Deg!
Erik membeku di tempat, napasnya tiba-tiba memberat begitu saja. Tante Debora dengan seorang pria, ada sesuatu yang tiba-tiba bergejolak di dadanya.
"Tuan." Senggol Bams pada lengan Erik karena ia tidak bergerak sedikitpun, "Anda tidak papa?"
Erik mengerjap, mengusap kedua telapak tangannya karena udara dingin yang menusuk tulang. "Hm? Ah, gak papa kok." Balasnya sedikit gelagapan.
Bams diam-diam melirik kearah Debora yang berjarak hanya beberapa meter dari mereka, "kita mau mendatangi Nyonya atau kembali saja?" tanyanya dengan penuh pengertian.
Erik melirik kembali kearah Debora, dan disana mereka masih berpelukan, sebenarnya pria itu siapanya Debora? Apa hubungan mereka? Ingin sekali Erik menyelak diantara mereka.
"Kita kembali saja," putusnya datar lalu berjalan balik.
"Menurut saya mereka berpelukan hanya sebatas untuk perkenalan, hal seperti itu biasa di luar negeri, jadi saya harap Tuan jangan salah paham." Bams berusaha menjelaskan sebisa mungkin.
Erik tak menunjukkan ekspresi apapun, meskipun yang dikatakan Bams benar tapi ia tetap tidak rela jika Tante Debora berpelukan dengan lelaki lain, sekarang ia sadar kalau dirinya benar-benar masih kekanakan.
"Erik!"
Langkah kaki Erik berhenti seketika, terlihat Debora yang berjalan mendekat dengan wajah sedikit kaget. "Kenapa kamu bisa ada disini?" tanyanya.
"Saya cuma jalan-jalan," jawabnya sambil melirik ke belakang Debora, sekarang wajah lelaki itu terlihat jelas, lelaki yang ia taksir seumuran Debora dan memiliki aura orang kaya, sangat berbanding terbalik dengan dirinya.
"Kamu bisa tunggu sebentar? Nanti kita kembali bareng, saya masih ada kerjaan."
Erik meremat jemarinya, "bisa."
Debora menatapnya tak terbaca sebelum berbalik kembali ke mejanya, tapi tak lupa wanita itu mengelus kepalanya singkat.
Erik hanya bisa menutup mulutnya rapat-rapat, tak berani menanyakan apapun pada Debora.
***
Setelah kejadian itu Erik lebih banyak diam, tapi tidak serta merta seperti orang yang marah. Setiap Debora mengajak bicara ia selalu menjawab, tapi ia hanya akan menjawab seadanya. Seperti hari ini.
"Habis ini kamu mau ikut saya?"
"Mau Tan."
Debora yang sedang memotong steaknya mengernyit samar, "kamu gak tanya kita mau kemana?"
"Kemanapun Tante pergi saya ngikut saja."
Debora menaruh pisau dan garpunya ke samping piring, menautkan kedua tangannya. "Kita besok pulang ke Indonesia."
"Baik Tan."
"Kamu gak nanya kenapa kita pulang lebih awal?" Debora mulai menipiskan bibirnya.
Erik tersenyum singkat, "pasti ada alasan, saya percaya sama Tante."
"Hari ini kamu kenapa sih?" Debora sudah tak bisa basa-basi lagi.
Erik menaruh garpu dan pisaunya, menatap lurus Debora dengan senyuman manis. "Memangnya saya kenapa?"
Debora yang sekarang tersentak, benar juga memangnya pemuda ini kenapa? Erik bersikap baik dan penurut seperti biasa, dan kalau marah juga sepertinya tidak mungkin karena pemuda ini selalu tersenyum.
Tapi kenapa tiba-tiba Debora merasa asing dengan sosok pemuda ini?
"Saya tiba-tiba gak mood makan, saya ke kamar." Pamit Debora beranjak pergi meninggalkannya sendirian.
Erik menghela napas, kemudian melanjutkan makannya dengan tenang.
***
Rencana yang Debora kira berjalan indah ternyata cuma hayalan semata, padahal ia sengaja menyewa full satu tempat bermain karena ingin memberikan kejutan untuk Erik, tapi entah kenapa ia merasa lelaki ini tidak sebahagia itu.
Erik memang tersenyum, tapi Debora merasa kalau lelaki ini benar-benar tidak seperti biasanya.
Sebenarnya dimana letak perbedaan itu?
"Tante gak mau naik?" tawar Erik pada bianglala di depan mereka.
"Saya tunggu disini, kamu naik saja."
Erik yang sudah siap-siap mau masukpun tidak jadi, "saya bukan anak kecil yang perlu di tungguin pas main." Cebiknya.
Debora diam-diam tersenyum senang melihat Erik yang menunjukkan sikap manja seperti ini. "Yasudah saya ikut naik." Putusnya lalu melenggang mendahului Erik masuk.
Setelah keduanya masuk wahana itu mulai bergerak naik, Erik memandang ke luar melihat pemandangan kota yang terlihat jelas, apalagi malam hari begini jadi kerlap-kerlip lampu benar-benar sangat indah.
"Kamu suka?"
"Suka."
"Habis ini mau main apalagi?"
"Terserah Tante."
"Nanti mau makan malam apa?"
"Saya ngikut Tante."
"Kamu marah sama saya?"
"Ha?!" Erik menoleh kaget, terlihat sangat syok dengan pertanyaan tiba-tiba Debora itu. "Saya nggak marah sama sekali kok, apa saya kelihatan begitu? Saya minta maaf." Padahal ia sebisa mungkin bersikap biasa saja tapi sepertinya ia masih keterlaluan pada Debora.
"Jadi benar atau tidak?"
"T-tidak!"
"Setiap kamu bohong pasti kamu gagap begitu!" todong Debora membuat Erik menelan ludah susah payah. "Kalau ada sikap saya yang kurang berkenan sama kamu, kamu ngomong saja, kalau kamu diam saya gak akan paham."
Erik melirik kemanapun selain Debora, sekarang ia benar-benar takut. "S-saya minta maaf karena sudah berani marah sama Tante, untuk seterusnya saya akan lebih baik lagi, saya janji gak akan bersikap kekanakan begini."
Debora tiba-tiba memegang tangannya, timingnya pas sekali saat keranjang bianglala mereka berhenti di titik paling atas. "Bukankah sudah pernah saya bilang sebelumnya, jangan suka minta maaf untuk semua hal." Erik jadi tertegun, diam untuk beberapa saat. "Katakan apa yang kamu pikirkan, hm." Pinta wanita itu dengan lembut, ia takut Erik malah ketakutan jika ia terkesan menginterogasi.
Erik menghela napas, untuk beberapa waktu hanya keheningan diantara mereka. "Saya boleh tanya sesuatu?"
"Boleh."
"Siapa lelaki yang berpelukan dengan Tante tempo hari."
Debora terperanjat, kaget setengah mati, tidak ia duga pertanyaan ini yang akan keluar. "Kamu lihat?"
Erik mengangguk dengan wajah kecewa. Debora memandang Erik cukup lama, tatapan wanita itu tiba-tiba berubah serius.
"Dia klien saya, kamu juga tau kan kalau saya ke luar negeri untuk bekerja?"
Erik terkesiap, sekarang benar-benar merasa malu, kenapa ia jadi terkesan seperti pasangan yang cemburu buta, gimana kalau Debora ilfil kepadanya?
"Sekaligus mantan saya."
"Apa?" Erik mengangkat wajahnya dengan ekspresi terkejut yang tidak dapat ditutupi.
Debora menghela napas berat, memilih membuang muka. "Kamu ingat kan saya pernah cerita tentang mantan saya dulu? Dialah orangnya."
Erik menggigit bibirnya kuat-kuat, kenapa dadanya tiba-tiba sesak?
"T-tante balikan sama dia?"
"Kalau saya balikan mana mungkin sekarang saya ajak kamu jalan berdua?" Debora melirik datar Erik, "anggap saja kamu tidak pernah melihat kejadian tempo hari, lupakan."
'Gimana bisa aku lupakan? Apalagi lelaki itu adalah mantan Tante?' ingin sekali Erik membalas dengan ucapan seperti itu.
"Tante ... masih suka sama dia?"
"Kita akhiri percakapan hari ini, jangan bahas dia lagi!" untuk pertama kali Debora menggunakan nada ketus.
Yang melukai hati Erik.
***
Setelah percakapan yang tidak berjalan lancar waktu itu mereka tidak pernah berbicara lagi, bahkan sampai sekarang mereka sudah kembali ke Indonesia.
Setiap Erik ingin menemui Debora wanita itu selalu tidak ada, Debora selalu berangkat sangat pagi dan pulang sangat malam. Bahkan sudah hampir semingguan ini ia tidak melihat wajah wanita itu.
"Bams."
"Iya Tuan?"
"Apa kita bisa pergi ke kantor Tante seperti waktu itu?"
Raut wajah Bams tiba-tiba berubah tak terbaca, "maaf Tuan sepertinya tidak bisa."
"Kenapa?" Erik menatap menuntut.
"Itu ... Nyonya yang melarang."
Lagi dan lagi, sebenarnya mau sampai kapan wanita itu ingin menghindarinya? Erik benar-benar tidak tahan.
"Kamu pergilah, aku ingin sendirian!" titahnya, Bams langsung membungkuk hormat sebelum berlalu pergi.
Erik menatap kosong ke luar jendela, jadi Tante Debora benar-benar tidak ingin melihat wajahnya sekarang?
"Apa aku udah gak berharga?"
***
"Dimana bocah itu?"
"Dia sudah tidur Nyonya."
Debora mengangguk, turun dari mobil dan berjalan masuk ke rumah. Ia sengaja menghindari Erik bukan tanpa alasan tapi ia benar-benar tak tau harus bersikap bagaimana jika pemuda itu menanyakan tentang mantannya.
"Haaah..." Debora memejamkan matanya, setelah masuk kamar ia langsung berbaring di atas kasur. "Apa aku nginep di apartemen saja ya untuk beberapa waktu?" gumamnya dengan lelah.
"Sekarang Tante lagi mau kabur dari saya ya?"
"Aaakh!" Debora menjerit kaget, melihat keberadaan Erik yang entah sejak kapan berada di depannya. "Kamu kenapa bisa ada disini?!"
"Kalau tidak begini bisa-bisa saya gak akan pernah lihat Tante lagi."
Debora segera duduk, terlihat kelimpungan. "Ini sudah malam saya lelah, kamu kembali ke kamar kamu sana!"
"Gak mau!"
"Sekarang kamu melawan saya?"
Erik jadi menciut, tapi dengan berani justru memeluk Debora yang tentu saja membuat wanita itu syok.
"Kamu—"
"Apa sekarang Tante sudah gak mau lihat saya lagi? Kalau iya saya gak akan ganggu Tante mulai sekarang."
Debora yang awalnya ingin marah jadi tidak tega, "bukan begitu maksud saya," bisiknya mengelus rambut Erik, "saya memang menghindari kamu tapi bukan karena gak mau lihat kamu lagi."
"Trus kenapa?" Erik mengurai pelukan mereka, menatap lurus manik mata Debora. "Setiap hari saya selalu nunggu Tante, saya pengen bicara sama Tante tapi saya selalu gak ada kesempatan. Saya takut Tante marah sama saya."
Debora mengerjap pelan, menatap wajah Erik beberapa saat. "Saya takut kamu tanya tentang mantan saya."
"Saya gak akan nanya apa-apa lagi jika Tante gak suka, saya bersumpah. Jadi saya harap jangan hindarin saya lagi." Erik menggenggam jemari Debora erat, seolah takut wanita itu pergi.
Debora hanya bisa tersenyum sendu, ternyata lelaki ini jauh lebih pengertian daripada perkiraannya, ini memang egois tapi ia juga tidak mau membicarakan tentang mantan 'busuknya' itu lagi.
"Apapun yang Tante gak suka saya gak akan tanya, saya akan diam, jadi tolong ... tolong bersikaplah seperti biasa." Mohonnya sungguh-sungguh.
Debora tersenyum, "malam ini kamu tidur sama saya ya."
"Apa?!" ia tidak salah dengar kan?!
"Tidur biasa."
"S-saya juga tidak berpikir aneh-aneh kok Tan!" balas Erik dengan wajah merah padam, Debora justru terkekeh geli.
"Saya mau mandi, kamu tidurlah duluan." Lalu ia beranjak menuju kamar mandi, butuh setengah jam-an baru ia selesai, dan seperti dugaannya lelaki itu sudah nyenyak di posisinya.
"Dasar bocah," kekehnya mendekati Erik dan merapikan selimut lelaki itu, baru juga hendak pergi ke walk in closet karena sekarang hanya mengenakan piyama mandi tanpa diduga Erik justru membuka matanya.
"S-saya cuma merapikan selimut kamu!" Jelas Debora panik, benar-benar seperti maling yang kepergok.
Erik mengerjap dengan wajah merona karena melihat pakaian Debora, wanita itu awalnya ingin segera lari tapi tiba-tiba diurungkan.
"Kira-kira kalau kita ciuman bakal aneh atau tidak?"
Bola mata Erik membola, dengan posisi ia masih berbaring dan Debora berada di atasnya saja sudah bikin deg-degan, eh malah ditambah pertanyaan seperti itu ... jantung Erik hampir lepas dari tempatnya.
Lelaki itu perlahan melingkarkan tangannya ke leher Debora, menuntun agar jarak mereka menipis. Debora pun yang mendapat lampu hijau langsung mencium lembut bibir Erik, keduanya awalnya hanya saling melumat kecil sampai entah sejak kapan berubah menjadi ciuman yang lebih dalam.
Suara cecapan dan napas yang terengah-engah menggema di kamar itu, Erik menekan kepala Debora dan melingkarkan kedua kakinya pada tubuh Debora membuat jarak mereka benar-benar hilang.
Gila! Jantung Erik untuk pertama kalinya berpacu secepat ini, tubuhnya memanas, dan darahnya mendidih. Bibir Tante Debora sangat lembut dan hangat, ia tidak bisa menahan untuk tidak meminta lebih.
Namun Erik harus berhenti saat sesuatu yang menyebalkan tegang disana, ah sial! Ini benar-benar memalukan. Erik menarik kepalanya menjauh.
"Sudah Tan..."
Debora awalnya mengernyit tidak suka, tapi saat paham permasalahan Erik ia justru terkekeh geli. "Gak papa itu normal kok, kalau tidak tegang justru patut dipertanyakan."
"Tan!" Erik menutup wajahnya malu membuat Debora makin tertawa puas. Dengan lembut ia menurunkan tangan Erik, menatap lurus wajah lelaki itu. Semakin dilihat lelaki ini semakin tampan saja.
"Rik." Panggilnya lirih.
"A-apa?" Erik jadi deg-degan.
Debora tersenyum lembut, "ayo kita menikah besok."