Kedua anak remaja lelaki SMA itu pun tiba di halte bus dekat rumah Nala. Saat itu hari sudah cukup senja. Ketika turun dari bus. Baru Nala menyadari wajah teman barunya benar-benar berubah! Ke mana pemuda cool bertampang lumayan intelek yang juga lumayan ganteng barusan? Wajahnya saja tadi itu sudah seperti anak blasteran super ganteng yang biasa direkrut oleh agen pencari bakat untuk bermain di dalam sinetron atau Film Televisi alias FTV. Yang ada di depannya saat ini hanya seorang anak remaja ababil dengan kacamata tebal yang kelihatan sangat... kampungan sekali udik payah atau yang biasa disingkat sebagai kamseupay. Kalau di kartun ia akan digambarkan sebagai orang culun punya yang mengenakan kacamata. Tapi, yang terlihat dari balik kacamatanya hanya lingkaran seperti obat nyamuk atau angka tiga. Seperti inilah kira-kira...
(3)_(3)
Nala pun melambai-lambaikan telapak tangannya di depan wajah Elan. Ia bertanya, "Whoooyyy, apa lu masih bisa ngeliat gue?"
Elan mengacungkan jempol yakin. "Santai. Kacamata ini walau bentukannya memang sama sekali belum estetik, tapi udah lumayan membantu. Gue lupa pakai dan bawa obat tetes mata untuk meringankan gejala rabun senjanya."
Mendengar jawaban itu Nala sih baik-baik saja. Kedua anak remaja itu pun berjalan menuju rumah Nala yang terletak di dalam g**g yang cukup kecil. Walau wajah anak itu berubah. Sikapnya sama sekali tak berubah. Sama dan terus saja berbicara seperti perempuan. Warna t*i kucing, kondisi tempat pembakaran sampah, genteng tetangga yang kelihatannya sudah lapuk, semua dia bicarakan dengan semangat. Hal itu membuat Nala sangat . . . senang. Sebenarnya. Belum pernah ada orang yang tertarik berbicara sebanyak ini padanya sebelumnya.
Dengan sikap yang asyik dan menyenangkan seperti itu kelihatannya Elan pasti anak yang cukup populer. Walau aneh, dia pintar dan punya pengamatan tajam akan segala hal. Dari seragamnya saja kita sudah tau jika anak aneh itu bersekolah di Senna Academy yang super duper elit. Dan hanya diperuntukan hanya untuk para anak yang sangat pintar.
Kenapa dia mau temenan sama orang nyaris bun*h diri kayak gue, ya, tanya Nala dalam hati. Sepanjang pengalaman yang ia punya. Manusia "normal" seharusnya paling tidak suka pada hal-hal yang berbeda. Terlalu mencolok. Ya contohnya yang seperti dia.
Keduanya sampai di pintu kecil yang terdapat di pagar batu yang sangat panjang. Elan langsung bereaksi norak dan berlebihan, "WHUUUUU!!! Apakah ini benteng Takeshi? Kenapa pagarnya besar sekali? Waahh waahh waahh," ia menatap takjub.
"Ah, diam, dong!" pinta Nala sembari mencengkram dahi dengan raut wajah depresi.
Keduanya pun masuk ke dalam gerbang itu. Disambut oleh dua orang satpam kediaman keluarga Nala.
"Tumben sekali Anda bawa teman, Tuan Muda Nala," tanya salah satu satpam.
Nala melirik Elan yang sedang takjub melihat bagian dalam pagar itu sampai menutup mulut dengan kedua tangan.
Sungguh sangat memalukan.
"Dia bukan temen saya. Cuma kucing kelaparan tanpa tuan yang saya nemu di jalan," jawab Nala dengan suara datar.
Satpam yang satu menghampiri keduanya. "Temennya disuruh ngisi buku tamu dulu, Tuan Muda Nala," pintanya.
"Oh iya juga, ya," sadar Nala.
Elan langsung bereaksi norak, "Buku tamu??!!! Ini rumah apa kantor camat? Apa hotel? Apa acara resepsi nikahan? Gue ini sebenernya mau main atau ngelamar kerja disuruh isi buku tamu segala? Nala?" tanya anak itu malah jadi heboh sendiri.
Nala menepuk dahi. Pok. Tampaknya kedua satpam yang bekerja di kediamannya sudah menyadari betapa aneh manusia yang baru ia bawa pulang.
Satpam Satu menjawab, "Ini untuk data saja, Dek. Tidak apa-apa, kok."
"Diisi pakai nama asli yang lengkap ya, Dek," lanjut satpam yang lain memberitahu. Kita sebut saja dengan Satpam Dua.
Elan meraih pulpen dan buku tamu yang disodorkan oleh satpam itu. "Oke, oke, oke." Ia menulis "Elvano Britt S." di kolom nama. "Stasiun MRT" di kolom asal. "Main" di kolom keperluan.
Satpam yang melihat isian Elan mengoreksi, "Nama akhirnya jangan disingkat, Mas."
"Oh gitu. Tulis aja Sommerhail," pinta Elan.
Satpam itu mengoreksi lagi, "Stasiun Mass Rapid Transit? Adeknya ini kerja di stasiun apa bagaimana? Tukang sapu?" tanyanya.
"Ehmm," Elan sampai bingung sendiri untuk memikirkan bagaimana cara menjawab pertanyaan semacam itu. Bagaimana juga ia bisa sampai dikira seorang tukang sapu, sih?
Satpam yang satunya menambahkan, "Mohon tinggalkan data diri resminya ya, Dek."
Elan cengengesan. Ia membatin, buset dah, ini istana presiden apa? Mau main aja ribet amat.
Nala langsung menarik ransel Elan menjauh dari pos satpam. "Dia sekolah di Senna Academy, Pak. Jangan tanya-tanya lagi, ya."
"Ee he he he, beritahu sejak tadi, kek," balas Pak Satpam Dua tersenyum manis kinyis kinyis.
"Woooooohhhhh!!!" pekik Elan menyaksikan bangunan rumah Nala yang cukup jauh dari gerbang. "Ternyata lu anak orang kaya, ya. Ternyata ohh ternyata..."
Nala menaikkan sebelah alis. I, Ini orang kampungan amat, sih. Dia beneran baru turun gunung apa gimana, ya.
Beberapa lama Elan hanya berdiri. Mengagumi pemandangan rumah Nala yang dibangun dalam gaya vernakular abad pertengahan. Seperti terinspirasi oleh Little Takeham yang dibangun oleh arsitek Inggris terkemuka: Sir Edwin Lutyens di West Sussex, Inggris.
"Lu mewujudkan satu impian gua lagi, Nala," ucap Elan. Masih berbinar. "Makasih banyak, yak," lanjutnya.
"Apa, sih?" tanya Nala sok tidak peduli.
"Bisa tidur di rumah berarsitektur abad pertengahan Eropa!" sahut Elan ceria.
G, Gue gak tau. Tapi, kayaknya orang yang sehari-hari tinggal di kontrakan kecil juga gak bakal sangat norak seperti ini deh kalau lihat rumah gue. Anak ini benar-benar...
"Ini cuma rumah tua," beritahu Nala merendah.
"Iya deh, iya, iya," balas Elan.
"Jangan lebay karena ga ada yang istimewa dari ini semua," lanjut Nala semakin "merendah".
"Rumah ini dibangun abad ke berapa?" tanya Elan antusias.
"Mana gue tau, b**o. Eyang Wareng (kakeknya kakek dari orang tua) gue itu semacam tuan tanah di daerah sini. Makanya dia bisa bangun rumah seluas ini," beritahu Nala.
"Hhhmmm, lu mirip sama seseorang yang terlintas di dalam kepala gue. Kaya karena keturunan. How lucky. Sangat beruntung," ucap Elan sambil memegang dagu.
"Siapa? Keluarga Senna? Yahh, mirip, sih. Orang-orang yang orang kira cuma hidup seneng-seneng dan foya-foya sama harta yang diturunkan oleh leluhur mereka," respon Nala.
Wajah Elan yang santai dan bodoh tiba-tiba berubah jadi sangat serius. "Gue sangat membenci mereka lu tau. Gue kesel setengah mati karena harus sekolah di sekolah mereka. Bener-bener palsu."
"Emang kenapa...? Apa alasannya?" tanya Nala.
Elan kembali tersenyum canggung. "Eehh, kenapa jadi ngomongin itu, sih? Ha ha ha."
Keduanya pun melanjutkan perjalanan.
+++++++
Di ruang tamu kediaman utama keluarga Widagda. Elan kembali menunjukkan sikap yang sangat norak. Atau disebut udik juga tidak akan berlebihan. Menatap lantai berlapis karpet berkualitas tinggi. Hiasan dinding gaya vintage bak hiasan rumah para bangsawan Eropa abad pertengahan: lukisan-lukisan klasik juga beberapa buah pedang dan perisai yang tampak tua. Dinding yang tidak disemen menampilkan batu-batu yang menjorok ke luar dengan segala tekstur alaminya. Kesan Eropa abad pertengahan yang memiliki atmosfer begitu sakral serta kental.
"Ya Allah, akhirnya mimpi hamba terwujud juga. Meski hamba belum mampu membangun rumah seperti ini," komentar Elan kagum. Wajahnya tampak semangat saat menelisik setiap bagian dari interior rumah itu.
Nala diam saja menyaksikan segala sikap norak anak remaja itu. Seperti sudah terbiasa. Ia taruh sebuah cangkir berisi teh di atas meja ruang tamu. "Silahkan diminum suguhannya," ucapnya.
Kedua mata Elan kembali sparkling shimmering splendid kala melihat teh dalam cangkir. Ia bertanya semangat, "Apa ini Earl Grey tea? Ceylon tea? Chamomile tea? Darjeeling tea?"
"Itu cuma teh Sisri," jawab Nala datar.
"Aaahha... gak apa-apa, deh. Rasain aja seolah Earl Grey," respon Elan pasrah.
"Kalau udah cepet, yuk. Biar gue tunjukin jalur-jalur utama di rumah ini. Biar lu nanti nggak sampai nyasar," beritahu Nala.
Langsung ia tenggak cepat teh Sisri di salam cangkir di tangannya. Ia membalas semangat, "Ayo!"
+++++++
Kedua mata Elan masih berbinar melihat arsitektur dan interior rumah Nala yang menurutnya sangat berseni. Tak ubahnya sebuah museum. Atau istana malah. Nala menunjukkan jalan jalan protokol di dalam mansion itu. Sisanya hanyalah jalan jalan kecil yang rumit dan menuju ruangan-ruangan khusus. Ruangan ruangan yang biasa dipakai seperti: ruang rapat, ballroom, ruang tamu, ruang makan besar, bioskop, dan sebagainya terdapat di jalan protokol ini.
Elan menatap heran. Ia bertanya, "Ruang rapat? Ballroom? Ini rumah apa balai rakyat?" tanyanya dengan tatapan heran.
"Udah gue bilang. Leluhur gue orang yang lumayan berpengaruh di daerah sini. Hampir semua generasi lama di daerah ini pun sangat mengenal nama beliau. Pada dasarnya lingkungan ini kan hanya sebuah perkampungan. Bangunan ini pun sering disewakan untuk kepentingan masyarakat sekitar. Itu kenapa para satpam biasa meminta tamu untuk mengisi buku tamu. Halaman rumah setiap bulan suci dan hari raya pasti juga penuh karena dipakai untuk sholat teraweh dan juga sholat Ied," terang Nala.
"Apa nggak merasa terganggu? Pada akhirnya lu lebih seperti tinggal di suatu tempat 'umum', 'kan? Semua orang pasti mengenal lu dan keluarga lu dengan baik. Membuat setiap kesalahan kecil akan jadi sulit untuk di toleransi," tanya Elan. Ia menyimpulkan, "Itu sih yang gue pelajari dari karakteristik sebagian besar masyarakat di negara ini. Mereka hanya ingin menyukai manusia sempurna yang separuh dewa."
Nala tertegun sejenak. Ia pun merespon, "Terganggu juga mau apa? Tugas dari para keturunan adalah melanjutkan sesuatu yang sudah jadi tradisi dari leluhurnya."
"Kalau kesimpulannya seperti itu . . . kelihatannya lebih enak jadi keturunan orang yang biasa aja, yah," ucap Elan. Tatapannya tiba-tiba jadi tampak sangat suram. Dan mengerikan.
"Lu sendiri anak orang kaya, 'kan?" tanya Nala untuk memperbaiki suasana yang mulai muram. Ia sendiri menyadari hal itu setelah mengajak Elan memasuki bangunan mansion. Tingkah laku norak dan kampungan yang sejak tadi ia tunjukkan mulai tampak mengada-ada. Pengetahuan yang anak remaja itu punya soal berbagai jenis teh yang biasa dinikmati kaum borju saat afternoon tea juga.
Elan jadi tersenyum canggung. "Ohh ho ho ho, bukannya seperti itu. Gue ini hanya anak biasa. Manusia biasa. Sama sekali tidak seperti yang lu bayangkan."
"Kalau tidak mau cerita juga tidak apa-apa, sih. Sekolah di Senna Academy itu mahal, 'kan?" kulik Nala. Belum menyerah mencari tahu identitas teman barunya yang "cukup" tidak biasa.
Elan mengeluarkan sesuatu dari dalam saku blazer. "Kalau masalah itu sih karena ini," ia memberitahu.
Ganti Nala yang terbelalak. Mesin kecil yang dipegang Elan adalah alat pengacau jaringan portabel. Mesin temuan yang memenangkan kompetisi Penemu Muda Muslim ASEAN yang diadakan satu tahun lalu di Brunei Darusalam.
Sekarang malah Nala yang terlihat norak sekali. "J, J, J, Jangan-jangan lu itu..."
Elan tersenyum polos. "Ee he he he, iya. Gue mendapat beasiswa penuh untuk bersekolah di sana dari Grup Senna karena telah berhasil membuat Sekolah Menengah Atas Senna Academy memperoleh kemenangan di dalam kompetisi itu. Tapi, hanya itu. Gue hanya anak biasa yang tidak ada bedanya dengan para rakyat jelata."
Nala membatin, cih, rakyat jelata dia bilang. Dia pikir dia pangeran apa. "Jadi, karena alasan itu lu bisa dengan sangat percaya diri bilang kalau hanya lu yang punya rekaman video memalukan kita di stasiun. Lu pasti mengacaukan jaringan ponsel pintar semua orang dan membuat mereka gak bisa merekamnya.
"Boleh juga, oleh juga, boleh juga," "puji" Nala.
"Di kompetisi itu sekolah lu Spebius Academy mendapat posisi kedua. Hal itu akhirnya semakin memperkeruh persaingan di antara sekolah kita," ucap Elan mengenang.
"Kompetisi itu kan diadakan setelah lu jadi siswa di Senna Academy. Tapi, bagaimana awalnya lu bisa sampai sekolah di sana?" tanya Nala lagi, "Biaya pendaftaran di institusi pendidikan Senna Academy aja tuh setau gua udah cukup mahal. Belum lagi uang gedung dan yang lainnya."
Tampang Elan tiba-tiba jadi sangat canggung. Ia meminta, "E, E, Eh, bisakah kita hentikan percakapan soal ini? Ini sedikit..."
Nala menatap mata teman barunya dengan serius. Ia membalas, "Nggak. Itu adalah balasan karena gue udah ngizinin lo nginep di sini malam ini. Karena setau gue yang bisa sekolah di sana hanya anggota klan Senna, para anak anggota dewan dan presiden, para anak anggota kongres, para anak konglomerat dari berbagai macam perusahaan besar, dan yang sebangsa itu. Berarti lu pasti salah satu dari yang gue sebut barusan, 'kan?" tanyanya.
Elan tersenyum dengan sarkastis. Memegang dagunya yang tirus. "Hmm. Yang mana, ya?"
+++++++
Siapa anak itu sebenarnya? Apa yang anak itu inginkan sebenarnya? Siapakah ia? Apakah merupakan pilihan yang paling baik untuk Nala membawa "kucing liar" itu pulang? Bahkan mengizinkan ia untuk menginap di rumahnya.
Apa semua akan jadi keputusan yang benar? Atau malah hanya akan menambahi alasan yang buat pemuda itu ingin mengakhiri hidup saja?