Enggak juga, sih, Mbak. Ini pertama kalinya aku masak. Khusus untuk Bang Leon karena dia mau mengabulkan permintaanku," ujarnya seraya bergelayut manja di lengan Bang Leon. "Oh, ya?" Aku tersenyum lebar. "Bagus, dong! Bang Leon pasti suka dan akan menghabiskan semuanya sampai tak tersisa. Iya 'kan, Bang? Kasihan, lho, Mira sudah susah payah masak kalau enggak habis." Aku menatap Bang Leon dengan satu alis terangkat naik. "Iya. Nanti kuhabiskan semua." Bang Leon tersenyum padaku dan Mira bergantian, lalu melepas rangkulan istri keduanya itu dan mendekat ke sini. "Ayo ke meja makan!" ajaknya padaku sembari menggendong Alva. Aku hanya mengangguk. Membiarkan mereka lebih dulu ke sana, sedangkan aku pergi ke depan saat mendengar suara motor berhenti. Aku kembali ke dalam dengan membawa satu bungkus sate ayam yang dipesan secara online. Piring Bang Leon sudah terisi lengkap dengan nasi dan lauk, begitu juga dengan piring Mira. Keduanya menatap heran melihatku membuka bungkusan sate di atas piring, lalu menyendok nasi. "Kamu kenapa malah beli sate, Dek?" "Enggak apa-apa. Lagi mau saja. Enggak boleh?" sahutku cuek. "Bukan begitu. Mira 'kan sudah masak banyak." "Iya, Bang. Padahal, ini pertama kalinya aku masak untuk kita bertiga terutama Abang. Mbak Lusi enggak bisa menghargai usahaku banget, Bang. Sudah capek-capek masak juga," sungutnya dengan wajah cemberut. "Iya, Dek. Tolonglah hargai sedikit niat baik Mira ini," tegur Bang Leon. "Iya, iya. Maaf. Tapi mau gimana lagi? Aku lagi pengen banget makan sate," kataku sembari beranjak bangun dari kursi, lalu mendekati Bang Leon. "Sini, Sayang. Duduknya di pangkuan mama saja." Aku mengambil alih Alva dari pangkuan Bang Leon. Siapa tahu habis ini Bang Leon muntah-muntah. Kan, kasihan kalau Alva jadi korban juga. Oops! "Ayo dimakan! Kenapa malah pada ngeliatin aku terus?" Aku terkekeh pelan. "Mau satenya juga? Maaf, ya. Enggak bisa. Cuma beli seporsi buatku saja ini," ujarku santai, lalu menikmati sate dengan lahap. Aku mengunyah pelan dengan ekor mata tak lepas memandang keduanya. Aku jadi geram sendiri melihat Bang Leon sama sekali belum menyuapkan makanan itu. Apa perlu aku bantu dia memasukkan makanan itu ke mulutnya? Lama sekali. Sontak aku berhenti mengunyah di detik-detik sendok itu mengarah ke mulutnya Bang Leon. Satu ... dua ... taraaa! Raut wajah Bang Leon langsung berubah seketika. Mulut penuhnya itu diam tak bergerak. Aku memalingkan wajah demi menyembunyikan senyum yang gagal ditahan. "Gimana, Bang? Enak enggak masakan aku?" tanya Mira bersemangat. Dia sendiri belum menyuapkan sesendok pun masakannya. "Lebih enak dari masakan Mbak Lusi, kan?" "Oh, sudah jelas itu," timpalku cepat. "Pasti masakanmu itu juara sedunia sampai-sampai Bang Leon kesulitan berkata-kata. Iya 'kan, Bang?" ucapku dengan senyuman penuh arti. Bang Leon menatap kami bergantian, lalu mengangguk ragu. "Senangnya!" ucap Mira riang seraya bergelayut manja di lengan kiri Bang Leon. "Ya sudah, Bang. Dihabiskan, ya! Abang sudah janji, lho, tadi." Rasakan itu! Haha. Dengan susah payah dan sangat pelan Bang Leon kembali mengunyah. Ekspresinya begitu menyedihkan. Tidak terbayang bagaimana itu rasanya di mulut dan tenggorokan. Selesai menelan satu suapan, Bang Leon langsung meneguk air putih sampai habis. "Lagi, Bang. Masa makan sesuap doang," sindirku dengan senyum tertahan. "Ayo, Mir! Suruh dihabiskan. Enggak boleh buang-buang makanan, lho. Mubazir." "Enggak usah Mbak kasih tahu juga aku ngerti, kok," sahutnya ketus. "Ayo, Bang! Habiskan dulu itu yang dipiring, nanti aku tambah lagi." "Uhuk! Uhuuk!" Bang Leon langsung tersedak minuman sampai hidungnya memerah. "Pelan-pelan, donh, Bang! Minum saja sampai tersedak begitu," protes Mira. Bang Leon menatapku. Melihat itu, sengaja kugigit potongan sate pelan-pelan dengan ekspresi begitu menikmatinya. "Ehm, enak banget. Mantul! Sate Mang Lili memang juara," gumamku, lalu menjilati sudut bibir yang terkena bumbu dan kecap. "Kenapa ngeliatin aku begitu, Bang? Memangnya baru pertama kali lihat aku makan sate, ya?" Aku tersenyum miring. "Jangan lebay, deh, Mbak!" tegur Mira. "Apanya yang lebay? Bang Leon saja yang lebay. Ngeliatin orang makan sate sampai segitunya," balasku dengan kekehan kecil. "Ayo dimakan, Mir! Kamu juga. Kenapa diam saja? Masa Bang Leon doang yang disuruh makan?" Mira mendelik kesal, lalu bersiap menyuapkan makanan itu. "Jangan, Mira!" Bang Leon dengan cepat menahan tangannya. "Kenapa? Aku juga lapar, Bang." "Iya, nih. Biarin Mira makan masakannya sendiri, dong, Bang. Itu sebagai bukti kalau dia menghargai usaha dan kerja kerasnya tadi yang udah masak ini semua. Ayo, Mira, dimakan lagi!" ujarku bersemangat. Bang Leon menatapku tajam, tapi kubalas tatapan itu dengan senyuman sinis. "Kita beli makanan di luar saja." Bang Leon masih berusaha menahan tangan Mira. "Sayang kali, makanan sebanyak itu disia-siakan. Enggak menghargai usaha Mira kamu, Bang. Kasihan dia." Aku sengaja memanas-manasi. "Tau, nih, Abang! Awas tangannya! Aku 'kan mau makan jadi susah," keluh Mira sembari menepis tangan Bang Leon. Bang Leon akhirnya pasrah dan membiarkan Mira menyantap masakannya sendiri. Dan hasilnya ... wanita itu langsung memuntahkan kembali makanan tersebut detik itu juga. "Kenapa dimuntahkan lagi? Idiih, jorok!" ledekku sembari bergidik. "Kenapa masakannya? Enak, kan?" Wajah Mira memerah dengan bibirnya yang mengerucut. Dia meletakkan sendok dengan kasar, lalu pergi begitu saja menuju kamar dengan membanting pintunya. "Kamu keterlaluan, Dek." Bang Leon menatapku tajam. "Kenapa aku yang keterlaluan?" Balasku dengan tatapan tak kalah tajam. "Memangnya aku yang meracuni kalian?" "Kamu pasti udah tahu makanan ini asin, kan?" "Memang," sahutku cuek. "Aku tadi sempat nyicipin sedikit." "Harusnya kamu kasih tahu aku langsung kalau masakan ini enggak layak makan!" tegurnya dengan nada meninggi. "Jangan salahkan aku, dong! Salahkan saja istri baru Abang itu. Memangnya dia masak enggak dicoba dulu apa? Makanya, biasakam dia dengan pekerjaan rumah. Jangan dimanja terus!" sergahku tak kalah sengit. Tanpa berkata apa-apa lagi, Bang Leon mendorong kursi dengan kasar, lalu pergi menyusul Mira ke kamarnya. Begitu pedulinya kamu dengan perasaan Mira, Bang. Sementara, perasaanku sendiri tak pernah kamu pedulikan lagi sedikit pun. Tak pernah peduli bahwa setiap kata dan tindakanmu itu semakin menambah kadar kecewa dan luka. Menusukkan jarum beracun tepat di dalam sini sampai tak tersisa lagi ruang untuk cinta. ???
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD