20

1866 Words
Ksatria memijat pelipis untuk yang kesekian kalinya. Kacamata yang ia gunakan hanya ketika belajar sudah tergeletak di sebelah buku-buku fisikanya. Hari ini seharusnya day off untuknya. Tapi karena Anin menolak untuk diajak bertemu dan orang tuanya yang tiba-tiba menelfon dan bilang kalau mereka akan mengunjungi Ksatria di tempat karantina, akhirnya Ksatria memutuskan untuk tetap berada di asrama. Orang tua dan adiknya baru saja pulang setelah memastikan dirinya kekenyangan dengan makanan rumah. Padahal baru seminggu, tetapi keluarganya bersikap seolah ia sudah berbulan-bulan pergi. Tapi Ksatria juga tidak protes, biar bagaimana pun masakan rumah adalah yang paling baik dari yang terbaik. Kini Ksatria sedang melanjutkan belajarnya yang tertunda. Padahal ini hari liburnya, seharusnya Ksatria menjauh dari buku dan soal-soal latihan hanya untuk satu hari. Tetapi bukan Ksatria namanya kalau tidak belajar dan berusaha dengan keras. Meskipun kepalanya sakit dan matanya perih. Tes. Sebuah titik merah menodai kertas penuh coretan perhitungan fisika miliknya. Ah, ini kedua kalinya Ksatria mimisan sejak ia berada di karantina. Buru-buru ia menarik tisue untuk menyumbat hidungnya yang mimisan. Inilah yang tidak pernah diketahui dari seorang Ksatria. Semua menyangka Ksatria tidak perlu usaha keras untuk mendapatkan nilai sempurna. Ia tidak perlu belajar siang dan malam hanya untuk memenangkan sebuah olimpiade sains antar sekolah. Pada kenyataannya, Ksatria hanyalah orang berIQ biasa yang perlu bekerja keras untuk mendapatkan nilai terbaik. Ia harus memeras otak dan keringat untuk mempelajari rumus, menyelesaikan perhitungan dan menghafal materi pelajaran. Ksatria hanya tidur satu jam setiap kali ada ulangan. Ksatria harus berkali-kali mimisan untuk mempertahankan ranking 1 pararelnya. Ksatria harus mengorbankan mimpinya untuk tetap menjadi anak teladan kebanggaan sekolah dan orang tuanya. Memilih beristirahat, akhirnya Ksatria bangkit dari kursi dan berjalan keluar kamar untuk mencari udara segar. Teman sekamarnya selama karantina sudah terlelap. Ksatria memilih duduk di taman samping gedung asramanya. Taman tersebut cukup terang meski hanya ada satu lampu taman yang menyorot langsung ke kursi kayu panjang yang Ksatria duduki. Ia sungguh berharap bisa mendapatkan sebatang rokok saat ini. Cukup sebatang untuk menghilangkan stresnya akibat berkutat dengan fisika hampir satu minggu lamanya. Dan masih ada empat hari lagi sampai semua ini berakhir. "Nggak masuk?" Ksatria nyaris melompat saking kagetnya dengan suara yang  muncul tiba-tiba tersebut, diikuti sosok yang tak asing di matanya. Siapa lagi kalau bukan teman satu sekolahnya yang juga ikut dalam olimpiade tersebut. Karisa. "Duluan aja, gue lagi mau ngadem." "Di dalem kan udah ada AC." Ksatria menatap aneh Karisa. Gadis itu tidak pernah bicara padanya selama satu minggu mereka di karantina. Padahal mereka kerap bertemu saat jam makan atau ketika shalat di masjid. Selebihnya mereka mendapatkan pembinaan di ruangan dan lantai berbeda sehingga tidak pernah berpapasan. "Tapi sumpek. Muak sama bau orang-orang pinter." Ksatria tidak sepenuhnya sadar ketika mengatakan hal demikian. Ketika Karisa bertanya, "Apa bedanya lo sama mereka?" barulah Ksatria sadar ia baru saja salah bicara. "Eh, maksud gue..." Karisa tersenyum kecil. Lalu tanpa izin gadis itu mengambil posisi duduk di samping Ksatria. "Lo ngapain?" tanya Ksatria, kaget. "Oh, gue pikir mau cerita." Karisa kemudiam bangkit lagi dari duduknya, bersiap pergi. Namun dengan cepat tangan Ksatria menahannya. Murni karena...refleks? "Terus lo ngapain diri lagi?" Karisa menatap Ksatria, "Kan lo nggak mau cerita." "Ya emang nggak, tapi lo nggak perlu pergi. Maksud gue, lo bebas kalau mau di sini." Ksatria akhirnya melepaskan tangannya dari lengan Karisa, membiarkan gadis itu entah mau pergi atau tetap di sana. Ksatria tidak mungkin menceritakan bagaimana muak dan stresnya ia belajar untuk olimpade. Itu sama saja dengan membongkar rahasianya. Dan Karisa bukanlah orang yang Ksatria inginkan untuk mengetahui rahasianya tentang sosok 'Satria yang asli'. Tapi cewek ini udah tau soal gue yang ngerokok dan bersikap seolah semua itu nggak pernah kejadian. Apa gue nggak masalah kalau cerita sama dia?  "Karisa." Ksatria mencoba menyebutkan nama itu dengan mulutnya. Mencoba mencerna sensasi tersebut di lidahnya. Karisa menoleh. Dan mengalirlah cerita dari mulut Ksatria. *** Ksatrio tidak ingat kapan ia mulai tertidur. Terakhir yang ia ingat hanyalah memeluk bahu Anin, mendengarkan gadis itu menangis sesegukan sambil menepuk-nepuk pelan bahunya. Ksatrio merasakan beban di bahu kirinya. Dan Anin ada di sana, menyandarkan kepalanya dengan kedua mata terpejam. Sepertinya Anin juga tertidur karena kelelahan setelah menangis. Entah sejak kapan dan siapa yang lebih dulu tertidur. Yang penting saat ini Ksatrio berusaha untuk tidak mengganggu Anin. Meskipun sejujurnya, bahu Ksatrio lumayan pegal juga. Ketika menoleh, Ksatrio nyaris saja berteriak begitu melihat Putri sedang duduk di sofa yang bersebrangan dengan tempatnya dan Anin duduk. Ksatrio bisa melihat senyum miring adik perempuannya itu merekah. Kedua alisnya naik turun dengan amat menyebalkan. Ekspresi wajahnya seolah mengatakan 'Gue udah siap mau ngeledek lo nih, bang!'. Ksatrio mengangkat tangannya, memberikan gestur mengusir. Namun tentu saja Putri tidak akan semudah itu untuk diusir. Ksatrio mendengus. Percuma saja, adiknya ini tidak pernah takut padanya. Akhirnya Ksatrio hanya meletakkan telunjuk di depan mulut, meminta Putri untuk tidak berisik. Selebihnya, Ksatrio hanya bisa pasrah. Putri mengacungkan kedua jempolnya sambil tertawa tanpa suara. Siswi SMP itu menunjuk jam di dinding sebelum beranjak dari sana, membuat Ksatrio refleks melihat ke sana. Mata Ksatrio melotot. Jam sudah menunjukkan pukul setengah delapan malam. Pantas saja Putri sudah ada di rumah. Dia dan Anin berarti sudah tertidur nyaris dua jam lamanya. Efek hujan-hujanan mungkin membuat mereka tidur begitu lelap. Ksatrio harus membangunkan Anin. Meskipun tidak enak, gadis itu harus pulang. Keluarganya pasti khawatir. Kalau ayahnya ada, yang ada sudah sejak tadi rumah Anin didatangi tim SAR. Mengingat seberapa protektifnya ayah Anin. Dengan pelan Ksatrio menggoyang bahunya. Tidak butuh waktu lama sampai Anin akhirnya terbangun. Mata gadis itu masih sembab efek menangis cukup lama tadi. Tampaknya Anin juga terkejut karena ia bisa tertidur dengan begitu lelapnya di...bahu Ksatrio! "Nyenyak banget tidur lo, pegel nih," ucap Ksatrio sambil memijat bahunya. Niatnya bercanda, tapi entah kenapa nada yang keluar justru terdengar seperti keluhan. "So—sorry," ucap Anin tidak enak. Malu juga. Sukur-sukur ia tidak ngiler di bahu Ksatrio. Diam-diam Anin menyentuh pipi dan sudut bibirnya dan bersyukur tidak ada bekas liur mengering di sana. Gantian Ksatrio yang merasa tidak enak. Padahal dia hanya bercanda barusan. "Eh, nggak kok gue bercanda. Sorry gue harus bangunin lo, soalnya udah jam setengah delapan." "Pagi?" tanya Anin dengan polos. Tampak tidak terkejut atau panik sama sekali. "Malem. Udah patah kali bahu gue kalau lo tidur sampe pagi." Anin memincingkan matanya. Here we go, Anin si judes telah kembali. "Yaudah sih, kan gue udah minta maaf." Ksatrio tidak menanggapi. Yang ada mereka malah berdebat. Ia lebih memilih mengatakan, "Udah malem, gue anter lo pulang ya?" "Lo ngusir?" Mata Anin membulat tidak percaya. "Kalau gue mau ngusir lo, udah daritadi gue lakuin. Cuma sekarang udah malem, keluarga lo pasti nyariin." Anin langsung menundukkan kepalanya, lesu. Tiba-tiba teringat lagi dengan ayahnya. Ksatrio yang melihat itu langsung mengerti. Tapi sayangnya tidak banyak yang bisa Ksatrio lakukan. "Baju lo udah dicuci, kayaknya sekarang udah setengah kering sih. Kalau lo mau bawa nanti gue ambilin, atau kalau mau gue yang bawain besok juga boleh." Anin menggeleng. "Nggak, gue bawa aja sekarang." Anin lalu mengecek ponselnya. Ada puluhan panggilan tidak terjawab dari tante, om, adik dan sepupunya. Anin meringis, mereka pasti panik karena Anin tidak ada kabar. Tidak sampai situ, notifikasi Anin pun dipenuhi chat masuk dari semua aplikasi sosial media yang dia miliki. Tentu saja pelakunya adalah adik laki-lakinya. Buru-buru Anin menghubungi adiknya. Panggilannya langsung di angkat di dering pertama. "ANINDA PUTRI BANIANSYAH, LO DIMANA SEKARANG?" Anin refleks menjauhkan ponsel dari telinganya begitu mendengar jeritan Devan di sebrang sana. "Devan, sopan dikit kenapa sih sama kakak!" "Sopan? Kakak? Gue bakalan sopan kalau lo emang bersikap layaknya seorang kakak. Kemana lo? Kabur gara-gara lihat berita, iya?" tanya Devan dengan nada tinggi. "Siapa yang kabur, sih?" Anin balas dengan nada tidak kalah tinggi. Nyaris lupa kalau dia bukan sedang berada di rumahnya sendiri. "TERUS LO DI MANA? SEMUA ORANG PANIK NYARIIN LO. KITA LAGI ADA MASALAH DAN LO CUMA NAMBAH-NAMBAHIN DOANG!" Anin terkejut ketika mendengar bentakan adiknya. Tapi bukan karena kencangnya suara Devan, melainkan karena adiknya itu membentaknya sambil menangis. "Dek..." Anin melunak. Bagaimana bisa dia hanya memikirkan dirinya sendiri sedangkan adiknya di sana terluka seorang diri. "Dek, sorry... Kakak nggak kenapa-kenapa, kok. Kakak di rumah temen, di komplek rumah kita juga." Devan tidak menjawab, namun Anin bisa mendengar Devan yang sedang menahan menahan isakannya. Hati Anin mencelos rasanya. "Dek, ini kakak mau pulang kok." "Mau dijemput? Udah malem." Akhirnya Devan kembali bersuara. Anin melirik Ksatrio yang akhirnya ia sadari keberadaannya. Ksatrio tampak tidak mendengarkan percakapan Anin dan adiknya di telpon, tapi Anin tau Ksatrio tidaklah tuli. "Emang supirnya tante Audie ada di rumah?" tanyanya dengan suara ragu. Di akhir pekan, biasanya supir tantenya itu pulang ke rumah dan baru akan kembali lagi Senin pagi. Lama tidak terdengar jawaban di sebrang sana sampai akhirnya Anin pun langsung mengatakan, "Nggak usah deh, dek, kakak bisa naik taksi." "Nggak boleh! Kakak kan nggak pernah naik kendaraan umum, apalagi ini udah malem," ucap Devan dengan nada tegas. Di saat seperti ini, Devan betul-betul mirip dengan ayahnya. "Apa minta tolong om Petra aja?" "Kakak bisa kok!" Anin menggigit bibir bawahnya, setengah ragu. "Lagian nggak enak. Kita udah numpang di rumahnya, nggak boleh ngerepotin lagi." "Suruh siapa kabur!" ketus Devan. "Siapa yang kabur sih! Kan tadi pagi kakak emang izin mau pergi ke rumah Kea, ah udah deh malah debat lagi gini." "Kakak di rumah kak Kea? Yaudah minta anterin aja sama dia, ribet!" Anin kembali melirik ke arah Ksatrio yang masih duduk di sampingnya sambil memainkan game di ponsel. Bisa tambah kena omel kalau Devan tau sekarang Anin ada di rumah cowok dan bukannya Kea. "Itu..." "Eh, sejak kapan Kak Kea tinggal di perumahan kita?" "Dek udah dulu, kakak mau siap-siap pulang, bye!" sambungan pun langsung diputus tanpa memberikan Devan kesempatan menjawab. Ksatrio menaikkan sebelah alisnya. "Lo yakin lagi telfonan sama adek lo?" tanyanya. Anin hanya mengangguk. Ksatrio geleng-geleng kepala tidak habis pikir. Meskipun hanya bisa mendengar percakapan dari satu sisi saja, Ksatrio bisa menangkap setidaknya apa isi percakapan tersebut. "Yaudah ayo gue anter pulang sebelum adik lo makin ngamuk." "Adik gue bakalan lebih ngamuk kalau gue pulang sama lo." Anin bangkit dari duduknya sambil merapikan rambutnya yang semula terurai karena habis keramas menjadi gelungan asal. "Gue balik dulu deh. Bisa pesenin taksi atau supir online, nggak?" "Gue anter. Nanti gue anternya nggak sampai gerbang deh, kalau lo takut sama adik lo." "Nggak takut! Cuma ribet, gue males. Lagian lo sendiri yang nyuruh gue untuk nggak manja, kan?" tanya Anin. Ksatrio hanya bisa diam. Iya juga, sih... Tapi bukan soal manja dan tidak manja. Melainkan Ksatrio khawatir. Akhirnya Ksatrio memesankan supir online untuk Anin agar ia bisa melacak jika terjadi sesuatu. Sebelum Anin naik ke mobil, Ksatrio bahkan sudah bawel memberikan pesan dan apa saja yang harus Anin lakukan selama di perjalanan dan nanti ketika gadis itu sampai. "GPS aktif, nggak boleh pakai mode airplane, langsung nelfon kalau ada yang mencurigakan. Gue inget, Rio!" Anin memutar matanya. "Pecahin aja kacanya kalau--" "Daripada lo terus-terusan mikir negatif, mending lo doain gue selamat sampai rumah!" Anin lalu membuka pintu penumpang, meminta maaf kepada supir yang sudah menunggu dan naik ke dalamnya. Ksatrio hendak membantu menutup pintu mobil ketika Anin menahannya dan berucap, "Thanks, buat hari ini, buat semuanya." Lalu pintu pun ditutup dan mobil avanza putih itu melaju. "Sama-sama, Nin," ucap Ksatrio pada keheningan.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD