Badai Delvin Pranadipa Senna (I) B

1156 Words
Keduanya seperti sedang berdiri di seutas benang pancing yang terpaut kuat di kedua sisinya. Kalau Saki sampai jatuh, aku juga siap jatuh lebih dalam agar bisa menangkapnya, tekad Delvin. Kalau Kakak sampai jatuh, aku juga siap jatuh lebih dulu agar tak menambahi bebannya, tekad Saki. ....... "Jangan pernah... tinggalkan!"Ini adalah hari libur. Terlihat dari tanggal yang berwarna merah. Dan makin banyaknya manusia yang tengah bersantai. Sejenak melepaskan diri dari kesibukan rutinitas pekerjaan yang kadang terasa begitu mencekik. Namun, “aturan” kehidupan sosial akan hari libur yang seperti itu tidak akan pernah berlaku. Bagi kakak beradik Senna yang tengah serius belajar di study room mereka masing-masing. Dengan ditemani oleh guru pembimbing pribadi mereka masing-masing. Yang telah dipilih melalui seleksi ketat dan berlapis. Untuk mengawasi pendidikan dua kakak beradik yang memiliki citra diri seperti pantulan cermin itu. +++++++ Di ruang Belajar Saki. Guru perempuan bergelar magister matematika itu menatap gadis kecil di depannya dengan tatapan hangat. Ia senantiasa tersenyum dan menjelaskan kembali semua materi yang tidak Saki pahami. Dengan tabah dan sabar. Dengan tabah. Dan juga sabar. Tapi, bo'ong. Dalam hati sebenarnya ia tengah merasakan bara kemurkaan tiada tara. Andai saja gadis cilik GUOO… BHLOOK bin THUU… LUUL di depannya bukanlah seorang anak konglomerat. Yang bersedia membayar jasanya senilai lima puluh juta rupiah untuk satu bulan. Demi pendidikan anak mereka yang sudah tiada harapan ini. Ia pasti sudah… aahh… mantap… Anak yusles kek lo pasti udah gue lempar ke kandang buaya. Ini anak bisa naik kelas pasti karena nyogok ratusan juta, njir. Kalau naik kelas juga nilai raportnya pasti amit-amit jabang bayik naudzubillahimindzalik. Innalillahi wa inna lillahi rajiun Ya Allah. Kok ada sih anak super “cerdas” seperti ini lahir dari orang tua yang perfecto bin numero uno kayak... Ia menatap foto keluarga Senna yang terpampang dengan indah, elegan, dan mewahnya di salah satu bagian dinding ruangan itu. Ayahnya tampan, cerdas, dan kaya raya. Begitu juga dengan ibundanya yang sangat mewakili citra nyonya besar super kaya raya yang memiliki penampilan super mentereng seperti yang biasa ada di drama Korea. ...mereka. Kembali ia lirik Saki yang tampak membutuhkan semedi tujuh hari tujuh malam di gua Hiro hanya untuk menyelesaikan tiga buah soal yang drajat kesulitannya sangat mudah. Heh, jadi pengen nanya ini anak pas ujian di sekolahnya gimana. Tapi, kalau dia dapet nilai jelek bisa-bisa gue dipecat tanpa dibayar lagi. Sabar, sabar, sabar. Orang sabar disayang Tuhan. Saki meletakkan pulpennya di atas meja. "Tolong jelaskan lagi, Bu. Saya sama sekali belum mengerti." Sabar, Bu Guru Yasmin, sabar! Demi lima puluh juta, Bu! "Hayoo, mana yang belum mengerti? Sini Ibu ajari lagi," tanya wanita itu ramah. +++++++ Sementara itu di ruang Belajar Delvin. Karsono, seorang magister matematika berusia dua puluh tujuh tahun. Sedang serius memeriksa jawaban dari latihan materi Statistika yang baru saja dikerjakan oleh anak didik kebanggaannya, Delvin Pranadipa Senna. Biasanya ia akan cepat memeriksa jawaban seperti itu. Tapi, ia tak bisa berhenti untuk sesekali terdiam. Lalu, mengagumi bocah laki-laki di depannya. Bocah yang saat ini sedang menatap pemandangan di luar jendela dengan wajah bosan. "Lama sekali sih, Pak," gerutu Delvin. Dengan tenang Karsono merespon, "Memang kalau sudah selesai diperiksa Delvin mau melakukan apa setelah ini?" tanyanya. Tiba-tiba Delvin menundukkan wajah. "Maafkan ucapan saya barusan, Pak. Saya jadi bersikap tidak sopan karena... karena tidak sabar untuk melakukan sesuatu." Senyum Karsono lagi-lagi mengembang dengan puas. "Tidak apa-apa, kok. Kamu tenang dan santai saja. Delvin kan sudah belajar dengan baik dan jadi anak yang sangat pintar. Lihat, latihannya saja semua mendapat nilai yang sempurna. Jadi, hari ini Bapak akan memberikan Delvin hadiah. Apa yang paling Delvin inginkan sekarang?" tanyanya lembut. Wajah Delvin mendadak berubah malu-malu miauw. "Sebenarnya... saya ingin... saya ingin… aduuh… tidak enak rasanya mengutarakan keinginan saya begitu saja…" Lagi-lagi Karsono tersenyum ramah. Menyadari betapa imut dan menggemaskan anak jenius di depannya. "Apa, Delvin? Katakan saja pada Bapak. Akan Bapak penuhi semuanya. Katakan saja, ya," balasnya lembut. Delvin pun mengangkat wajahnya dengan percaya diri. Ia tatap pengajarnya dengan pandangan mata bulat. Ia menjawab, "Saya ingin Pak Karso dan Bu Cantika secepat mungkin dipecat dari profesi sebagai pendidik kami. Agar bisa saya saja yang mengajar Saki.” Pak Karso sangat syok melihat ucapan dan sikap Delvin langsung berubah 180o dari yang selama ini biasa ia tunjukkan. Ke mana anak didik sempurnanya? Ke mana Delvin yang jenius dan sangat ketat tata kramanya? Di mana? “Ke, Kenapa seperti itu, Delvin?” tanyanya pada akhirnya. Masih berusaha mengatur nafas. Delvin mendekatkan wajahnya ke wajah Pak Karso. Menjawab lagi, “Karena kalian berdua itu... tidak ada gunanya." +++++++ Malam harinya di ruang kerja Rio. Pria duduk di kursi kebesarannya sebagai salah satu kepala keluarga klan Senna. Sementara Danas berdiri di hadapannya. Dengan pandangan tunduk takluk sebagai istri (tepatnya manusia) yang beruntung bisa bergabung dengan salah satu keluarga tertajir melintir di dunia ini. Klan Senna. Tapi, bersama keberuntungan itu bersanding pula banyak kewajiban dan tanggung jawab yang berat. Diantara salah satu kewajibannya adalah untuk melahirkan keturunan yang baik. Serta tanggung jawab untuk membesarkan mereka menjadi yang terbaik. "Kamu tau kan, Sayang? Garis silsilah di keluargaku itu sama sekali tidak mengizinkan adanya gen orang yang kurang cerdas. Apalagi bodoh," buka Rio. "Melihat kondisi adiknya Delvin yang seperti itu... membuat saya sangat tidak habis pikir. Heran saya. Siapa ya yang sudah diturun olehnya? Dia dapat gen sekurang sempurna itu dari mana sebenarnya? Karena tidak mungkin itu dari saya." Danas hanya tertunduk lesu dengan rasa sakit merayapi batin. Rio memegang dagu dengan wajah yang sangat serius. "Delvin adalah seorang anak laki-laki baik yang juga jenius. Dialah anak yang memang harus lahir dengan nama Senna di belakang namanya. Tidak seperti Saki. "Ya Tuhan…" desahnya bak mendapat cobaan hidup seberat alam semesta. "Iya, Sayang. Maafkan aku," pohon Danas. Air mata yang menetes dari kedua pelupuknya langsung ia hapus. Untung saja make up yang ia kenakan hari itu waterproof alias tahan air. Ia lakukan itu agar kesedihan tak sampai tampak di mata suaminya. Yang pasti hanya akan memancing pertengkaran baru. "Delvin jelas lahir dari genetika keluarga kami. Tapi, Saki? Aaargh, ingin sekali saya percaya kalau dia bukan anak kita," erang Rio tampak sangat stres. Depresi. Tertekan. Kalau saja amarah Danas itu mewujud sebagai lava. Dan perasaan di dalam dadanya mewujud menjadi sebuah gunung berapi. Kediaman megah itu pasti sudah hancur tak bersisa saat ini juga. Ia membatin, oh, kalau anak kita punya sifat baik itu berarti miripnya ke kamu. Sementara kalau sifatnya kurang baik itu berarti berasal dari gen rakyat jelataku? Begitu maksud kamu, hah? Lebih baik kamu bercermin terlebih dahulu deh, Alterio! Walaupun Saki memang tidak punya penampilan serupawan kakaknya. Kamu pikir Delvin bisa memiliki rupa seganteng itu karena mirip dengan siapa?! Dua anak kita itu hanya mirip dengan aku, bodoh. Kamu pikir kamu itu keturunan Raja Sulaiman dan Nabi Yusuf apa bagaimana? Kamu tidak sesempurna itu untuk bisa menghakimi aku sesuka hatimu. Bercerminlah Alterio, bercerminlah! Akankah Danas mampu bertahan dalam ujian hidup serta badai kencang yang menimpa di tengah keluarga Senna yang jaya juga jumawa?
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD