Nala menarik kerah pemuda itu menuju suatu halte di dekat sana yang tidak ada orangnya. Ia jorokkan tubuh anak remaja laki-laki tidak waras itu ke dinding. Bruaakk!
"Hee hee hee hee hee hee hee..."
Sialan, pemuda sinting itu malah tersenyum lebar ngajak ribut. Niat "sederhana" Nala untuk bunuh diri seketika berubah jadi niat untuk bunuh orang.
"LU ITU SIAPA, b*****t?!" tanya Nala setengah berteriak agar tak memancing atensi dari orang yang sedang melangkah di dekat sana.
"Oh, mari kita berkenalan. Perkenalkan nama gue Elan," jawab anak tidak waras itu santai dengan wajah yang tersenyum cerah ceria bahagia seribu satu watt.
"Lu nyari mati ya bertindak kayak tadi?!" tanya Nala masih emosi. Satu tangannya menunjuk-nunjuk ke arah stasiun.
Elan mengangkat kedua tangan. "Mana ada gua cari mati. Yang mau cari mati kan elu," tunjuk anak remaja itu balik ke wajah Nala.
Santai.
Nala langsung membatin, i, itu emang bener, sih. "Terus ngapain lu bertindak kayak tadi? Ya ampun, rasanya gue pengen lompat ke dalem sumur waktu lo ngeracau kaya gitu di depan orang banyak. Gimana hidup gue setelah ini, Ya Allah??!" ratap Nala.
Elan tersenyum. "Alhamdulillah. Ternyata lo masih mikirin masa depan. Berarti keputusan lo tadi itu cuma pikiran sesaat."
"Iya, iya, iya, emang cuma pikiran sesaat. Terus ngapain lo muncul di hadapan gue lagi? Mau nyari mati di tangan gue?" tanya Nala emosi. Berlagak ingin menonjok wajah Elan.
Elan meringis kecil. "Khi khi khi khi khi khi khi. Habis gue gak mungkin ninggalin orang yang habis pengen bunuh diri sendiri. Keliatannya lo juga gak punya temen. Hubungan sama orang tua pasti buruk. Kehidupan di sekolah terkucilkan. Gue rasa lo bukan anak b**o. Hhhmmm," analisa ana remaja laki-laki itu seraya memegang dagu.
"D, Dari mana lo menyimpulkan semua itu? Kita baru ketemu satu kali, 'kan?" tanya Nala. Mulai merasa ngeri.
Elan tertawa sambil menggaruk belakang kepala, "Eh he he he, gue nebak aja, sih. Habis kayaknya gak mungkin anak yang g****k baca buku Filsafat Ilmu: Sebuah Pengantar Populer Keterkaitan Ilmu, Agama dan Seni yang ditulis oleh Jujun S. Suriasumantri sampai bab yang membahas tentang . . ."
Nala mulai merasa terancam! Anak berwajah ramah di depannya pasti psikopat yang sekelas Dr. Hannibal Lecter dari novel Hannibal! Atau karakter Dullahan the Grim Killer dari novel Code Phoenix! Kedua tokoh itu sama-sama jenius dan sangat manipulatif. Saat itu sepertinya Nala harus siap untuk kemungkinan yang paling buruk: hidupnya tak berakhir di tangannya sendiri. Tapi, tangan seorang psikopat berdarah dingin.
"Muka lu kenapa jadi aneh gitu?" tanya Elan tenang.
"Kenapa lu bisa tau sejauh itu tentang gua? Siapa lu sebenarnya? Gua gak lagi main film atau dijebak di acara prank, 'kan?" tanya Nala balik. Melirik ke sekeliling mencari mungkin saja ada kamera. Ia sangat ketakutan. Ia bisa membayangkan hidupnya setelah ini akan dipenuhi teror. Dan juga darah.
Anak remaja laki-laki bernama Elan itu mengangkat kedua telapak tangannya ke udara. "Gue hanya ngeliat lu baca buku itu. Kebetulan penglihatan gue ini cukup baik. Jadi, bisa melihat lu memberi tanda di halaman berapa. Setelah itu lu bersikap cukup aneh. Wajar dong gue langsung curiga lo mau melakukan hal yang gak wajar."
Nala langsung membatin, lu yang gak wajar, kamvret!
Elan memegang dagu. "Setelah itu gue pun mengawasi lu cukup lama. Sampai akhirnya lu berlari ke arah kereta yang sedang melaju. Itu sangat bahaya, lho."
"Oke, gue akan pulang sekarang. Tolong jangan ikutin gue," pinta Nala sehati-hati mungkin.
Elan langsung merangkul pundak kaku Nala tanpa ragu. "Aha ha ha ha ha ha ha, ngomong apa lo? Gue harus memastikan lu baik-baik aja sampai mental lu kembali stabil."
"Lu mau ngapain?" tanya Nala horor.
Jawaban Elan lebih horor, "Nginep di rumah lu."
"NO WAYYY!" pekik Nala.
"Why? Kenapa?" tanya Elan heran. Reaksi anak itu berlebihan sekali.
"Lo pasti beneran psikopat. Tolong gue. Gue udah berusaha hidup dengan lurus dan baik. Tapi, berbagai macam hal baik nggak kunjung terjadi dalam hidup gue. Gue sudah hidup dengan cukup susah dan banyak masalah. Tolong jangan ditambah-tambahi!" pohon Nala sampai membungkuk-bungkuk.
Elan mengangkat gawainya. Tersenyum menyeringai. "Kalau lo menolak. Akan gue sebarkan video memalukan di stasiun barusan."
Dia ngancem???!!! Eh, tapi kan... "Sebarin aja. Yang ngerekam barusan juga banyak."
"No, no, no. Hanya gue yang punya rekaman ini. Carilah di mana pun di internet kalau lo bisa nemuin akun yang memposting video itu," tantang Elan.
Nala langsung memeriksa gawainya sendiri. Semua sosial media yang ia miliki ia periksa. Tagar soal kejadian yang menimpa dua remaja "homo" gila di stasiun harusnya menyebar dengan cepat.
Tidak ada. Tidak ada. Tidak ada. Sama sekali tidak ada!
Tapi, ini belum bisa dijadikan jaminan. Lagian ucapan anak gila yang kelihatan sedikit pintar itu mana bisa dipercaya, sih.
"Nggak, nggak, nggak bisa. Gue bakal ngelaporin lo ke kantor polisi," ancam Nala balik.
Elan mengerucutkan bibir. "Apa gak bahaya, tuh? Kelihatannya bokap lu orang yang cukup punya kedudukan. Apa lo yakin mau mempertaruhkan hal itu hanya karena nggak bersedia ngizinin gue nginep di rumah lo?"
Kesua mata Nala terbelalak tak percaya. "Dari mana lo bisa ta..."
Elan membatin, cuma nebak, sih. Kelihatan sebenarnya dari tindak tanduk dia kalau bukan anak orang biasa. Untung aja bener. "Gue hanya ingin memastikan bahwa lu baik-baik aja, kok. Gue gak ada maksud lain. Izinin gue nginep di rumah lu, yaahh," pohonnya. Merajuk manja. Sekaligus buat merinding.
Apa yang anak itu inginkan sebenarnya? Siapa ia? Apa yang ia rencanakan? Terlalu banyak pertanyaan berkecamuk dalam benak Nala. Membuat satu lembar halaman kertas HVS pun rasanya tak akan cukup untuk menampung semuanya.
Gila.
"Eh, tapi..."
Tiba-tiba pandangan Nala berubah. Dari pemuda psikopat sekelas Dr. Hannibal Lecter atau Dullahan the Grim Killer. Anak remaja laki-laki itu kini tampak jadi seperti bocah menyedihkan yang tak tau arah jalan pulang.
"Ayolaaahhhh, Nalaaaa. Gue gak bisa biarin orang yang mau bunuh diri sendirian di kamarnya terus tau-tau mati. Itu akan sangat mengerikan," rajuk Elan lagi seraya menarik salah satu pergelangan tangan Nala.
"Gue gak mau pulang, kok. Gue pengen jalan-jalan dulu di taman." Aduh, gue ngomong apa sih sama anak gila ini, batin Nala malah berakhir bingung sendiri.
"Biarkan gue nginap di rumah lo malam ini aja, Nala. Gue akan memberikan lo apa pun yang lo mau," tawar Elan percaya diri. Seolah yakin dirinya bisa memberi apa saja yang remaja lelaki di depannya inginkan.
Kenapa ucapan anak ini jadi terdengat semakin aneh, sih? Apa normal untuk membiarkan orang yang gak dia kenal nginep di rumahnya? Seumur hidup belum pernah ada temen yang nginap di rumah gue. Seneng, sih. Tapi, aaaarrrggghhh!!!
Galau, batin Nala gamang.
"Boleh ya, Nala..." tatap Elan dengan tatapan mata berkaca-kaca.
Dan entah bagaimana sampai akhirnya Nala pun setuju untuk mengizinkan anak aneh itu menginap di rumahnya.
Skuy.
Keduanya naik bus kota menuju rumah Nala. Yang mengejutkan anak remaja bernama Elan itu. Mengaku bahwa itu merupakan kali pertama untuk dirinya menaiki bus kota di negara inj. Biasanya ia hanya naik kereta ke mana pun juga karena rumahnya dekat dengan stasiun. Selain itu juga sepanjang perjalanan... anak itu sangat berisik. Ia menanyakan banyak hal. Dan membicarakan hampir segalanya. Tentang keadaan kota. Sampai hal-hal tentang fenomena antariksa. Tak peduli bagaimana Nala tak sekali pun juga memperdulikannya. Ia terus bicara. Kata-katanya sudah bagaikan aliran air yang menemukan ajal di air terjun.
Nala melirik pemuda sinting yang sudah tak lagi terasa mengancam itu. "Lu gak capek apa, El? Ngomong terus kayak burung beo," tanyanya heran.
"Hah? Capek? Capek kenapa? Apa itu capek? Aha ha ha ha ha ha ha ha ," tanya Elan balik dengan raut ceria dilanjutkan dengan tertawa. Yang cukup freak juga sebenarnya.
Tanpa sadar Nala malah tersenyum kecil. Orang gila yang sempat ingin ia habisi ini... entah mengapa tiba-tiba jadi terasa cocok dengannya.
"Tau gak, sih? Gue tuh pengeennn banget makan ayam kaepci. Penasaran gitu kan temen-temen sekolah gue pada makan semua enak banget gitu dah kelihatannya. Kress kress kress.Terus gue nanya ama orang tua gue. Boleh gak gue makan ayam kaepci. Lo tau mereka bilang apa?" tanya Elan semangat.
Nala merespon dengan tidak semangat, "Bilang apa?" tanyanya balik. Agar anak di dekatnya senang saja, deh.
"Mereka bilang itu junk food. Makanan sampah. Eeeyuuuhh, dalam kepala gue langsung terbayang sampah kulit pisang ama biji pepaya busuk yang diblender terus dibentuk ayam. Dilumuri tepung terus digoreng pakai minyak jelantah," jawab Elan. Anak itu langsung berlagak seolah akan memuntahkan isi perut, "Howeekk!"
Nala tertawa kecil, khi khi khi. "Lo nih tinggal di atas gunung apa? Masa belum pernah makan atau tau soal junk food?" tanyanya kalem.
Elan menggeleng dengan wajah polos. "Nggak. Tepatnya... sama sekali enggak pernah."
Gimana mungkin orang kayak dia masih bisa tersisa di dunia ini, batin Nala. "Nanti kalau udah sampai rumah gue. Kita pesen junk food yang banyak, dah. Biar lo gak katrok lagi," beritahunya.
Kedua mata Elan langsung berbinar. "Sumpah? Kita bisa makan junk food? Ya Allah alhamdulillah banget, yah. Gue bahagia deh akhirnya bisa makan junk food sebelum mati. Gue gak akan bisa melakukannya kalau gak ada lo, Nala. Gue hutang nyawa sama lo," ucap Elan serius seraya memegang kedua tangan anak remaja lelaki di depannya.
"Heehh, terserah lu aja, dah. Tapi, lo bisa ngelihat tulisan nama di pin blazer gue dari jarak sejauh itu. Penglihatan lo pasti bener-bener tajam, ya," "tanya" Nala.
"Iya, tapi gue punya rabun senja. Kalau udah sorean dikit wajah gue yang tampan rupawan seperti keturunan Nabi Yusuf ini akan ngeblur," beritahu Elan sedih.
Apa hubungannya, sih? Nih orang emang dah emang aneh banget, khi khi khi, batin Nala bahagia. Elan. Dengan segala sikap gilanya. Entah bagaimana telah berhasil untuk mengembalikan semangat hidup anak remaja laki-laki itu yang hampir saja sirna.
Ahh, enak sekali jadi orang yang hidupnya terlihat mudah seperti dia, batin Nala kala melihat wajah polos (dan norak) remaja lelaki di sampingnya.
Dan saat itu Nala pun berpikir. Tidak peduli apa pun alasan Tuhan mempertemukan mereka hari itu. Terlebih lewat suatu cara yang cukup unik. Semua pasti karena telah direncanakan oleh takdir.
Pasti ada banyak hal baik yang terjadi jika manusia terus percaya, pikirnya dalam hati. Berharap euforia "ini" tak akan pernah berakhir begitu saja.
Semoga saja.
Apa semua akan benar-benar berjalan dengan baik seperti yang ia harapkan? Apakah merupakan keputusan benar . . . untuk tetap bertahan hidup karena anak sinting yang menyelamatkannya dengan cara yang benar-benar tidak biasa?
Aaaaargh, banyak omong! Kita lihat saja, lah!