Ksatrio harus memacu motornya dengan kecepatan di atas rata-rata karena ia sudah ketinggalan bus tersebut cukup jauh. Apalagi ketika bus itu masuk ke jalur cepat.
"Sumpah itu anak bego banget. Emangnya dia nggak sadar apa ini bukan jalan ke rumahnya? Emang dia nggak ngerti jalan Jakarta?" Entah sudah berapa kali Ksatrio memaki dan mengumpat selama perjalanan. Bahkan ia tidak henti-hentinya bicara pada diri sendiri.
Ksatrio bisa menghela nafas lega ketika bus tersebut menepi dan berhenti di sebuah halte untuk menaikkan penumpang. Ksatrio buru-buru mendekati kondektur bus yang sedang berdiri di halte menunggu para penumpangnya menaiki bus satu per satu.
"Bang!" panggil Ksatrio pada kondektur tersebut sambil turun dari motornya yang sudah ia tepikan.
"Oy, kenape?" tanya kondektur itu dengan dahi mengernyit. "Kalau mau nukerin recehan, kagak ada! Ini buat kembalian."
"Pacar saya ngambek terus naik ke bus ini, bang. Saya mau ngajak baikan jadi jangan jalan dulu, saya mau bawa dia turun."
Sebelum mendengar jawaban dari kondektur itu, Ksatrio langsung naik ke bus. Tentunya kehadiran Ksatrio di dalam bus langsung menarik perhatian. Ya iyalah, secara Ksatrio naik ke bus masih pakai helm. Kan cacat.
Anin duduk di kursi yang ada di belakang supir, persis di samping jendela. Gadis itu jadi tidak melihat Ksatrio yang masuk lewat pintu belakang.
Ksatrio mengucap permisi sambil menyibak kerumunan penumpang yang berdesakkan di tengah perut bus. Begitu sampai di samping kursi tempat Anin duduk, Ksatrio langsung menarik tangan gadis itu membuat Anin refleks menjerit.
"Aaa!"
Orang-orang di bus kembali menaruh perhatian kepada Ksatrio. Bahkan bapak-bapak yang duduk di belakang Anin sudah siap memiting tangan Ksatrio kalau dia tidak buru-buru membuka kaca helmnya.
"Maaf Bapak dan Ibu semua, saya cuma mau jemput pacar saya..." ucap Ksatrio beralasan.
Anin sudah ingin membantah namun tangan Ksatrio menggenggam erat tangannya, memberi kode kalau Anin harus diam menurut saja.
"Maaf...permisi." Ksatrio menarik Anin turun dari bus lalu memberikan uang ongkos kepada kondektur bus yang masih berdiri di luar bus. "Makasih, bang."
Kondektur itu mengangguk. "Baik-baik dek sama pacarnya, jangan sampai kabur naik bus lagi."
Ksatrio tidak menggubris sang kondektur dan menarik Anin untuk naik ke motornya. Ksatrio lalu memakaikan Anin helm yang berhasil ia rampas dari Jay sebelum mengejar Anin tadi. Helm itu adalah helm yang digunakan Zeta ketika berboncengan dengan Jay. Terserah deh gadis itu mau mengomel atau ngamuk sekalian, itu urusan belakangan.
Anin tidak bersuara sepanjang perjalanan begitu pun Ksatrio. Mereka memilih bungkam dengan pikiran masing-masing.
Sesampainya di depan rumah Anin, gadis itu masih saja bungkam ketika mengembalikan helm kepada Ksatrio. Hal itu membuat Ksatrio merasa bersalah. Perasaan itu semakin besar ketika Ksatrio melihat cairan bening mengalir di pipi Anin. Sejak kapan Anin menangis?
"Lo...nangis?" tanya Ksatrio setengah tidak percaya.
"Kenapa? Lo mau bilang kalau sindrom tuan putri gue kambuh lagi karena nangisin hal sepele, iya?" ucap Anin dengan ketus. Ia mengusap air mata di pipinya.
Anin pasti betul-betul tersinggung karena kata-katanya. Ksatrio jadi semakin tidak enak. "Nggak gitu, Nin, gue..."
"Emang salah gue kalau gue nggak bisa dan nggak pernah naik kendaraan umum? Gue bukan takut kepanasan, bukan nggak biasa kalau nggak pake AC. Tapi gue memang nggak pernah diizinin naik itu semua dari kecil. Gue tumbuh dengan didikan seperti itu." Anin kembali mengusap air mata di pipinya yang masih saja berjatuhan tanpa bisa ditahan. "Bukan berarti gue menyalahkan cara ayah mendidik gue, ayah gue cuma mau yang terbaik buat gue. Tapi apa itu jadi salah gue, Yo? Apa gue semenyebalkan itu sampai lo mencap gue punya sindrom tuan putri?"
Ksatrio terhenyak. Rasanya seperti habis ditampar bolak-balik.
Ksatrio seringkali kesal dengan orang-orang yang kerap men-judge orang lain lain tanpa mengenalnya lebih dulu. Ksatrio yang bilang bahwa ia mengenal dan paling mengerti Anin. Padahal ia sendiri hanyalah men-judge Anin tanpa betul-betul mencari tau. Tanpa benar-benar mencoba mencari alasan kenapa Anin bersikap seperti itu. Apa bedanya Ksatrio dengan orang-orang di luaran sana yang senang menilai orang sembarangan?
"Lo tau betapa takutnya gue tadi selama duduk di bus? Gue bahkan nggak berani nengok, gue merasa asing. Apalagi ketika gue sadar jalanan yang gue laluin bukan jalan yang biasanya."
"Iya Nin, gue minta maaf."
"Bukan permintaan maaf, Rio, lo nggak salah. Lo bener, gue terlalu manja. Gue kemungkinan besar memang mengidap sindrom--"
Ksatrio maju dan menekan jempolnya di bibir Anin. "Sst. Besok gue jemput jam sembilan pagi. Kalau emang harus izin ke bokap lo, gue siap. Pakai baju yang nyaman, tapi usahain pakai jeans dan baju berlengan."
Mata Anin berkedip-kedip. "Hah?"
Ksatrio menjauhkan jempolnya dari bibir Anin. Sumpah demi apapun, Ksatrio bahkan nggak sadar sudah melakukan hal tersebut. Dia betul-betul refleks tadi karena tidak ingin Anin jadi merendahkan dirinya sendiri.
"Lo yang bilang kan kalau lo itu bukan tuan putri manja. Lo cuma terbiasa dididik kayak gitu. Kalau gitu lo harus mulai belajar. Karena kehidupan itu terus berputar, Nin. Nggak selamanya lo bisa hidup dengan kenyamanan yang selalu ayah lo berikan."
Anin menatap Ksatrio bingung. "Maksudnya? Belajar apa?"
"Belajar naik kendaraan umum. Taksi, ojek, angkot, bus bahkan kereta kalau perlu. Besok seharian kita coba semua itu."
"Ayah nggak akan izinin!"
"Ayah lo nggak perlu tau. Anggap aja lo belajar ini untuk tambahan ilmu, bukan untuk ngelawan perintah ayah lo. Suatu saat, ilmu sekecil apapun pasti akan berguna."
"Tapi,"
"Trust me, Nin."
Anin pun hanya bisa bungkam. Akhirnya ia mengangguk meski tidak yakin.
Ksatrio tau seharusnya ia tidak menjebloskan dirinya sendiri ke dalam lubang. Ksatrio sudah tau konsekuensinya jika ia menghabiskan waktu lebih lama berdua dengan Anin terhadap perasaannya. Namun Ksatrio sudah memutuskan, maka Ksatrio pun sudah siap bertanggung jawab atas keputusannya.
***
Ketika Anin memasuki rumah, hal pertama yang dilihatnya adalah dua buah koper besar yang ia kenal sebagai milik Ayah dan Bunda tergeletak di ruang tamu.
Anin mengernyit. Ayah dan Bunda mau pergi ke mana? Biasanya jika mereka akan pergi untuk urusan bisnis, Anin dan Devan akan diberi tau paling tidak tiga hari sebelumnya. Tidak pernah mendadak.
"Bunda?" Anin memasuki rumah lebih dalam, mencari keberadaan bunda.
Bunda sedang sibuk di dapur, bicara dengan dua asisten rumah tangga yang bekerja di rumah mereka. Ketika menyadari kehadiran Anin, bunda langsung berhenti bicara dan Mbak Eni serta Bi Juju langsung berlalu pergi.
"Bunda mau pergi?" tanya Anin sambil mencium tangan bunda.
"Iya, kak. Mendadak." Tiba-tiba bunda memeluk Anin. Hal ini biasa terjadi di keluarga mereka. Semua anggota keluarga memang dekat satu sama lain dan tidak segan berkontak fisik. "Kakak sama adek sementara tinggal di rumah Om Petra dulu, ya?"
Anin melepaskan diri dari pelukan bunda untuk menatap wajahnya. "Kenapa?"
"Bunda sama Ayah...mau pergi agak lama."
"Berapa lama? Kemana?"
"Kak..." Tiba-tiba suara bunda bergetar. Dan detik itu juga Anin tau sedang ada sesuatu yang terjadi.
"Bunda, ada apa?" Anin mulai diserang rasa khawatir. Kepalanya mulai menoleh ke kiri kanan, mencari keberadaan ayah namun nihil. "Ayah ke mana, bun?"
Bunda kembali menarik Anin dalam pelukan. "Ada masalah di bisnis ayah. Kami harus selesain itu. Kamu sama Devan nggak perlu mikirin kami, oke? Kalian cuma perlu fokus sekolah."
"Tap--"
"Kak, doain aja ayah...semoga urusannya dilancarkan. Dan satu yang paling penting, kamu harus tetap percaya sama ayah, apapun yang terjadi nanti."
Terjadi nanti? Apa maksudnya?
Bunda mengecup lembut dahi Anin. "Nanti sore Om Petra yang akan jemput kamu sama Devan." Bunda lalu mengusap lembut kepala putrinya. Kini Anin bisa melihat jelas kekhawatiran di mata bunda. "Kakak harus jaga Devan ya. Pastiin dia makan teratur dan nggak keseringan main game."
"Bun... Kenapa ngomongnya gitu? Oke aku nggak akan mikir macem-macem, tapi bunda juga jangan ngomong seolah bunda sama ayah nggak akan balik lagi."
Bunda menggeleng. "Bunda cuma takut, suatu saat segalanya berubah nggak lagi pada tempatnya. But our family will be alright,no, it must be alright, I promise you."
Anin memeluk bunda erat. Entah kenapa perasaannya jadi tidak enak. Padahal pelukan bunda selalu menjadi pelukan ternyamannya, tapi kini pelukan itu justru membuat Anin takut. Takut untuk melepaskannya.