Part 11–Masak Pertama Kali

1651 Words
Setelah pembicaraan kami tadi, Mira tidak keluar kamar lagi. Aku yang merasa jenuh pun mengirim pesan pada Bang Leon akan pergi ke taman dan dia mengizinkan. Kuayunkan kaki menuju taman yang tidak begitu jauh. Cuaca cerah sore hari dengan semilir angin ini lebih mampu menentramkan pikiran. Jauh lebih baik daripada terus berada di rumah dan mendengarkan Mira yang terkadang terdengar melempar barang di kamar. Sepertinya, dia benar-benar kesal dan kecewa dengan Bang Leon. Itulah resikonya karena sudah berani mengganggu rumah tanggaku. Tak hanya dia yang akan terbakar sendiri, tapi Bang Leon juga. Mereka berdua pasti akan sangat menyesalinya tanpa aku harus membalas dengan perbuatan jahat. Alva tersenyum riang melihat banyak anak kecil bermain di taman. Dia meronta-ronta ingn turun, tapi jelas aku tetap menggendongnya. Kubawa Alva menuju ayunan di pojok taman karena area lain sudah diisi banyak pengunjung. Alva semakin senang saat ada penjual balon mendekat. Tangan mungilnya menunjuk-nunjuk balon berbentuk hewan tersebut. Dia langsung bertepuk tangan melihat balon itu kini sudah berpindah ke tanganku. "Untuk anak mama tersayang," ucapku seraya memberikan balonnya. Alva tertawa kecil. Dengan gemas dia meremas-remas dan hampir mengigitnya jika tidak segera kucegah. "Jangan digigit, Sayang! Kotor." Masih dengan memamerkan gusinya, Alva kembali meremas-remas balon hingga kami berdua terlonjak kaget saat balon itu meletus. "Cup, cup, Sayang. Kaget, ya, hm? Enggak apa-apa. Itu cuma balon, kok. Jangan takut, ya! Anak mama 'kan jagoan." Kupeluk dia erat seraya menepuk-nepuk pelan punggung Alva yang menangis karena kaget. Alva akhirnya berhenti menangis dan kembali tertawa saat melihat anak-anak kecil lainnya bermain gelembung sabun. Dia bertepuk tangan dan tak jarang meronta ingin mendekat ke sana. Kuayunkan pelan ayunan besi ini. Hingga akhirnya, Alva bisa duduk tenang menyaksikan anak-anak lain bermain. Dia tertawa geli ketika aku mengajaknya bermain dengan menirukan suara hewan atau memasang wajah konyol. Rasa sakit dan beban di d**a sedikit terobati setiap kali mendengar tawa kecil riangnya itu. Alva benar-benar obat mujarab. Entah akan seperti apa aku jadinya jika tidak ada bayi dengan pipi gembil ini. Alva adalah anugerah terindah yang diberikan oleh-Nya di antara kelemahan Bang Leon yang harus kuterima. Di seberang taman ini ada minimarket. Kuayunkan kaki ke sana untuk membeli biskuit. Tak hanya membeli itu, aku juga membeli es krim untukku sendiri. "Enggak boleh, Sayang. Nanti kalau sudah agak besar, ya. Sekarang, Alva makannya biskuit dulu," larangku saat dia hendak merebut es krim yang sedang kumakan. "Aduh!" Es krim di tanganku terjatuh menimpa dress bagian atas saat seseorang menabrak cukup kencang. "Maaf, Mbak, maaf. Enggak sengaja." Aku yang tengah memerhatikan kotoran di baju pun jadi beralih menatapnya. Ada seorang pria muda berambut cokelat dengan kamera DSLR tergantung di leher, berdiri di dekatku. "Hati-hati, dong, Mas," tegurku pelan. "Iya, Mbak. Maaf. Enggak lihat tadi saya. Memang kurang hati-hati," ucapnya dengan menangkupkan kedua tangan. "Iya, enggak apa-apa. Saya juga kurang hati-hati, kok." "Tunggu, Mbak!" serunya saat melihatku kembali mengayunkan kaki. "Ini, pakai saputangan saya saja untuk lap nodanya." Dia menyodorkan saputangan merah. "Enggak usah, Mas. Saya juga sudah mau pulang, kok. Nanti dicuci di rumah saja." "E-e-eh, tunggu!" Dia kembali menghalangi jalan hingga membuat keningku berkerut menatapnya. "Kenapa?" tanyaku keheranan. "Mbak rumahnya di mana? Biar saya antar, ya. Anggap saja sebagai permintaan maaf." Aku tersenyum tipis. "Enggak usah. Makasih. Rumah saya dekat, kok. Permisi!" Aku melenggang pergi, tapi dia kembali mengikuti dengan menyejajarkan langkah kami. Dia juga terus memaksa mengantar pulang. Hingga akhirnya, aku berhenti melangkah, lalu menoleh dan melemparkan tatapan dingin. Membuat mulutnya yang tengah berceloteh seketika mengatup rapat. "Maaf, Mbak." Dia tersenyum kaku. Aku mengerling malas, lalu kembali melanjutkan langkah tanpa menoleh lagi. ??? Ketika aku tiba di rumah, Bang Leon sudah duduk di teras dengan celana pendek dan kaus hitam lengan pendeknya. "Kok, lama?" tanyanya seraya menegakkan posisi duduk. "Enggak, kok." Aku berhenti sejenak, lalu berjalan masuk. Dari ekor mata, kulihat dia ikut bangun, lalu mengekori. "Tadi aku susul ke taman, tapi kalian enggak ada." "Ooh, tadi aku ke minimarket sebentar sehabis dari taman. Terus, untuk apa juga Abang nyusul?" tanyaku tanpa menoleh. "Enggak apa-apa. Mau memastikan saja kamu beneran ke taman atau ...." Dia tak melanjutkan ucapannya. Aku berhenti, lalu berbalik dan menatapnya dengan kening berkerut. "Atau apa?" Bang Leon menggeleng. "Enggak. Enggak ada apa-apa." Dia tersenyum tipis. "Sini, Alvanya biar kugendong dulu. Kamu mau ganti baju, kan? Itu ada noda es krim." Aku mengangguk dan membiarkan Bang Leon mengambil alih Alva. Membuat bayi itu langsung tertawa senang seraya menarik-narik rambut tebal papanya. "Dek!" panggilnya yang seketika membuat langkah ini kembali terhenti. "Apa Mira sudah cerita?" Suara itu terdengar mendekat di belakang. "Sudah," sahutku tenang. "Tolong bujuk Mira, Dek. Beri dia pengertian supaya bisa bersikap seperti kamu yang menerimaku apa adanya," pintanya lembut. Aku tertawa miris seraya menggeleng. Apa pria ini tidak punya hati lagi? Memintaku agar membujuk istri barunya? Tidak waras! "Setiap orang punya kepribadian dan sifatnya masing-masing, Bang. Mana bisa Abang maksa Mira supaya bisa jadi sepertiku. Abang bujuk saja sendiri dan jangan bosan kasih dia pengertian. Tapi jangan terlalu memaksanya juga. Beri dia waktu," jelasku tanpa menoleh ke belakang. "Sudah, Dek. Tapi Mira marah banget. Dia belum bisa menerima kekurangan ini." Ya iyalah enggak bisa. Wong pengantin baru sudah kebayang hot, taunya malah melempem. Sudah tau lemah, sok-sokan mau punya istri dua. "Sabarlah. Baru juga semalam. Bujuk saja terus dia sampai Abang bosan sendiri," kataku sembari berjalan kembali. "Tolongin, Dek. Bantu aku bicara sama Mira. Ya?" Dia masih mengekori. Langkahku terhenti, lalu menyentak napas kasar dan menggigit bibir bawah menahan emosi. "Dek ...." "Itu bukan urusanku!" ujarku dingin, lalu berjalan cepat meninggalkannya. Sesaat setelah berhasil menaiki tangga, aku menoleh lagi. Terlihat Bang Leon kembali melangkah lesu menuju ruang keluarga. Maaf, Bang. Tapi itu semua sudah menjadi konsekuensimu yang berani bertindak tanpa berpikir jauh. Katakanlah itu hukuman atas tindakanmu yang sudah mengorbankan anak dan istri demi wanita lain. ??? Kuayunkan kaki menuruni tangga, lalu berdiri tertegun di dekat sofa sambil memandangi Alva. Putra kecil kami itu tertidur di pangkuan Bang Leon yang memeluknya dengan mata terpejam. Ada desir perih yang kembali menjalar di hati. Wajah mereka bagaikan pinang dibelah dua. Sangat mirip. Alva terpaksa harus terpisah dari papanya karena status orangtua yang tak lagi sama. Semoga seiring berjalannya waktu, Alva mampu terbiasa tanpa kehadiran Bang Leon. Kutengadahkan wajah, lalu membuang napas pelan saat sesak kembali mengungkung d**a. Be strong, Lusi! You can do it! Aku menguatkan diri sendiri, ketika sisi kelemahan kembali hadir melihat kebersamaan papa dan anak ini. Bang Leon terbangun ketika aku hendak mengambil alih Alva dari pangkuannya. "Maaf, Dek. Aku malah ikut ketiduran." "Enggak apa-apa, Bang. Biar Alva aku tidurkan di kamar saja," kataku sembari menepuk-nepuk pelan punggung Alva yang menggeliat karena tidurnya terganggu. "Siapa yang cuciin piring-piring kotor?" tanyaku setelah menyadari piring-piring di wastafel sudah tak ada lagi. "Aku, Dek." "Oh," sahutku singkat, lalu berbalik dan pergi menuju lantai atas. Kulirik sekilas ke kamar Mira yang tertutup rapat. Apa dia masih tidur setelah puas marah-marah sendiri? Tak hanya Mira yang harus belajar sabar menerima kekurangan Bang Leon, tapi Bang Leon sendiri pun harus sabar mendidik Mira supaya menjadi istri yang baik. Sekitar jam tujuh malam, aku turun seraya menggendong Alva. "Mau ke mana, Dek?" panggil Bang Leon saat melihatku melewati ruang keluarga. Dia membuka celemek, lalu dengan cepat menghampiri kami. "Izin ke depan, Bang. Mau beli makan." "Tunggu, Dek!" Dia dengan cepat mencekal lenganku. Aku menatap dingin ke arah cekalannya. Membuat Bang Leon salah tingkah dan segera melepaskan tangan itu. "Abang barusan buat nasi goreng. Kita makan malam sama-sama saja. Abang buat banyak, kok." Abang? Ini pertama kalinya dia menyebut dirinya seperti itu selama kami menikah. Biasanya, Bang Leon selalu menyebut dirinya 'aku'. "Ajak Mira saja, Bang. Aku mau beli ke depan." "Mira enggak ada, Dek," sahutnya yang membuat langkah ini kembali terhenti. Aku memutar balik badan lagi. Menatap ke arah kamar Mira yang tertutup rapat, lalu kembali menatap Bang Leon. "Enggak ada ke mana?" "Mira dari tadi sore pergi. Dia masih sangat kesal sama abang, Dek. Paling juga ke rumah mama papanya." "Di mana rumahnya?" "Masih di kota ini, tapi beda kecamatan. Sekitar sejam-an kalau macet." "Ooh," sahutku cuek. "Makan bareng abang saja, Dek. Sayang nasi gorengnya banyak." Aku tertegun sejenak. Akan tetapi, saat melihat raut wajahnya yang memelas, akhirnya aku mengangguk setuju. Membuat Bang Leon langsung tersenyum lebar. "Ayo, Dek!" Dengan semangat dia berjalan menuju dapur, lalu menarik satu kursi dan memintaku duduk. "Abang kenapa enggak pulang bareng Mira tadi?" tanyaku saat dia tengah menyendokkan nasi goreng ke atas piringku. "Oh, itu. Tadi abang cuma kerja setengah hari karena izin mau ke pengadilan agama." Tangannya yang hendak menyendok nasi goreng untuk diri sendiri seketika terhenti. Dia terdiam sejenak, lalu menoleh padaku dan tersenyum tipis. Kenapa? Kenapa raut wajahnya berubah sendu? Menyesalkah dia? Tidak. Tidak mungkin Bang Leon menyesal secepat ini. "Terus?" Aku mengalihkan perhatiannya yang terus menatapku sendu. "Habis itu abang pergi dengan teman. Pas mau jemput pulang, ternyata Mira sudah enggak ada karena abang kejebak macet." "Ooh," sahutku cuek, lalu kembali menyuapkan nasi goreng buatan Bang Leon. "Enak enggak, Dek?" Aku menoleh. Raut wajahnya terlihat sedikit tegang menunggu jawaban. Ini memang pertama kalinya Bang Leon masak. Biasanya, aku yang selalu melayani semua kebutuhan meski hanya membuat kopi sekalipun. "Lumayan." "Syukurlah." Bang Leon tersenyum lega seraya mengusap dadanya. "Abang takut keasinan tadi." "Enggak, kok. Sudah pas," sahutku untuk membesarkan hatinya. "Ya sudah duduk. Makanlah. Kenapa Abang malah bengong?" "Iya, Dek." Dia mengangguk, lalu segera duduk dan makan. Tak ada percakapan yang terjadi. Hanya suara denting sendok beradu dengan piring yang menjadi pengiring makan kami malam ini. Meski tidak menoleh, dari ekor mata kulihat Bang Leon beberapa kali mencuri-curi pandang. Dia salah tingkah dan langsung membuang muka ketika aku memergokinya. "Kenapa? Ada yang salah dengan penampilanku?" tanyaku cuek. "Enggak, Dek. Enggak ada." Dia tersenyum kikuk seraya mengusap tengkuk. Aku mengerling malas, lalu kembali menyantap nasi goreng buatannya itu. "Dek, aku .... "Setop!" potongku cepat. "Jangan bilang kalau sekarang Abang menyesali semuanya karena itu sudah terlambat." Aku menatapnya dingin hingga membuat Bang Leon kembali mengatupkan mulut rapat-rapat. ???
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD