I do really sorry for what I have done.
Duì bù qǐ.
Mujhe kshama karen.
매우 유감이에요 (maewu yugamieyo).
Ich muss mich entschuldigen.
Je vous demande pardon.
Mi dispace.
Saamihnii.
Moushi wake gozaimasen.
Het spijt me.
Sinto muito.
Ya proshu proscheniya.
Lo siento.
Aku sangat minta maaf.
+++++++
Saat mulai mempelajari suatu bahasa. Anak remaja laki-laki itu pasti akan mengawali dengan mempelajari kalimat yang digunakan bahasa tersebut untuk meminta maaf. Semua itu tidak lain dan tidak bukan karena ia sendiri sangat sering meminta maaf. Bahkan tidak akan berlebihan jika dibilang hampir selalu meminta maaf. Karena ia memiliki kesadaran diri yang "tinggi". Sebagai seorang manusia. Yang namanya berbuat salah seolah sudah jadi tabiat utamanya. Itulah mengapa ia selalu meminta maaf dengan rendah hati pada semua orang yang ia rasa sudah ia lukai. Entah karena sengaja maupun tidak. Benaknya selalu saja diliputi oleh rasa khawatir pada tindakan yang ia lakukan. Yang tanpa sadar melukai hati seseorang.
Ia khawatir akan dimintai pertanggung jawaban yang tidak ia inginkan di akhirat atau alam kematian kelak.
Ia adalah seorang anak remaja laki-laki yang nyaris selalu saja merasa parno pada perasaan orang lain. Ia hanya ingin membuat semua orang bahagia! Ia hanya ingin membuat semua orang merasa terpuaskan! Itu adalah impiannya. Keinginannya yang paling "besar". Dan maaf adalah bekal yang selalu ia bawa dan ingat. Untuk sedikit demi sedikit mewujudkan mimpi (yang sebenarnya kita semua tau bahwa sangat tidak mungkin) nya itu (bahkan lebih tidak mungkin mewujudkan mimpi seperti ini ketimbang dengan mewujudkan mimpi membangun koloni kehidupan di dimensi lain).
Tahun ini usianya sudah menginjak tujuh belas tahun. Sama artinya dengan seratus empat puluh sembilan ribu koma enam belas (149,016) jam. Enam ribu dua ratus sembilan (6209) hari. Delapan ratus enam belas (816) minggu. Dua ratus empat (204) bulan. Dan ia mulai menyadari kesalahan besar yang telah sekian lama ia lakukan.
Karena... pada kenyataannya memang tak akan pernah ada jalan untuk membahagiakan semua orang, bukan? Tidak pernah menyakiti mereka. Dirinya yang aneh dan tidak normal itu bahkan tak pantas melakukan hal semacam itu.
Rasa sakit dan penderitaan bagai tumbuhan merambat beracun yang terus tumbuh, hinggap, dan menyebar dari hati menuju sekujur kesadarannya.
Ia telah sekian lama ditelan oleh kegelapan dan juga kemunafikan. Tipikal horor psikologis yang terus membuat ia merasa melihat setan sekalipun tengah berada di tengah kerumunan orang.
Dirinya yang... sangat aneh. Dan juga selalu saja dianggap sebagai manusia yang tidak normal. Memang lebih baik lenyap saja dari dunia ini.
Iya, 'kan?
Mungkin dengan begitu maka semua orang "di dunia" inu akan merasakan kebahagiaan yang selalu ia harapkan. Impikan selama hidup.
Ha ha ha ha ha ha ha ha ha ha!
"Ayo kita mati saja, Ragnala Widagda," ucap anak remaja laki-laki itu seraya menyentuh permukaan datar cermin di toilet sekolahnya dengan tatapan yang sangat datar. Tidak lagi disinggahi oleh ketakutan pada hal-hal semacam kehidupan setelah kematian, berbagai macam ancam siksaan di dalam kubur, atau bahkan . . . neraka?
Anak remaja laki-laki itu menempelkan salah satu bagian wajahnya ke permukaan cermin. Berbisik dengan suara yang rendah dan juga lirih, "Neraka yang di atas sana dan yang ada di dalam sini," ia genggam dadanya dengan permukaan tangan kanan yang pucat dan lemah. Karena nyaris saja kehilangan seluruh gairah. Ia melanjutkan, "...paling hanya beda di suhunya saja. Tapi, aku sangat yakin kalau perasaan sakit yang terasa semua akan tetap sama." Ia pejamkan kedua kelopak mata. "Tidak peduli di mana pun aku berada... aku akan tetap jadi entitas yang terus merasakan rasa sakit dan juga penderitaan.
"Aku akan tetap berjalan di dalam hembusan badai yang sangat kencang...
"Badai ini... tidak akan pernah reda di mana pun aku berada."
+++++++
Langit tampak cerah. Hari pun terlihat berjalan dengan normal untuk semua orang. Orang-orang yang ingin pulang dari kantor. Orang-orang yang hendak kembali dari sekolah. Para b***k korporat yang sedang berada di dalam perjalanan bisnis. Berbagai macam orang yang mengadu nasib dengan menjajakan barang dagangan mereka.
Semuanya ada. Dan mereka tampak "normal" dengan wajah yang terlihat "bahagia".
Karena sepertinya hanya "kebahagiaan" yang normal untuk kehidupan di muka bumi ini.
Nala sendiri sore itu sedang berdiri di peron suatu stasiun kereta api yang cukup ramai seperti biasa. Kereta api memang merupakan salah satu moda transportasi utama para warga kota. Entah miskin atau kaya.
Masih menggunakan seragam sekolah yang lengkap dari ujung kepala sampai ujung kaki. Tas seragam. Gesper seragam. Dan sepatu seragam. Ia berdiri dengan tatapan mata kosong yang tampak begitu hampa dan tanpa makna. Berdesak-desakan dengan penumpang lain yang ingin naik ke kereta. Kereta datang. Orang-orang langsung menyerbu masuk ke dalam kotak besi itu. Dan berdesak-desakan di dalamnya. Rasanya tulang Nala yang tidak ikut naik saja bisa ikut-ikutan remuk menyaksikan bagaimana lemper besi itu berjalan.
Jugijak gijak gijuk jugijak gijak gijuk jugijak gijak gijuk gijak gijuk jugijak gijak gijuk jugijak gijak gijuk gijak gijuk jugijak gijak gijuk jugijak gijak gijuk.
Akhirnya kini peron telah cukup sepi. Yah, tidak sepi juga, sih. Hanya saja memang sudah cukup lengang untuk memberi ia tempat untuk bernafas dengan leluasa. Kembali memikirkan eksistensi dirinya yang mulai terasa membingungkan. Dipenuhi oleh banyak pertanyaan.
Apakah dia, Ragnala Widagda yang akrab dipanggil dengan nama pendek Nala, memang benar-benar harus ada di dunia ini? Apakah eksistensi seorang Ragnala Widagda memang dibutuhkan oleh orang lain? Ia, terkadang, sangat ingin menyambut ucapan yang terus bersahutan di dalam kepalanya.
Mati sajalah . . .
Matilah saja...
Tidak perlu dipikirkan berulang kali, ini sudah pasti keputusan paling finalee.
Enyahlah saja sudah dari atas dunia ini!!!
Agar semua orang bahagia. Agar semua orang merasa puas dan tentram hati.
Kereta selanjutnya tampak tak lama lagi akan segera tiba. Bentukan lemper besi itu sudah terlihat di kejauhan. Semakin bergerak mendekat. Nala telah bertekad. Ia sengaja pergi ke stasiun meski dalam keseharian lebih terbiasa menggunakan angkutan umum bus memang hanya untuk tujuan ini.
Hanya demi tujuan ini!
Membahagiakan semua orang. Impian yang terkadang berada di luar nalar.
Semua orang kau bilang?
Ia jatuhkan tas punggungnya. Bruukh. Ia berlari cepat menuju tepian rel. Jika perhitungannya sudah benar. Seharusnya ia bisa melompat tepat sebelum kereta lewat.
Dan...
Mari kita lihat bagaimana impian anak remaja laki-laki itu pada akhirnya akan menjadi suatu kisah nyata!
Drap drap drap drap drap drap drap!
Akhirnya aku bisa bebas, batin anak remaja itu bahagia. Saking bahagianya sampai meneteskan air mata. Air mata yang entah memiliki makna apa.
Ha ha ha ha ha ha ha ha!
Namun, yang terjadi malah...
Grep! Seseorang menahan kerah belakang pakaian Nala dengan cengkraman yang sangat kuat. Padahal menurut perhitungannya yang biasanya akurat disekitar sana saat itu tak ada siapa pun juga. Setelah mencengkram kerah belakang Nala. Siapa pun ia menarik dan menjatuhkan tubuh anak remaja laki-laki itu ke lantai. BRUUKH. Membuat beberapa orang yang menyaksikan kejadian itu langsung mendekat untuk mengerumuni mereka.
"Lepasin gue, b*****t!" berontak Nala sekuat tenaga. Tapi, pegangan pemuda yang ternyata sama-sama masih mengenakan seragam sekolah ini sungguh kuat. Tidak cocok dengan wajahnya yang seperti sedang menahan tangisan. Nala mulai khawatir ia tengah berurusan dengan orang yang tidak waras. Semakin banyak orang-orang yang menonton aksi memalukan mereka. Beberapa bahkan memvideokan dan diposting ke sosial media!
Oh my God...
"Lepasin gue, anjing!" pinta Nala dengan berbisik lebih lirih.
"HUWAAAAA HUWAAAAA HUWAAAAA!!!" tangis pemuda sinting itu tiba-tiba.
Nala jadi semakin panik. Rencana "sederhana" yang sudah ia siapkan sejak dulu kala untuk mengakhiri penderitaan hidupnya kenapa malah membuat penderitaan yang ia alami malah semakin bertambah, sih?
"Lu nangis kenapa, b*****t?! Gua kan nggak habis ngapa-ngapain lu, asw!" tanya Nala emosi jiwa raga. Keceplosan. Sebenarnya ia sama sekali tidak peduli pada alasan pemuda (yang terlihat) tidak waras itu menangis. Tapi, orang-orang yang melihat di sekeliling mereka. Tampaknya memiliki pandangan yang tidak sama. Alhasil hanya melihat dengan tatapan yang tidak begitu bersahabat.
Entah maknanya apa...
Jijik, kah? Heran, kah? Mual, kah? Entahlah.
"Kenapa lo ninggalin guweeeehhh???!!! Kata lo cinta kita abadi. Tapi, apa iniiii???!!!" teriak pemuda (yang kedengarannya benar-benar) tidak waras itu (lagi). Dengan tingkah laku yang bahkan sama sekali tidak pernah terlintas di dalam kepala Nala.
Orang-orang mulai bergunjing dengan tatapan jijik nista bin iihh ga suka gelayyy.
"Nggak, nggak, nggak, ini semua salah paham, Mbak, Mas, Pak, Bu, Dek. Tolong berhenti merekam! Jangan merekam, tolong! Saya sama sekali nggak kenal sama sekali sama orang ini," ucap Nala berusaha menjelaskan pada orang yang menonton kelakuan "menjijikkan" mereka.
Pemuda sinting itu melepaskan pegangannya untuk menghapus air mata. Nala langsung berlari menuju pintu keluar. Bisa bahaya besar sampai ada netizen "super sopan" dari negeri enam dua ini yang tau di mana ia bersekolah. Maka ia lepas blazer seragamnya dan dimasukkan ke dalam tas.
Situasi ini benar-benar tidak waras! Kompor gass!
Gue masih inget banget muka anak remaja b*****t itu. Bakal gue cari dan gue bunuh dia duluan sebelum bunuh diri, tekad Nala dalam hati pada akhirnya. Di upaya bunuh diri gagalnya yang ke... ke... ke... Entah lah sudah yang keberapa kali.
"Halluuuwww!" Seorang anak remaja tiba-tiba muncul dengan melompat ke hadapannya. Melambaikan tangan dengan sok akrab. Dan berwajah sok imut yang seperti minta ditampol pakai tongkat baseball.
"Hah...?"
Siapa lagi sih anak itu SEBENARNYA??!!!