Beberapa saat kemudian setelah orang tua Nala masuk ke dalam rumah. Anak lelaki bungsu mereka dan teman barunya yang sudah menyelamatkan ia dari kematian ekspres menuju neraka turun ke ruang keluarga untuk memberi salam.
Perjalanan dari kamar sang tuan muda menuju ruang tamu saja sudah bagaikan trip dari Jayakarta menuju Yogyakarta.
+ + + + + + +
Elan tersenyum ramah di hadapan mama Nala. "Assalamualaikum warahmatullahi wabarakatuh, Tante. Perkenalkan bahwa saya adalah teman baru Nala. Nama saya Elan. Ingin meminta izin untuk menginap di sini malam ini," ia memberitahu dengan nada suara yang lembut. Tidak lupa merendahkan kepala untuk menunjukkan penghargaan serta sikap sopan.
Inaranti, nama mama Nala, yang baru sampai ambang pintu membalas senyum ramah serta sikap terdidik dari teman putranya. "Wa'alaikumusalam warahmatullahi wabarakatuh, Nak. Wah, jarang sekali lho sampai putra saya membawa teman bermain ke sini. Apalagi sampai menginap di rumah." Inaranti semakin berjalan masuk ke ruang tamu. Masih mengenakan high heels dengan ujung yang runcing seperti kunai (Nb: salah satu s*****a tradisional Jepang yang biasa digunakan oleh Shinobi atau ninja yang memiliki bentuk segitiga ramping yang runcing).
Nala mengajak Elan mengikuti Sang Mama menuju bagian tengah dari ruang tamu.
"Apa kamu berasal dari satu sekolah dengan Nala?" tanya Inaranti setelah itu.
"Tidak, Tante. Kami hanya kebetulan bertemu di stasiun MRT. Lalu, bersahabat sejak itu," jawab Elan.
Nala melirik Elan tak percaya. Ia bertanya dalam hati, bersahabat sejak saat itu? Mohon maaf, sejak kapan?
"Sejak kapan itu? Kok Tante tidak pernah dengar apa pun dari Nala, ya?" tanya Inaranti. Dengan senyum elegan yang tampak seharga ratusan ribu dollar $ $ $ $ $ $ $ .
"Yaah, belum lama ini sih, Tante. Tapi, Nala sudah jadi sahabat paling baik yang saya punya," jawab Elan cerah ceria o(〃^▽^〃)o. Merangkul pundak Nala yang tersenyum dipaksa ( ͠° ͟ʖ ͡°).
Wanita itu langsung memasang ekspresi wajah yang nampak terkejut. "Apakah hal itu benar? Wah, kamu pasti anak yang benar-benar baik, ya. Nala, kamu beruntung sekali bisa bertemu dan bersahabat dengan anak yang begitu baik seperti Elan." Ia tengok Nala yang berwajah tak sebahagia orang di sampingnya. "Nala, apa sudah kamu ajak makan tamu kita?" tanya Inaranti.
"Belum, Ma. Kami berdua baru aja selesai mandi," jawab Nala datar.
Inaranti kembali tersenyum melihat ke arah Elan. Ia bertanya, "Kamu mau makan apa, anak manis?"
Elan tersenyum lebar. Ia menjawab santai, "Saya mah gampang. Dikasih kapas atau ampas kopi juga bakal tetap dimakan, Tante. Ehe he he hee."
Inaranti menutup bibir dengan salah satu dari punggung tangan dengan pose elegan. "O ho ho ho, kamu bisa saja bercandanya. Kalau memang seperti itu maka akan saya pesan kapas atau ampas kopi saja, ya."
"Pesenin yang pedes ya, Tante," balas Elan sok berbisik padahal suaranya cukup kencang.
"A ha ha ha ha ha ha ha," tawa Inarati.
Elan membalas ikut tertawa juga, "A ha ha ha ha ha ha ha."
Nala melirik dua orang di ruangan itu dengan tatapan kesal. Ia memotong tawa mereka, "Ma, aku sama dia mau makan junk food. Jangan katakan hal yang aneh."
"Apa tidak apa-apa, Elan? Makanan seperti itu," tanya Inaranti menatap Elan dengan raut "khawatir".
"Wah, malah itu yang sudah saya tunggu sejak tadi, Tante. Saya sangat semangat untuk menginap di sini justru karena katanya ingin diajak makan junk food oleh Nala. Anak Tante yang super baik ini," jawab Elan semangat.
"Syukurlah kalau Nala berhasil mendapatkan teman yang baik hati serta tidak sombong seperti kamu. Tolong jaga anak Tante, ya," ucap Inaranti sebelum berdiri dan melangkah kembali ke kamarnya sendiri.
"Jagain anak tante? Waduh, asik, nih. Gue disuruh jagain anak pemilik mansion segede ini. Tajir mendadak gue," goda Elan dengan tatapan yang sangat jahil.
Nala jadi ikutan nyengir saja. Entah kenapa ucapan mamanya yang menyebalkan jadi terdengar menyenangkan jika diucapkan oleh mulut dan suara Elan. "Nyokap gue pasti udah suruh orang buat pesenin ayam kaepci. Kita tunggu aja di kamar udah."
"Busett daah, enak bener hidup anak sultan. Mau apa tinggal bilang bakal langsung dibeliin sama pelayan. Sungguh kehidupan yang seperti impian," komentar Elan sambil mencoel pipi Nala yang tersenyum kecil.
Dalam hati sendiri Nala membatin, heh, impian apanya.
Impian macam apa pula yang anak itu bicarakan di hadapan orang yang baru saja memiliki niat sepenuh hati untuk melompat ke rel kereta api dan "berciuman" dengan si lemper besi?
+ + + + + + +
Nala dan Elan menunggu di kamar Nala. Keduanya mengobrol tak tentu arah. Apa saja rasanya bisa remaja lelaki bernama Elan itu jadikan topik yang menarik untuk mereka perbincangkan. Dibahas lebih lanjut. Dan hal itu Nala rasakan sebagai suatu pengalaman yang amat sangat luar biasa menyenangkan. Mereka berdua sampai tak merasa butuh untuk menggunakan media apa pun untuk mengisi waktu. Nala cukup rebahan di kasur. Dan Elan duduk di kursi yang terletak di sisi tempat tidur. Untuk terus berbicara tak tentu arah dan tujuan. Semua ia bicarakan dan "anehnya" berhasil untuk jadi tetap menyenangkan untuk disimak bagaimana kelanjutannya. Semua yang keluar dari mulut Elan terdengar sangat menarik dan menggairahkan di telinga Nala.
"Terus ya . . . "
"Eh, Lan, tunggu bentar, deh," potong Nala meminta.
"Ada apa, bro?" tanya Elan.
"Yang barusan nelpon lu siapa, sih?" tanya Nala pada akhirnya. Berusaha untuk memberanikan diri usai memikirkan hal itu selama beberapa lama. Di saat yang bersamaan dengan mendengar semua ucapan yang keluar dari mulut Elan. Dan inilah saatnya untuk mengkonfirmasi apa yang sebenarnya terjadi. Sebelum berbagai macam prasangka yang tidak jelas jadi semakin berkembang menguasai perasaan dan hati nurani.
"Kakak gue," jawab Elan santai. Ia bertanya balik, "Emang kenapa? Kok nanyain hal itu? Lu gak naksir kan ama kakak gue?"
"Gak, kok. Gak ada apa-apa, sih. Kita kan mau tidur semalaman dalam satu kamar. Gue harus memastikan keabsahan kejantanan lu dulu, 'kan?" jawab Nala (tidak jelas, mulai tertular sikap tidak jelasnya Elan).
Wajah Elan jadi tidak enak. Ia berkata, "Oh, begitu, ya. Tolong maafin gue."
"E, E, E, Eh, m, maksud gue bukan gitu, Lan. Tolong jangan salah paham dulu. Tolong jangan . . ." Nala langsung panik karena menyadari kekeliruan yang mungkin sudah ia lakukan. Ini benar-benar tidak baik! Bagaimanapun juga Elan adalah seorang anak yang baru saja menyelamatkan hidupnya. Ia juga memiliki sikap serta perilaku yang sangat "baik" dan juga menghibur.
Bagaimana bisa Nala malah mengutarakan sesuatu yang mungkin saja menyakiti perasan anak itu? Bagaimana jika Elan sampai merasa tersinggung dan tidak jadi menginap?
Saat itu juga Nala merasa bahwa ia akan sangat menyesalinya.
Akh, ini sangat menyebalkan. Nala sendiri sadar bahwa terkadang ia memang memiliki sikap yang "kurang" baik. Sedikit angkuh. Sulit membaur. Dan sulit membuat suatu hubungan yang memuaskan antar sesama manusia.
Mungkinkah itu kenapa selama ini ia selalu seorang diri dan merasa kesepian? Karena ketidakpekaan dari perasaannya sendiri. Karena kesalahan, kebodohan, serta kekurangannya sendiri.
Dan sekarang apabila Elan benar-benar sampai tersinggung pada apa yang baru saja ia lakukan serta utarakan. Nala pasti akan sangat menyesal sekali. Ia tidak ingin kehilangan teman pertama yang ia punya. Bahkan walau ia memang merasa "sedikit" aneh pada beberapa tindakan di luar nalar yang sudah Elan lakukan. Tetap saja Elan adalah anak pertama yang memiliki usia sepantaran dengan dirinya. Yang bersedia menganggapnya sebagai seorang teman . . . bahkan seorang sahabat.
Haduh, haduh, haduh, haduh, haduh, haduh, haduh! Ini sangat meresahkan!!!
Elan memegang dagu. Mengalihkan pandangan. " . . . "
"Lan," panggil Nala pelan.
Tapi, anak teman laki-laki itu tetap terdiam.
Apa yang harus Nala lakukan sampai Elan benar-benar tidak berkenan pada apa yang telah ia ucapkan? Menakutkan sekali, bukan? Mengkhawatirkan sekali, bukan? Dihadapkan pada situasi di saat kita baru saja mendapat kesempatan untuk memiliki sesuatu yang telah sekian lama diinginkan. Diharapkan sepenuh jiwa lewat lantunan ayat, untaian doa, serta untaian harapan. Namun, di saat yang berdekatan juga langsung dihadapkan pada situasi dan kondisi yang membuat kita bisa kehilangan sesuatu itu yang telah sekian lama diimpikan.
Dgub dgub dgub dgub dgub dgub dgub. Jantung Nala berdetak dengan sangat kencang saat ia sedang menunggu respon anak remaja di dekatnya. Tatapan wajahnya sekilas memang terlihat poker face dan sok "cool". Tapi, sebenarnya ia adalah seorang anak yang sangat lemah dan mudah ditelan oleh kegamangan. Penakut dan sedikit pengecut juga.
Akan tetapi, senyum lebar terbit di wajah anak remaja itu. Membuat Nala mengangkat wajahnya dan membelalakkan kedua mata. Merasa seperti diberi seutas harapan yang tak nampak, namun memiliki artian yang cukup besar.
"Elan," panggil Nala.
"Ah ha ha ha ha ha ha ha!" tiba-tiba anak itu tertawa dengan leluasa. Ia melanjutkan ucapannya, "Jadi, lo ngira yang nelpon gue itu cowok hanya karena nama kontak yang gue kasih Pria?" ia bertanya dengan raut wajah geli. Perasaannya yang sedang merasa sangat geli itu tidak bisa ditutupi karena raut wajahnya tengah menampakkan ekspresi yang cukup konyol.
Senyum Nala sedikit tersungging di bibirnya yang memiliki bentuk penuh serta simetris. Elan tertawa seheboh itu karena apa yang baru saja ia ucapkan? Kenapa rasanya senang, ya. Habis sejak tadi yang berbicara dan memberikan hiburan itu hanya Elan. Nala yang "bodoh" seperti tidak bisa memberi balasan apa pun untuk merespon segala hiburan yang telah ia berikan.
Jika sudah seperti ini. Nala jadi merasa lebih baik karena berpikir bahwa sebenarnya ia pun sama saja seperti anak lain.
Terima kasih banyak, Elan.
Anak remaja itu melanjutkan, "Bukan lah, a*jing. Itu tuh nama kontak buat nomornya kakak cewek gue. Sengaja gue kasih nama kayak gitu. Habis nama kontak buat nomor gue sendiri dikasih nama ADIK CANTIK AKU di HP dia," beritahu Elan geli. Ia bertanya, "Bangke banget kan punya kakak perempuan kayak gitu? Kalau sampai ada cewek cakep yang cari nama kontak gue di aplikasi pencari nama kontak kan bisa berabe. Jadi gue bales dia gitu biar menimbulkan ambiguitas juga buat yang cari nama kontak dari nomor dia," terang Elan geli sendiri.
Nala menghembuskan nafas lega, huufft. Untung saja. "Harusnya jangan nama pria, dong. Bikin ngeri aja, njay. Cewek pakai kerudung, tapi namanya kayak gitu." Ia pun menggulung lengan kausnya untuk menunjukkan otot bisep dan trisepnya yang memiliki bentuk bagus dan kencang serta anti lemak gelambir gelambir klub. "Aturan lu kasih nama Preman Rawa Binong."
Elan tertawa terpingkal-pingkal. "AH HA HA HA HA HA HA HA!"
Nala langsung membatin, eh? Emangnya ucapan gue barusan lucu, ya? Padahal gue ga ngerti gimana cara ngelawak. Tapi, dia ketawa terus.
Ahh, sia*an. Bikin orang jadi kebawa perasaan aja nih anak.
"Timbang kayak gitu mending Ade Rai aja kan sekalian?" respon Elan menghapus setitik air mata yang terbit di pelupuk matanya.
"L, Laksanakan, brooo!" jawab Nala berusaha untuk bersikap "sok asik" saja. Ia tidak mau sampai "mengecewakan" perasaan Elan yang (mungkin sedang berusaha untuk) menghibur dirinya.
Aaahh, baik sekali anak gila itu. Tak bisa dibayangkan bagaimana perasaan Nala sampai membayangkan apabila mereka tidak bisa lagi "bersama".
Tok tok tok.
"Tuan Muda Nala, ayam kaepci-nya sudah sampai. Sesuai yang Tuan Muda Nala pesan juga ditambah dengan burger keju besar, kentang goreng, Coca cola, dan enam buah nasi," beritahu salah satu pembantu perempuan yang bekerja di kediaman keluarga Widagda.
Nala segera turun dari kasur untuk menghampiri pembantu perempuan itu dan mengambil ayam goreng junk food (ditambah dengan pesanan lainnya juga) yang sudah ia pesan. "Terima kasih, Mbak," ucapnya lembut serta ramah. Etika yang bernilai tinggi sekalipun dialamatkan pada orang yang memiliki kedudukan di bawahnya.
Gadis itu tersenyum tersipu. Membalas, "Sama-sama, Tuan Muda Nala. Selamat makan ya sama temannya. Semoga langgeng, Tuan Muda," doa gadis itu.
Langgeng? Ada-ada aja pilihan katanya nih orang. Sampai ada orang lain yang dengar kan bisa jadi salah paham. Dia kira si Elan ini siapa aja, batin Nala. Meski berpikir seperti itu ia menjawab, "Saya juga berharap untuk hal yang sama. Terima kasih banyak."
Elan sudah menunggu sambil lesehan di karpet bulu wol berwarna putih yang sangat lembut dan empuk di space kosong kamar Nala saat anak itu kembali. Perut Nala sendiri sampai merasa sakit karena berusaha menahan tawa kala melihat Elan (si anak udik bin kampungan itu) tampak sangat terpana bin tersepona saat melihat Sang Makanan Junk Food yang telah sekian lama ia dambakan. Ia impikan serta harapkan.
Ahh . . . pada akhirnya berhasil juga aku dapatkan, batinnya bahagia gemah ripah loh jinawi.
"Ini benar-benar makanan yang luar biasa. Belum dicoba aja gue udah tau kalau ini pasti amat sangat mantap dan juga sedap. Wanginya biji gilee enak banget. Gue sangat bersyukur bisa memakannya sebelum menjadi mayat. Terima kasih banyak, Nala si remaja kerad. Terima kasih banyak, Tuhan Yang Maha Kuasa atas segala nikmat," ucapnya (berlebihan sekali) bahkan sampai berderai air mata.
"Kalau lo kebanyakan ngomong terus mati lo ga bakal jadi nyicipin makanan itu. Jadi, buruan makan!" suruh Nala. Menjejalkan sebuah ayam goreng bagian paha bawah ke mulut Elan.
Kressh kressh kressh kressh kressh kressh kressh. Glek.
"HUUWEENNAKKHH!" respon Elan tepat setelah mengunyah dan menelan bagian sayap ayam goreng yang rasanya sungguh numero uno itu. Tak pernah ia sangka bahwa terdapat kenikmatan sebesar itu di dunia yang "luas" ini.
Mungkin karena "dunia" yang sudah ia pijak dengan kedua kakinya sendiri itu sangat kecil. Itu kenapa hal "sederhana" seperti itu saja bisa membuat ia sangat bahagia.
"Khi khi khi."
Tok tok tok.
Nala berdiri lagi untuk menyambut ketukan pintu. Ia tak mau mengganggu kebahagiaan teman pertamanya (yang meski tidak biasa, tapi setidaknya sudah berhasil untuk membuat ia juga merasakan kebahagiaan). Cklek. Ia buka pintu. "Ada apa, Mbak?" tanyanya.
Mbak-mbak pembantu itu berwajah kalut. "Nyonya Inaranti memanggil Mas Elan ke ruangannya, Tuan Muda Nala."
"Hah? Elan? Kenapa? Buat apa?" tanya Nala merasa cukup aneh. Apakah ini pertanda hal tidak baik atau malah hal yang buruk?
Gue juga tidak tau apa bedanya.