15

812 Words
Anin setengah berlalu di koridor. Bel pulang yang berbunyi sepuluh menit lalu membuat koridor dipenuhi siswa-siswi yang hendak pulang. Anin bahkan harus menghindar dari menubruk bahu orang-orang yang memadati koridor. Demi mengejar Ksatrio. Anin yakin kalau cowok itu benar-benar dalam mode menghindarinya. Entahlah. Selain memberikan s**u kotak coklat tadi pagi, Ksatrio tidak lagi berinteraksi dengan Anin. Dan Anin tidak suka fakta tersebut. Tidak setelah Ksatrio menuduhnya terjangkit sindrom tuan putri. Ksatrio sedang memasang jaket dan helmnya ketika Anin sampai di tempat parkir dengan nafas terengah. "Rio!" teriaknya, membuat Ksatrio tersentak di tempat. "Apa-apaan sih lo, Nin? Kalau gue jantungan gimana?" "Lo kenapa kaget dan buru-buru gitu? Mau menghindar dari gue?" Anin memilih mengabaikan ucapan Ksatrio sebelumnya dan menembak Ksatrio dengan pertanyaan demikian. Ksatrio terdiam. Duh, ternyata Anin menyadari sikapnya yang menghindari gadis itu. Bukan apa-apa. Ksatrio memang sengaja menghindar dari Anin. Ketika ada Ksatria, tentunya Ksatrio masih memiliki batasan untuk perasaannya terhadap Anin. Namun ketika kembarannya itu tidak ada di sini, Ksatrio tidak bisa menjamin kalau dengan menghabiskan banyak waktu berdua saja dengan Anin tidak membuatnya ingin memiliki gadis itu. Suka boleh, rasa ingin memilikinya yang berbahaya. "Diem kan, lo?" Anin lalu menadahkan tangannya. "Mana helm?" pintanya, seperti biasa dengan nada memerintah. "Gue nggak bawa helm lebih." Ksatrio refleks menjawab. "Lagian siapa bilang gue mau nebengin lo pulang?" "Satria kan udah nitipin gue ke lo, Rio! Lo tanggung jawab lah!" sungut Anin. "Emangnya lo hamil?" ceplos Ksatrio. Bugh! Sebuah pukulan mendarat di bahunya. Tentunya spesial dilayangkan oleh Anin. "Jangan kurang ajar, ya?" Ksatrio menghela nafasnya. Dia sungguh tidak mau ribut. Ksatrio mencengkram tangan Anin, seketika ekspresinya mengeras. Bukan marah, hanya saja lebih menunjukkan ketegasan. "Terus lo pikir apa yang lo lakuin ke gue ini nggak kurang ajar? Main perintah-perintah dan bentak orang seenaknya tuh lo pikir apa kalau bukan kurang ajar?" tanya Ksatrio sambil menatap Anin tajam. Seketika Anin menciut. Dia tidak pernah diperlakukan seperti itu oleh orang lain. Apalagi orang itu adalah Ksatrio yang selalu tampak ceria sehari-harinya. "Le--lepas!" ucap Anin terbata sambil menarik tangannya dari cengkraman Ksatrio. Melihat ekspresi ketakutan di wajah Anin, Ksatrio sadar ia sudah kelewatan. Gadis di depannya ini tidak terbiasa dengan sikap tegas.  Hal itu karena Anin yang lebih terbiasa mendapatkan segala yang ia inginkan dengan cara mudah tanpa betul-betul berusaha. Perlahan Ksatrio pun melepaskan cengkramannya. "Sori, gue..." "Kalau nggak mau nganter nggak apa-apa. Gue bisa minta jemput." Bohong. Kalau Anin bisa minta dijemput, dia tidak mungkin meminta Ksatrio untuk mengantarnya pulang. Ksatrio menghela nafas. "Bukan nggak mau, tapi bahaya karena nggak ada helm lebih," ucap Ksatrio melunak. "Naik taksi aja, atau supir online?" Anin menggeleng. "Nggak boleh sama ayah." Ksatrio berdecak. Kadang ia gemas sekali dengan bagaimana cara ayah Anin memperlakukan putrinya ini. "Ayah lo nggak di rumah, kan? Nggak bakal ketauan." '"Gue takut diculik." "Mana ada yang mau nyulik lo! Lagian data mereka tuh terlacak di perusahaan, kalau kenapa-kenapa gampang buat dilaporin." "Berarti tetap ada kemungkinan kenapa-kenapa, kan?" "Ya semua kendaraan juga pasti ada kemungkinan kenapa-kenapanya. Jalan kaki aja pasti ada resikonya juga! Mana ada yang seratus persen aman." "Bodo amat. Gue nggak mau!" Ksatrio berdecak, mulai frustasi. "Yaudah naik taksi atau ojek?" "Sama aja!" sungut Anin. Sabar, Ksatrio. "Bus, angkot?" tawarnya lagi. "Nggak ngerti, takut nyasar atau dicopet." "Terbang aja sekalian!" Akhirnya Ksatrio mencapai batasnya. Betulan deh, Anin ini memang paling bisa membuat tekanan darah Ksatrio meninggi. "Sindrom tuan putri lo harus segera disingkirin sebelum makin parah." Anin melotot mendengarnya. "Maksud lo?" tanyanya, tidak terima. "Lo udah baca kan kertas yang gue kasih? Masih mau ngelak kalau lo nggak mengidap itu padahal sikap lo sekarang menunjukkan banget bahwa lo emang mengidap princess syndrome? Bahkan naik kendaraan umum aja lo nggak bisa." "Gue enggak kayak gitu!" jeritnya tidak terima. Ksatrio betul-betul tau bagaimana caranya menyinggung perasaan Anin. Tangan Anin sudah melayang untuk memukul Ksatrio, namun tangan Ksatrio lebih cepat menangkapnya. "Ketika mereka nggak bisa mendapatkan yang mereka mau, mereka nggak segan-segan melakukan kekerasan." Ksatrio menyebutkan salah satu point yang ada di artikel tentang sindrom tuan putri yang sudah dihafalnya. Anin menarik tangannya. Seketika matanya berair, mendesak cairan bening keluar dari sana. Namun Anin terlalu angkuh untuk menangis dan menunjukkan kelemahannya di depan Ksatrio. Menangis sama saja dengan membuatnya membenarkan yang Ksatrio katakan. "Gue bukan cewek yang mengidap sindrom itu!" Anin menatap Ksatrio sengit. "Gue bakal tunjukkin sama lo!" Lalu dengan kasar Anin menubruk bahu Ksatrio, melewatinya begitu saja menuju gerbang sekolah. Menyebrang jalan dan bergabung dengan keramaian orang-orang di halte terdekat dengan sekolah. Ksatrio diam-diam menyaksikan hal itu. Antara speechless dan juga penasaran apakah Anin betul-betul akan naik kendaraan umum dari halte atau malah mencari cara lain. Dan Anin betul-betul ikut naik ke dalam sebuah bus kota yang berhenti di halte tersebut. Ksatrio menyaksikan itu dengan mata kepalanya sendiri. Tapi yang jadi masalah, bus yang Anin naiki bukanlah bus yang menuju ke rumahnya. Ksatrio langsung berlari ke motornya sambil mengumpat keras. "Dasar cewek bego!"
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD