Jatah Bulanan

1645 Words
Tak ada lagi percakapan setelah itu. Kami sama-sama diam dan sibuk dengan pikiran masing-masing. "Apa kamu menyesal sudah mengenal abang, Dek?" Dia kembali membuka suara setelah cukup lama terdiam. Aku menggeleng. "Aku enggak menyesal pernah mengenal dan menjadi bagian hidup dari Abang." "Benarkah?" Aku mengangguk, lalu menatapnya datar. "Penyesalanku hanyalah ketika memberikan kepercayaan terlalu besar, tapi akhirnya disia-siakan." Senyum Bang Leon yang sempat terbit, hilang seketika dan berganti dengan raut wajah sendu. "Hanya satu pesanku untuk kamu, Bang. Hargailah apa yang masih Abang miliki saat ini. Kebahagiaan enggak akan pernah datang pada orang yang enggak bisa bersyukur dan menghargai apa yang dimilikinya." Bang Leon menunduk dalam. Menyuapkan kembali nasi gorengnya dengan pelan. "Jadikan ini sebagai pelajaran untuk kita berdua, Bang. Penyesalan ada supaya kita enggak mengulangi kesalahan yang sama. Dan kita sadar kalau rnggak semua hal di dunia ini bisa diulang kembali." Bang Leon hanya mengangguk tanpa berani menatap ke sini. Setelahnya, aku tak berkata apa-apa lagi. Biarlah dia berpikir dan mencerna apa yang sudah dilakukannya. Jika terus diceramahi, mungkin hanya akan membuat Bang Leon tertekan. "Biar aku saja, Bang," usulku saat melihat dia membereskan piring dan hendak mencucinya. "Abang jagain Alva saja." "Iya, Dek." Dia mengambil alih Alva dari gendonganku dan membawanya ke ruang keluarga. Penyesalan memang selalu datang belakangan, tapi tak baik jika terus terpuruk. Terlalu sibuk dengan penyesalan terkadang membuat kita lupa untuk segera memperbaiki. Kita baru akan mengerti arti dan berharganya seseorang setelah kehilangan, dan itu mungkin yang mulai Bang Leon rasakan. Setiap saat aku akan mencoba selalu tersenyum. Karena itulah cara paling sederhana yang kulakukan untuk menutupi luka, dan menunjukkan diri ini baik-baik saja. Aku yang tengah mengelap meja, menoleh ke arah pintu saat mendengar suara Mira yang sedang tertawa sambil menelepon. Tawa bahagianya lenyap dan langsung mematikan telepon ketika melihat Bang Leon duduk di ruang keluarga. "Dari mana saja kamu? Kenapa baru pulang?" tanya Bang Leon seraya beranjak bangun. "Bukan urusan Abang," sahutnya ketus. Dia hendak berlalu ke kamar, tapi Bang Leon menghalangi langkahnya. "Jelas ini urusanku, Mir. Aku suamimu," debat Bang Leon. "Kamu bilangnya mau ke rumah Papa, tapi aku telepon ke sana mereka bilang kamu enggak ada." "Memang enggak jadi. Aku ke mal dan belanja. Nih lihat!" Mira menunjukkan tiga paper bag di tangan. "Kamu 'kan baru belanja baju tiga hari yang lalu. Kenapa harus belanja lagi, Mir? Hemat sedikit bisa, kan?" "Enggak bisa! Abang sudah janji mau kasih apa pun permintaan aku, kan? Abang bahkan enggak jujur kalau Abang itu lem—" "Mira!" tegurnya sedikit keras. "Tolong jangan bertengkar saat Abang gendong Alva," tegasku seraya mengambil alih Alva dari Bang Leon. "Sekarang, silakan lanjutkan lagi debatnya." Aku melengos pergi dan membiarkan keduanya kembali beradu mulut. Mira masih marah soal kondisi Bang Leon. Sementara, Bang Leon sendiri marah karena Mira sudah hampir menghabiskan jatah bulanan yang diberikan. Mira tak jarang berteriak dengan suara cemprengnya, meski pria yang twlah menjadi suaminya itu berusaha menasehati dengan lembut. Awas saja kalau jatah nafkahku dan Alva berkurang! Apa yang menjadi hak anakku akan kuperjuangkan! Sebuah pesan masuk dari Nanny saat aku tengah menyusui Alva. [Buka akun FBmu sekarang, Lus!] [Kenapa memangnya, Nan?] [Buka saja cepat. Tadi aku tag kamu di postingan orang.] [Postingan apa?] balasku lagi. Malas kalau cuma postingan gosip. [Buka saja dan kamu akan tahu. Cepat!] [Iya-iya,] balasku dan langsung login ke akun f*******:. Seketika itu juga aku tercengang melihat beberapa fotoku diposting seorang pria tak dikenal di berandanya dengan caption 'Dulu, aku tak percaya bidadari itu ada. Kini, aku percaya dia nyata. Bidadari tak bersayap'. Siapa dia? Saat aku mencoba mengintip profilnya, banyak sekali foto-foto alam dan foto estetik lainnya, tapi tidak ada foto orang. Kemungkinan pria ini seorang fotografer jika dilihat dari semua postingannya, tapi siapa? Foto Profilnya hanya menunjukan separuh badan ke atas, tapi wajahnya tertutup kamera. Tunggu! Bukankah ini fotoku bersama Alva di taman tadi? Ah, aku ingat sesuatu! Pria yang menabrakku! Bukankah dia membawa kamera saat bertabrakan denganku tadi? Mungkinkah dia yang sudah mencuri diam-diam gambar kami? Tidak sopan! [Gimana? Sudah lihat belum?] Nanny kembali mengirimkan pesan. [Sudah.] [Itu beneran fotomu, 'kan?] [Iya. Itu aku sama Alva tadi sore ke taman.] [Kok, bisa diposting orang? Likenya ribuan lagi, belum komennya. Kamu kenal sama orang yang posting?] [Boro-boro, Nan. Aku juga enggak tahu siapa dia. Kayaknya dia emang nyuri fotoku diam-diam. Soalnya, tadi sore enggak sengaja ketemu cowok aneh.] [Coba saja kamu tegur di inbox.] [Iya. Makasih infonya, Nan. Aku enggak tahu kalau enggak kamu tag.] [Sama-sama. Aku juga enggak sengaja lihat di beranda karena satu temanku di FL ngelike itu. Ya sudah, ya. Selamat istirahat,] balasnya lagi disisipi emot love. [Selamat istirahat juga, Nan.] Aku mencoba mengirimkan inbox pada akun pria yang sepertinya fotografer itu. Memberitahu kalau orang yang dia foto itu adalah aku dan memintanya agar menghapus semua foto. Sayang, beberapa lama menunggu, pesanku tak kunjung dibaca juga. Aku mendecak kesal, lalu memilih mengabaikan saja. Daripada memikirkan itu, lebih baik aku melanjutkan tulisan. ??? Aku turun ke bawah dengan dress hitam tanpa lengan. Rambut panjang hitamku kali ini diikat ke atas hingga membuatnya bergoyang indah saat berjalan. Bang Leon dan Mira kembali terlihat mesra di ruang tengah. Sangat berbeda dengan semalam yang seperti Tom and Jerry. Hm, roman-romannya ada sesuatu yang harus dicurigai ini. Enggak mungkin Mira secepat itu hilang emosinya dan menerima kekurangan Bang Leon. "Dek ...." Menyadari kehadiranku, Bang Leon sempat ingin melepaskan tautan jemari mereka yang berada di pangkuannya, tapi ditahan Mira. "Biasa saja, Bang. Slow. Enggak usah sungkan." Aku tersenyum sinis pada Mira yang dibalas olehnya dengan mata yang mendelik tajam. "Aku izin keluar, Bang." "Mau ke mana lagi, Dek?" Bang Leon melepas paksa tautan jemari hingga membuat Mira cemberut. Setelah itu, dia beranjak bangun menghampiriku. "Kita bicara diluar, Bang. Ada yang mau aku katakan." "Bicara di sini saja kali. Kenapa harus di luar?" Mira ikut berdiri. "Jangan bilang Mbak mau minta tambahan uang bulanan! Enggak boleh!" "Ckckck." Aku menggeleng. "Apa isi otakmu itu cuma uang?" sindirku dengan senyuman sinis. "Kamu!" "Sudah diam!" sentak Bang Leon seraya menahan bahu Mira yang hendak mendekat padaku. "Kamu tunggu di sini saja, Mir. Biar aku bicara dulu dengan Lusi. Ya?" bujuknya lembut. "Kenapa begitu, sih, Bang? Istri Abang 'kan sekarang aku, bukan Mbak Lusi! Kenapa main rahasia-rahasiaan segala coba?" Mira mengentakkan kaki dengan kesal. "Kepo." Aku tertawa mengejek, lalu pergi ke teras mendahului Bang Leon. Biarkan saja dia mengurus istrinya itu dulu. Merepotkan! Aku duduk di teras sembari bernyanyi-nyanyi kecil dan memainkan tangan mungil Alva. Tak berselang lama, nyanyian berhenti saat Bang Leon sudah berdiri di depanku. "Duduklah, Bang," ucapku seraya menunjuk kursi samping dengan dagu yang terpisahkan meja bulat kecil. "Abang juga ada yang mau dibicarakan, Dek." "Oh, ya? Ok, Abang dulu saja yang bicara kalau gitu." "Kamu dulu saja, Dek." "Enggak. Abang dulu daja, siapa tahu penting," sahutku santai. Bukannya bicara, Bang Leon malah terlihat mengubah posisi duduk beberapa kali sambil sesekali mengusap wajahnya. "Ada apa, Bang? Gelisah banget. Bilang saja ada apa." "Anu, Dek. Itu ...." Dia terlihat ragu melanjutkan ucapan. "Itu apa? Abang kebiasaan kalau ngomong suka lama," sungutku kesal. "Uang bulanan, Dek. Uang jatah bulan ini, abang enggak bisa kasih dulu. Enggak apa-apa kan, Dek?" Bang Leon terlihat semakin gelisah mendapatkan tatapan dinginku. "Ke mana uangnya? Apa buat istri baru Abang itu, hm?" Aku menatap sinis dengan satu alis terangkat naik. "Hanya bulan ini saja, Dek. Bulan depan akan seperti biasa lagi. Abang mohon pengertiannya, Dek. Bulan ini Mira sudah menghabiskan jatah bulanannya hanya untuk belanja," ucapnya dengan raut wajah memelas. "Kenapa jadi aku dan anak kita yang kena imbasnya? Itu bukan urusanku! Aku enggak mau hak Alva terampas hanya karena wanita itu!" tegasku seraya berdiri. "Abang mohon, Dek. Sekali ini saja. Mira baru saja baikkan dengan Abang." "Terus?" Aku menatap tak percaya dia yang begitu memanjakan wanita itu. "Abang sudah janji pada Mira akan memberikan uang tambahan bulan ini." Aku menyentak napas kasar seraya memalingkan wajah ke arah lain. "Dek ...." "Dengar, ya, Bang!" Aku menunjuk wajahnya dengan d**a bergemuruh hebat. "Mulai bulan ini, Abang enggak perlu lagi kasih uang sepeser pun padaku. Lupakan soal kewajiban Abang yang masih harus menafkahi. Aku ikhlas! Abang pikir aku enggak bisa cari uang sendiri? Bukan. Aku hanya ingin Alva tetap mendapatkan haknya. Tapi sepertinya Abang enggak peduli itu. Bagi Abang, w*************a itu lebih penting daripada darah daging sendiri!" cecarku panjang lebar. Berusaha tetap berkata lembut meski rasa panas menjalar di d**a dan kepala. "Dek!" Dia terlihat tidak suka dengan ucapanku barusan. "Hanya kali ini saja, Dek." Suaranya kembali memelan. "Terserah." Aku mengibaskan tangan, lalu pergi. "Dek!" Dia mengejar, tapi aku tak acuh. "Aku izin pergi," ucapku tanpa menatapnya yang menyejajarkan langkah kami. "Mau ke mana, Dek? Biar Abang antar saja. Hari ini 'kan abang libur. Kasihan Alva nanti pulangnya kepanasan." "Enggak usah. Abang urus saja kesayangan Abang itu! Suatu saat, Abang akan menyesal karena sudah terlalu memanjakannya!" "Katanya mau bicara, Dek." "Nanti saja!" sahutku ketus. Bang Leon masih berceloteh. Berusaha membujuk agar tidak marah, tapi aku bersikap tak acuh. Tindakannya kali ini kembali menambahkan kekecewaan baru. Ternyata, baginya Alva tak berarti lagi. Dia lebih mementingkan orang baru daripada anak kandungnya sendiri. Aku tersenyum melihat taksi online sudah datang, kemudian bergegas masuk tanpa mengindahkan ucapannya yang terus bertanya aku mau ke mana. "Jalan, Pak!" perintahku. "Jangan pulang sore-sore, Dek!" serunya saat mobil taksi ini mulai melaju pergi. Aku menarik napas panjang, lalu mengembuskannya perlahan. Mencoba menormalkan kembali detak jantung dan emosi yang sempat meletup-letup di d**a. Aku menunduk dan tersenyum saat Alva menepuk-nepuk pipi. Kukecup kepalanya dengan setetes air mata yang terjatuh di pipi. Untuk kesekian kalinya, pria itu membuatku sangat kecewa. "Kita pasti bisa, Sayang. Mama pasti bisa mencukupi semua kebutuhanmu tanpa uang darinya," lirihku, lalu memeluknya erat. Hanya Alva satu-satunya yang menjadi kekuatan. Keputusanku untuk keluar dari rumah itu semakin bulat. Biarlah aku menunggu di kontrakan selama masa iddah daripada harus terus makan hati. Semoga saja nanti Bang Leon bisa mengerti dan mengizinkan aku pergi. ???
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD