19

1769 Words
Sambil memeluk lutut, Anin pun membenammkan kepala di atasnya. Dia tidak menangis. Anin terlalu bingung untuk menangis. Semua ini terlalu tiba-tiba. Kemarin rasanya, keluarganya masih baik-baik saja. Masih sempurna seperti sebelumnya. Ayah masih menjadi laki-laki terbaik yang ada di dunianya. Dan dalam satu hari pula, dunia membuat ayahnya menjadi seorang penjahat. Namun jauh di dalam hati Anin, ia tidak bisa menerimanya. Anin tau, ayahnya bukan orang seperti itu. "Ayah..." Anin menggigit bibir bawahnya, mencoba untuk tidak menangis. Tetapi bayangan ayah yang tidur dibalik jeruji besi menyayat hati. Apa ayahnya sehat. Apakah ayahnya makan teratur. Dan bagaimana dengan keadaan bunda sendirian yang harus mendampingi ayahnya... Semua pemikiran itu memenuhi kepala Anin lebih daripada apapun. Ponsel di kantung celananya kembali bergetar. Sebelumnya ponsel itu sudah puluhan kali bergetar menandakan panggilan masuk dan pesan singkat. Namun Anin tidak menggubris satupun ketika tidak melihat nama bunda atau ayahnya tertera. Anin mengeluarkan lagi ponsel itu dari kantung celananya, berharap jika itu bunda membawa kabar bahagia. Bahkan meskipun tidak mungkin, Anin berharap kalau itu adalah ayah yang memberi tau Anin kalau semua ini hanya lelucon semata. Ksatrio: Anin, please angkat Anin mengusap air matanya agar bisa membaca jelas. Sebuah pesan kembali masuk. Ksatrio: kalau nggak mau ngomong gapapa. Yang penting lo angkat, gue cuma mau mastiin lo baik-baik aja Ksatrio: please.... Beberapa detik kemudian layar Anin berubah menjadi tampilan sebuah panggilan masuk dari orang yang sama. Perlahan ia menggeser jemarinya di atas layar, mendekatkan ponsel tersebut ke telinga dan ia langsung bisa mendengar suara helaan nafas lega di sebrang sana. Anin tanpa sadar meloloskan satu isakan pelan. Padahal ia tidak ingin Ksatrio mendengarnya menangis. Namun isakan itu meluncur sendirinya tanpa bisa ia tahan. "Gue nggak baik-baik aja, Yo, gue nggak akan bisa baik-baik aja..." ucap Anin lirih. Yang Anin tidak tau, bukan hanya dirinya yang merasakan kesedihan. Di sebrang sana bahkan Ksatrio menahan diri untuk tidak langsung berlari ke tempat Anin saat ini untuk memeluk dan menghapus air matanya. Sekalipun di ujung dunia. "Lo di mana sekarang?" tanya Ksatrio khawatir. "Mau gue...temenin?" Anin menganggukan kepala, pelan. Lupa bahwa Ksatrio tentu saja tidak dapat melihatnya. Namun Anin tidak ingin menyatakan jawabannya dengan mulut. "Nin, gue nggak akan maksa. Kalau lo emang butuh waktu sendiri, gue nggak akan ganggu. Tapi kalau lo butuh temen, gue bisa samperin lo sekarang." Ksatrio berusaha bicara dengan nada semenenangkan mungkin. "Kalau lo emang butuh gue, lo bisa kirim location lo dan gue langsung ke sana." Anin tidak menjawab dan justru memutuskan sambungan. Ksatrio berharap Anin akan mengiriminya lokasi dimana dia berada saat ini. Karena sejujurnya Ksatrio masih tidak tenang jika belum melihat keadaan Anin secara langsung. *** Aninda P.B: sent location. Anin langsung mengirimkan lokasinya berada tanpa pikir panjang. Sebetulnya Anin pun tidak begitu memperhatikan ada di mana dia saat ini. Yang Anin ingat ia hanya berjalan dan terus berjalan. Tes... Anin melihat ke langit-langit yang kini sudah berubah kelabu. Tidak perlu pikir panjang, Anin tau apa yang akan terjadi selanjutnya dalam hitungan detik. Satu... Dua... Ti-- Dan hujan turun begitu saja. Bahkan tanpa mengizinkan Anin menyelesaikan hitungannya. Bukannya mencari tempat berteduh, Anin justru tertawa. Lebih tepatnya menertawakan dirinya dengan tawa menyedihkan. "Gue nggak butuh scene hujan drama ini!" Tawanya semakin keras seiring intensitas hujan yang kian bertambah. Anin kembali memeluk lututnya. *** Ksatrio memincingkan mata ketika melihat maps yang menunjukkan keberadaan Anin. Bukan karena lokasinya yang jauh, justru karena lokasi itu amat dekat dari rumahnya. Masih berada di satu kompleks perumahan tempatnya dan Anin tinggal. Lebih tepatnya hanya tiga block dari rumahnya. Ksatrio pun langsung melajukan motornya menuju lokasi tersebut. Namun tiba-tiba saja hujan turun dengan deras. Membuat Ksatrio harus lebih memutar gas untuk menemukan Anin. *** Anin mendongakkan kepala ketika sepasang kaki beralaskan sendal hitam sudah berdiri di hadapannya. Matanya langsung bisa menangkap wajah yang begitu mirip dengan kekasihnya. Anin sedikit menyayangkan kenapa yang justru ada di hadapannya saat ini adalah kembaran dari kekasihnya. Tapi Anin lebih bersyukur karenanya. Ksatrio berjongkok, mensejajarkan tingginya dengan Anin yang duduk begitu saja di atas trotoar sambil memeluk lutut. Mereka sama-sama basah kuyup diguyur hujan. Padahal hujan baru saja turun beberapa menit. "Lo kira lo lagi main sinetron?" tanya Ksatrio begitu mereka saling berhadapan. Namun tidak ada nada mengejek, menggoda atau marah yang terdengar. "Nangis di bawah ujan? Nggak sekalian joget sambil lari-larian?" Lanjutnya yang kini lebih terdengar khawatir. "Mendingan lo pulang lagi kalau cuma mau ngeledek gue!" seru Anin. Namun tidak sejudes dan segalak biasanya. Ksatrio tersenyum, kecil. Setidaknya dia tau, meskipun Anin tidak baik-baik saja, tetapi ia juga tidak sepenuhnya tidak baik-baik saja. Anin cukup tegar dan sabar untuk ukuran seorang anak manja dan drama queen.  "Yaudah ayo pulang." Anin seketika menunduk. Pulang? Ke mana? Rumahnya yang kosong tanpa orang tuanya? Yang hanya akan mengingatkan Anin dengan mereka dan apa yang sedang terjadi? "Nggak mau." "Terus maunya ke mana?" "Terserah, tapi pokoknya nggak mau pulang!" "Yaudah iya..." Ksatrio lalu lebih dulu berdiri kemudian mengulurkan tangannya untuk membantu Anin. Hujan masih turun dengan derasnya dan Ksatrio sudah terlalu basah kuyup untuk peduli. Biar saja langit menangis, yang penting Aninnya jangan. *** Anin mengernyit ketika motor Ksatrio berhenti di depan sebuah rumah minimalis berwarna broken white. Bukannya Anin tidak mengenal rumah tersebut, melainkan karena Ksatrio membawanya ke sana. "Rumah lo?" Ksatrio mengedikkan bahu. "Tempat teraman dan ternyaman paling deket ya ini. Lagian kita nggak punya banyak pilihan dengan keadaan hujan deres dan badan yang basah kuyup kayak gini." Anin akhirnya hanya bisa mengekori Ksatrio yang sedang memarkirkan motornya di garasi yang terbuka. Ksatrio pun langsung mengajak Anin masuk lewat pintu samping. Asisten rumah tangga di rumah Ksatrio nampak terkejut dengan keadaan anak majikannya yang masuk dalam keadaan basah kuyup. "Astaghfirullah, Mas Iyo kok ujan-ujanan?" Lalu tatapannya teralih pada sosok gadis yang sama basahnya di balik punggung Ksatrio. "Masuk-masuk, nanti masuk angin!" Ksatrio langsung menarik tangan Anin dan membimbingnya ke toilet. "Lo mandi di sini, nanti biar si mbak siapin baju ganti." "Nggak usah, nggak enak... Gue ngeringin baju pakai hairdryer aja." "Lo sekarang di rumah gue, daerah teritorial gue. Nggak ada alasan buat nggak nurut!" Lalu belum sempat Anin menjawab, Ksatrio langsung menutup pintu. Kemudian ia kembali berucap, "Alat mandi semua ada di dalam kabinet. Handuk sama baju nanti dibawain sama si mbak." "O--oke." Oke buat lo, nggak oke buat hati gue. Ksatrio baper lagi, pemirsa. *** "Bajunya non Putri kayaknya kekecilan buat temennya mas," ucap si mbak sambil menunjukkan tumpukan baju-baju milik Putri yang diambilnya dari kamar gosok. Karena Putri sedang pergi dengan kedua orang tuanya, pintu kamarnya di kunci dan mereka tidak bisa meminjam baju-baju yang ada di lemari. Ksatrio yang sudah selesai mandi dan berganti baju menggaruk kepala, berpikir. "Mmm, bajunya mama nggak ada?" "Bajunya Ibu udah dimasukin ke lemari tadi sebelum ibu berangkat, di kamar gosok udah nggak ada." "Yaudah kasih baju aku aja, deh. Tapi itunya gimana?" Si mbak mengernyit. "Hah, itu apa mas?" Ksatrio mendadak malu sendiri. "Itu mbaaak, masa nggak ngerti, itu..." "Itu apasih, mas, nggak ngerti mbak..." Ksatrio menggaruk kepalanya, frustasi. "Daleman," bisiknya. "Oalah, beha?" tanya si mbak polos. Nggak ngerti kalau Ksatrio udah merah padam pipinya karena malu. Ksatrio cuma mengangguk sebagai jawaban. "Ada mas, kemarin ibu beli baru sepasang tapi kekecilan, terus saya simpen aja di ruang cucian."  "Yaudah kasih itu aja. Abis itu bajunya dia langsung cuci sama dikeringin, siapa tau dia mau ganti baju lagi nanti," titahnya. Ksatrio lalu berjalan menuju dapur setelah memastikan si mbak menyiapkan semuanya untuk Anin. Ksatrio lalu berinisiatif membuatkan coklat panas untuk dia sendiri dan Anin sambil menunggu gadis itu selesai mandi. Ketika Anin sudah berganti baju dengan sweatshirt coklat bertuliskan Tokyo yang tampak kebesaran di tubuhnya, Ksatrio sudah duduk menunggu di atas sofa dengan dua mug coklat panas di depannya. Ada sesuatu yang terasa hangat di d**a Ksatrio ketika melihat pemandangan Anin dalam balutan pakaian miliknya. "Ini baju Satria, kan?" Secepat itu Ksatrio merasakan kehangatan dan secepat itu pula Anin menyiramkan air dingin untuk menyadarkannya. Dan air dingin itu adalah saudara kembarnya. Hell, bagaimana bisa Ksatrio sampai lupa kalau gadis yang bersamanya ini pacar kembarannya! "Rio!" tegur Anin karena Ksatrio tak kunjung menjawab pertanyaannya. Ksatrio nampak gelagapan, sebelum akhirnya menjawab. "Iya, itu punya Satria." Terpaksa berbohong karena merasa tidak enak. Dia juga tidak ingin Anin malah jadi tidak nyaman karena tau menggunakan baju orang lain. Setidaknya kalau Anin berpikir itu baju milik pacarnya, gadis itu tidak akan merasa risih. Bego lo, Yo, kenapa ngga kepikiran minjemin baju Satria aja. "Tapi wanginya lebih mirip wangi lo." Anin tidak bermaksud mengucapkannya agar Ksatrio mendengar. Bahkan sesungguhnya ia hanya refleks mengatakan hal tersebut saat sedang menghirup aroma lengan baju yang dikenakannya. Dan ketidaksengajaan Anin justru berakibat fatal untuk jantung Ksatrio. *** Anin tidak kunjung meminum coklat panas yang sudah dibuatkan oleh Ksatrio selain memainkan mugnya. Televisi di hadapan mereka juga menyala tanpa salah satu di antaranya memfokuskan diri ke sana. Ksatrio hanya sibuk menggonta-ganti saluran tanpa benar-benar memperhatikan tayangannya. Namun yang pasti, Ksatrio selalu menghindar ketika berada di saluran berita. "Gue tau, lo pasti udah tau apa yang terjadi, kan?" Tiba-tiba Anin bersuara, membuat Ksatrio menghentikan kegiatannya memainkan remote. "Hm?" Anin tidak mengulang perkataan sebelumnya dan memilih mengatakan, "Lo tau makanya lo langsung nyamperin gue." "Gue..." "Dan sebentar lagi seluruh dunia bakalan tau juga." Seketika Anin menutup wajahnya dengan kedua tangan. "Kalau ayah gue, koruptor." "Terus lo malu?" Anin diam tidak menjawab untuk beberapa menit. Dan Ksatrio hanya diam menunggu. Dari sekian banyak pertanyaan, Ksatrio memilih bertanya demikian. "Segitu rendahnya ya lo mandang gue? Apa semua orang juga nanti bakal mikir yang sama ketika udah pada tau?" Anin tertawa miris. Ia mendongakkan wajahnya. Jauh dari ekspetasi Ksatrio, ternyata Anin tidak menangis. "Malu pasti ada. Tapi daripada itu, gue lebih mikirin gimana nasib orang tua gue kedepannya? Citra dan reputasi ayah yang udah rusak pasti bakal bikin dia dianggap sebelah mata sama orang-orang. Gue nggak mau ayah gue nerima perlakuan buruh dari orang-orang." Ksatrio terenyuh. Dibalik sikap manja, drama queen, kasar dan segudang sikap buruk khas sindrom tuan putri lainnya yang dimiliki Anin, gadis itu ternyata punya sisi yang lain. Sisi dimana ia sangat menyayangi dan menghargai orang tuanya terutama ayahnya. "Ayah mungkin aja...koruptor. Dan koruptor adalah orang jahat. Tapi dia ayah dan suami yang baik untuk keluarganya. Kalau memang ayah terbukti bersalah, gue benci ayah yang pebisnis tapi gue akan tetap sayang dia sebagai ayah gue." Tiba-tiba ketegaran itu luruh dan berubah menjadi isakan. Dan Ksatrio tidak bisa berbuat apa-apa selain menepuk-nepuk pelan punggun Anin. Ingin memeluk, tapi dia masih tau diri. Tapi kemudian Anin justru menyandarkan kepalanya di bahu Ksatrio. Lebih tepatnya ia membenamkan wajahnya di sana untuk menangis lebih keras. Sorry, Ya, bukan mau nikung tapi cewek lo lagi butuh sandaran. Ksatrio pun memeluk bahu Anin.  
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD