"Kalau melihat dari nilai-nilai kamu, Bapak yakin kamu bisa lolos seleksi. Bapak sangat berharap besar sama kamu, Satria."
Ksatria sedang berada di ruangan Kepala Sekolah saat ini. Dirinya dipanggil langsung oleh KepSek untuk membicarakan tentang Olimpiade Sains Nasional atau biasa disebut OSN yang akan diadakan sebentar lagi.
Ksatria tersenyum kaku. Bayangan banyaknya rangkaian yang harus ia lewati untuk menuju OSN mulai berkelebatan. Tanggung jawab sebagai ketua OSIS pun harus ia tinggalkan untuk sementara jika ia berhasil terpilih.
Sejujurnya, Ksatria tidak ada niat sama sekali untuk mengikuti ajang olimpiade tersebut. Bukannya tidak ingin mengharumkan nama sekolah, tetapi Ksatria memang tidak berminat. Masih banyak tugas yang harus ia kerjakan. OSIS dan ekskul KIR yang diketuainya sedang dalam masa aktif-aktifnya. Ksatria tidak yakin ia sanggup membagi lagi waktunya yang sudah terpecah ke berbagai kegiatan akademik dan non-akademik untuk mengikuti olimpiade.
"Kamu adalah murid nomer satu di jurusan IPA angkatanmu. Sudah beberapa tahun terakhir ini SMA Angkasa gagal mengirimkan peserta untuk mengikuti OSN karena gagal dalam tahap seleksi awal. Banyak murid-murid kita yang pintar tapi terlalu menginginkan hasil instan. Mereka tidak suka ketika harus menjabarkan jawaban dan bapak rasa kamu ahli soal hal itu." Lagi-lagi kepala sekolah secara tidak sadar telah meletakkan beban bertumpuk di punggung Ksatria. Mungkin baginya itu sebuah kebanggaan, namun sebuah tanggung jawab besar untuk Ksatria. Yang mana Ksatria harus sungguh-sungguh menjalankannya.
Akhir dari diskusi itu berakhir kepada keputusan sebelah pihak kepala sekolah. Toh Ksatria tidak mungkin bisa menolak. Akhirnya Ksatria pun setuju untuk ikut seleksi yang akan diadakan seminggu dari sekarang. Terburu-buru memang. Sebetulnya pengumuman soal seleksi ini sudah diumumkan jauh-jauh hari dan sampai akhirnya Kepala Sekolah turun tangan, Ksatria belum juga mendaftarkan diri.
Ksatria keluar dari ruang orang nomor satu di sekolah itu dengan ekspresi kelam. Untungnya ia dipanggil saat jam pelajaran berlangsung. Baik koridor dan halaman kosong dari murid-murid yang kemungkinan bisa melihat wajahnya yang jauh dari kata baik-baik saja saat ini.
Bukannya berbelok ke koridor menuju gedung IPA, Ksatria justru sengaja berbelok ke koridor sempit di samping gymnasium. Tujuannya adalah halaman belakang yang sepi. Persisnya di dekat green house milik ketua yayasan terdahulu yang masih ada dan terawat sampai saat ini.
Tidak jauh dari sana ada pohon besar yang sudah tumbuh cukup lama. Ksatria memutuskan untuk duduk di sana, setelah sebelumnya ia memperhatikan sekeliling dan mengambil sebuah benda yang ia selipkan dibalik akar besar pohon tersebut.
Pelarian Ksatria ketika ia sedang merasa tertekan. Rokok. Entah sejak kapan Ksatria mulai kecanduan dengan barang bernikotin tersebut. Berawal dari iseng, lama-lama Ksatria mulai menikmati dan terbiasa dengan sensasi menghirup asap dan melepuskannya ke udara. Hal itu pula yang membuat orang tua Ksatria sempat marah besar beberapa waktu yang lalu, namun kemarahan itu justru salah sasaran dan mengenai kembarannya yang meskipun nakal tapi sama sekali tidak merokok.
Dan bodohnya, sampai detik ini pun Ksatria masih tidak bisa mengaku kepada orang tuanya bahwa sesungguhnya ialah yang perokok dan bukan Ksatrio, kembarannya.
Ksatria melepuskan perlahan asap beracun itu dari mulutnya setelah sebelumnya ia melepaskan kemeja seragamnya dan hanya mengenakan kaos dalaman. Membuat kepulan asap yang menambah pekatnya polisi udara Jakarta. Ksatria tersenyum kecut. Kadang ia merasa bodoh. Bagaimana sebuah tembakau yang dilinting lalu dibakar bisa menjadi alat penghilang masalah? Yang ada hal itu akan menambahkan masalah di kemudian hari. Penyakit kronis dan kekecewaan orang tuanya karena tau bahwa anak mereka yang sempurna ternyata hanyalah seorang anak laki-laki yang hidup dibalik topeng.
Ya, topeng. Selama ini Ksatria hidup dengan topeng anak 'sempurna' yang sudah terlanjur orang sematkan padanya. Tidak peduli pada kenyataan bahwa di dunia ini, tidak pernah ada satu pun manusia sempurna. Semua pernah berbuat kesalahan setidaknya satu kali dalam hidup.
Sebuah bola volli melayangdan menabrak pohon tempat Ksatria bersandar sebelum akhirnya jatuh ke atas rumput. Ksatria tidak menyadarinya karena sedang sibuk berkutat dengan pikirannya, sampai akhirnya seseorang datang menjemput bola itu.
Karisa semula hanya datang untuk memungut bola tersebut tanpa ingin mengganggu aktiftas Ksatria. Bahkan gadis itu tidak tau kalau ada Ksatria di balik pohon besar kalau saja ia tidak sengaja menghirup asap rokok yang Ksatria lepuskan dan terbatuk karenanya.
"Uhuk!"
Ksatria refleks menegakkan tubuhnya yang semula bersandar pada batang pohon. "Siapa lo?!" serunya, nyaris berteriak. Dia benar-benar refleks karena kaget.
Karisa mematung di tempatnya karena sama kagetnya dengan Ksatria. Bola volli yang seharusnya ia ambil masih tergeletak di atas rumput.
Ksatria menatap penampilan Karisa dari atas sampai bawah. Seolah tersadar kalau masih ada rokok menyala di selipan jarinya, Ksatria buru-buru menjatuhkan benda tersebut dan menginjaknya hingga apinya padam. "Lo nggak lihat apa-apa!" ucapnya. Dan tanpa disadari, Ksatria mengucapkannya dengan nada sedikit mengancam.
Karisa berkedip. Lalu seolah tidak terjadi apa-apa, ia memungut bola volli yang seharusnya sudah sejak tadi ia bawa masuk kembali ke lapangan indoor dan pergi meninggalkan Ksatria begitu saja. Persis seperti apa kata Ksatria tadi, bahwa Karisa tidak melihat apapun.
Jantung Ksatria tanpa sadar berdetak lebih cepat dari biasanya. Euforia yang ia rasakan karena rasa panik, takut dan khawatir jadi satu. Ksatria langsung mengumpat di balik pohon lagi ketika mendengar suara derap langkah lain.
"Karisa, kok lama banget? Bolanya nyasar jauh, ya?"
Ksatria kenal suara itu, bahkan tanpa perlu Ksatria melihat siapa orangnya. Suara orang yang sudah mengisi hatinya beberapa bulan terakhir. Anin.
Jadi, gadis tadi adalah teman sekelas Anin? Ksatria semakin gugup. Bagaimana kalau sampai gadis itu buka mulut dan memberitau Anin?
"Ya, tadi ngambilnya agak jauh." Mendengar jawaban dari mulut Karisa tanpa sadar membuat Ksatria menghela nafas lega. Setidaknya gadis itu betul-betul tutup mulut dan tidak ember.
Ketika tidak lagi terdengar suara apa-apa, Ksatria baru berani keluar dari tempat persembunyiannya. Ksatria lalu mengembalikan bungkus rokoknya ke selipan akar seperti semula. Tidak lupa ia memakai sanitizer yang selalu ia bawa di kantung celananya untuk menyamarkan bau rokok di tangan dan bajunya. Terakhir, Ksatria mengunyah sebuah permen mint sambil memakai kembali seragamnya. Dan Ksatria si murid teladan pun kini telah kembali memakai topengnya.