13: Kehidupan Setelah Menikah

1433 Words
Erik berjalan turun, terlihat Debora yang sedang berkumpul dengan keluarganya. Meskipun ia tersenyum tapi tidak bisa menutupi rasa sedih di matanya, ucapan Debora tadi benar-benar membuatnya terluka. "Selamat pagi, maaf saya terlambat." Erik menyapa sopan lalu duduk, sengaja mengambil posisi kursi paling jauh dari Debora. "Gak papa pasti kamu lelah setelah bertarung semalaman," balas Kusuma tenang tapi berhasil membuat Erik tersedak ludahnya sendiri. Sekarang ia yakin kalau Debora benar-benar anaknya, bahkan ucapan frontalnya pun sama. Erik hanya bisa merespon senyuman seadanya, mana mungkin menceritakan kalau mereka belum malam pertama. "Aku sepertinya harus pamit pulang, lagian semua proses pernikahan juga sudah selesai." "Oh, yasudah." "Kalian gak balik?" Regina justru tersenyum penuh arti, "Mamah sama Papah masih mau menginap disini." Mendengarnya membuat Debora mendengus, "dasar gak sadar umur." Cibirnya lalu menarik tangan Erik pergi dari sana. Seperti biasa Erik selalu menurut ditarik kemanapun, bahkan cengkraman Debora yang menyakiti pergelangan tangannya tidak pernah ia keluhkan. "Kamu pasti lapar, tadi kita belum sarapan." "Saya gak lapa—" "Berhenti mengatakan hal yang berlawanan dengan kenyataan, saya lebih suka orang yang mengatakan jujur perasaannya ketimbang pembohong seperti kamu." Erik membungkam mulutnya, lagi-lagi ia kena omel, padahal mereka baru menikah tapi entah kenapa rasanya ia justru malah sering dimarahi. "Mau makan apa?" "Terse ... n-nasi goreng." Erik yang takut diomeli lagi memilih menjawab. "Hm," Debora hanya bergumam, tapi diam-diam tersenyum sangat tipis karena Erik menuruti perkataannya. *** "Enak?" "Iya." Debora tersenyum segaris, mengambil tisu dan mengelap bibir berminyak Erik. "Kotor." "Makasih." Balas Erik tenang meskipun aslinya kaget dengan perlakuan tiba-tiba Debora, padahal tadi pagi wanita ini sepertinya marah besar kepadanya tapi sekarang bersikap seolah tidak terjadi apa-apa. "Saya minta maaf untuk tadi pagi." Erik menghentikan aktivitasnya, tertegun kaget mendengar permintaan maaf Debora, "meskipun kamu salah tapi tidak seharusnya saya sekasar itu." Imbuhnya pelan. Erik mengulum bibirnya, menatap piring nasi gorengnya datar. "Iya." "Kamu masih marah?" Lelaki itu segera mengambil gelas minumnya, menyeruputnya sedikit sebelum menjawab, "nggak." kemudian ia mendongak, tersenyum ringan dengan begitu meyakinkan sampai siapapun yang melihatnya pasti mengira ia berkata jujur, "ucapan Tante tadi pagi gak kasar, saya yang salah jadi pantas menerimanya." Debora tidak dapat menutupi raut sendunya, perlahan mengulurkan tangannya menyentuh wajah Erik, dengan lembut ia membelainya. "Saya dibesarkan dengan ambisi dan tanpa kasih sayang seperti keluarga normal lainnya jadi saya tumbuh dengan tegas, jika suatu saat saya kelewatan tolong tegur saya." Erik mengerjap pelan, terdiam sejenak sebelum mengangguk. "Sekarang Tante adalah istri saya jadi saya akan berusaha menjadi suami terbaik untuk Tante." Debora tidak dapat menutupi kekehan gelinya, dengan tenang ia bertopang dagu. "Kita sudah menikah, bagaimana jika sekarang kita ubah cara bicara kita." "Diubah?" "Heem," Debora mengangguk, menggenggam pergelangan tangan Erik, "kita pakai aku-kamu, lalu pakai nama panggilan Pah-Mah. Itu terdengar lebih normal untuk status kita." Erik terdiam kaku, Pah-Mah (?) astaga ... bagaimana ia sanggup memanggil Tante Debora seperti itu. "Sekarang kamu coba." Titah Debora tak sabar. "Saya ... eh, aku itu Tan-.. Mah anu." Erik rasanya ingin menembak kepalanya sendiri karena berbicara melantur seperti itu. "Pah, suapi aku." Ujar Debora tiba-tiba membuat Erik jantungan setengah mati, ia melotot seperti orang yang melihat hantu. "Pah!" sentak Debora tajam. Erik buru-buru mengambil sendok di piring Debora, lalu menyendokkan lauk dan menyuapi wanita itu, mati-matian ia berusaha tenang agar tangannya tidak tremor. Ini bukan pertama kalinya ia menyuapi Debora tapi perasaan grogi yang tercipta tetap sama seperti saat pertama kali. Debora memakan suapan Erik, menguyahnya senang karena Erik menuruti permintaannya. "Sekarang kamu buka mulut." Erik yang tak mau kena semprot memilih menurut buka mulut, dan sebuah suapan ia dapatkan dari Debora. Wanita itu terlihat puas, "mulai sekarang setiap kita makan di luar kita harus kelihatan romantis, paham?" Erik menunduk menutupi salah tingkahnya, "iya," gumamnya pelan. *** "Mulai sekarang kita akan tidur sekamar," Debora lalu duduk atas di ranjang, "sini." Komandonya menepuk tempat di sampingnya. Erik dengan patuh mendekat kemudian duduk, dan alangkah kagetnya ia saat tiba-tiba pundaknya berat sebelah, ternyata Debora sedang bersandar kepadanya. "Tante capek?" Debora memejamkan matanya, "kamu sudah lupa nama panggilan kita?" Erik buru-buru meralat, "kamu capek, Mah?" Debora mengangguk, "kamu mau bulan madu kemana?" tanyanya tanpa intro apapun. Erik terkejut, tak menduga akan ditawari bulan madu seperti ini. "Memangnya kamu gak ada kerjaan?" dengan sopan ia bertanya, setahunya Debora adalah wanita yang super sibuk. Debora menghela napas, kali ini mendongak menatap wajahnya dari bawah dagu. "Aku bisa bulan madu sambil kerja." "Yaudah gak usah bulan madu kalau begitu," Erik tersenyum, merapikan anak rambut Debora lembut. "Aku gak mau kamu kecapekan." Debora tertegun, berkedip speechless untuk beberapa saat. "Beneran? Kamu gak nyesel?" "Nggak, lagian mau bulan madu ataupun tidak itu sama aja bagi aku." Wanita berkulit seperti porselen itu diam-diam menahan kedutan samar di bibirnya, "ternyata kamu pengertian juga," gumamnya sambil mengalihkan wajah senang. "Mah." panggil Erik tiba-tiba. Debora spontan menoleh, "hm?" Erik menggaruk tengkuknya pelan, "aku boleh minta sesuatu nggak?" Alis mata Debora seketika tertarik tinggi, "apa?" tanyanya sudah bersiap mengeluarkan dompetnya. Erik menunduk malu-malu, "aku boleh sekolah lagi? S-soalnya aku cuma lulusan SMP, tapi kalau gak boleh juga gak pa—" "Oh kirain apa, besok aku daftarin homeschooling paket C." Erik terkesiap, "beneran Mah?!" serunya sangat antusias. Debora jadi terkekeh pelan, "hm, cuma itu aja permintaannya?" Erik langsung mengangguk tanpa pikir panjang, "iya itu aja juga udah lebih dari cukup, makasih banyak Mah." Debora tersenyum senang melihat wajah ceria Erik, kebahagiaan lelaki ini memang sangat simpel dan hal itulah yang membuatnya justru makin tertarik. "Oh iya aku lupa kado yang orang tuaku kasih ketinggalan di mobil," gumam Debora pelan, ia banyak menerima kado tapi yang ia bawa cuma dari pemberian orang tuanya, sebenarnya kalau tidak dipaksa orang tuanya ia juga ogah bawa soalnya ribet. Erik langsung berdiri sigap, "biar aku ambilin!" lalu tanpa menunggu balasan Debora ia sudah melenggang keluar membuat Debora menggeleng tak habis pikir. Wanita itu memilih mandi untuk membersihkan dirinya, dan begitu keluar kamar mandi sudah nampak Erik yang duduk anteng menunggu diatas ranjang. "Kamu mandi sana," ujar Debora langsung dilakukan Erik, lelaki itu benar-benar menuruti setiap perkataannya. Debora memilih skincare-an dulu sebelum mengambil kado pemberian orang tuanya, dengan malas ia membukanya, awas saja kalau isinya gak penting. Dan begitu kotak terbuka sepenuhnya komuk wajah perempuan itu sudah tidak dapat dikendalikan. I-ini ... Ceklek. Bertepatan dengan itu pintu kamar mandi terbuka, memperlihatkan Erik yang sudah segar dengan rambut basah. "Isinya apa Mah?" Erik mendekat penasaran dan saat melihat isinya lelaki itu langsung mundur beberapa langkah. Syok. Debora memijit pelipisnya tak habis pikir, "mereka benar-benar ...." geramnya setengah mati, gimana gak kesal saat melihat kado pemberian orang tuanya adalah lingerie transparan, ia saja baru tau kalau ada pakaian seperti ini. Bukankah fungsi pakaian itu untuk menutupi lalu kalau transparan begini lebih baik telanjang aja sekalian! Ia tak habis pikir. "I-itu .. glek," Erik sampai tidak bisa berkata-kata. Debora langsung melempar kotak itu ke sembarang arah, membuang muka karena sangat malu dengan ulah orang tuanya. "K-kamu keringkan rambutmu sana, airnya menetes ke lantai." "Ah iya, aku keringkan dulu." Lalu Erik segera bergegas untuk mengeringkan rambutnya dengan hair dryer. Karena mereka berdua sadar sedang sama-sama awkward. *** Gila-gila-gila! Mau seperti apapun Erik berusaha tenang detak jantungnya masih berdegup kencang bahkan sepertinya ia bisa mendengarnya di kamar kedap suara ini, ia berusaha menyucikan otaknya tapi sialnya otaknya tidak dapat diajak kompromi. Ia mengintip dari balik selimut, terlihat Debora yang sedang bekerja seperti tidak terjadi apapun. 'Apa cuma aku aja yang kepikiran?' Erik butuh sesuatu yang dingin, berusaha tidur disaat seperti ini pun sangat sia-sia karena yang ada hasratnya makin naik. "Mau kemana?" padahal kelihatannya Debora tidak peduli sekitar tapi saat Erik turun dari ranjang wanita itu langsung tau. "Aku agak gerah, mau keluar sebentar." "Sudah malam jangan kemana-mana, kalau gerah tinggal buka pintu balkon atau turunin suhu AC." Erik jadi gelagapan kehabisan alasan, "tiba-tiba aku pengen ke kamar mandi," belum juga menyentuh daun pintu suara Debora sudah menginterupsinya. "Kamu sudah siap?" Erik langsung menegang di posisinya, Debora mendongak dari layar laptopnya, menatapnya dengan tatapan yang tidak seperti biasanya. "U-untuk apa?" Wanita bertubuh semampai itu berdiri dari sofa, berjalan mendekatinya secara pelan tapi pasti. "Wajah kamu merah," tiba-tiba Debora membelai rahang Erik seduktif, "panas." Bisiknya. "I-itu karena saya gerah!" "Padahal daritadi aku udah tungguin kamu maju duluan tapi kamu malah mau kabur," Debora semakin merapat, bahkan sepertinya mereka sudah menempel. "Kamu gak mau~?" lalu diakhiri tiupan nakal di daun telinga Erik. Erik tentu saja makin megap-megap, alarm bahaya sudah berdering tak karuan di kepalanya. Perlahan lelaki itu memegang wajah Debora, menangkupnya dengan kedua tangan. "Emangnya ... b-boleh?" izinnya dengan suara mencicit. Debora menyeringai, melingkarkan kedua tangannya ke leher Erik. "Boleh." Dan hanya dengan satu kata, cukup untuk memulai permainan panas.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD