Badai Delvin Pranadipa Senna (I) A

1014 Words
Aku sama sekali tidak bisa menggerakkan tubuhku. Seperti terdapat sebuah tangan yang besar dan hitam. Tengah mencengkram seluruh persendian di badan anak berusia sembilan tahun ini. Aku benar-benar merasa seperti akan kehilangan seluruh akal. Tapi, di sisi lain... aku juga harus tetap bertahan. Pandangannya memburu ke arah pintu perpustakaan yang terbuka cukup lebar. Cahaya dari lampu koridor rumah saat itu merupakan satu-satunya hal yang memberi ia kehangatan. Karena ruangan tempatnya berada saat ini memang... sangat gelap. Dan juga dingin. Terlalu gelap bahkan. Tak ubahnya suatu penampakan vantablack (material paling hitam di dunia). Atau malah sebuah black hole? Lubang hitam yang menyedot sesuatu menuju ketidakberdasaran? "DELVIN!!!" pekik seorang wanita dari arah koridor. Suara langkahnya yang berderap kencang terus mendekat. Drap drap drap drap drap drap drap. Si bocah kecil bermata minus 2 yang menggunakan kacamata berbingkai hitam itu semakin menyelusup. Memasukkan diri ke dalam tempat ia bersembunyi. Tubuhnya sampai menggigil ketakutan. Bbrr bbrr bbrr. Sekaligus khawatir seperti orang gila. Wanita (yang harusnya) cantik dan anggun karena penampilan mewahnya itu tampak seperti monster kesurupan. Ia muncul di ambang pintu dengan pakaian mewah dan dandanan yang masih rapi. Walau wajahnya sendiri kala itu memang lebih tampak seperti sapi. Sapi rabies maksudnya. Langkahnya yang tak terlalu lebar beranjak masuk ke dalam ruang perpustakaan. Lengkap dengan tatapan anjing pemburu. Ia tekan saklar lampu yang ada di dekat meja pustakawan. CKLEK. Si bocah yang bersembunyi di kolong meja pustakawan sampai tak terendus karena di kepalanya hanya ada emosi. Anak itu menutup rapat-rapat mulutnya dengan kedua telapak tangan. Ia tahu kalau wanita yang sedang memburunya itu memiliki pendengaran yang sangat tajam. Ssstt, tak boleh ada setitik pun suara! Wanita itu berkacak pinggang di tengah perpustakaan. Mendangakkan wajah dengan tatapan pongah. Menatap ke seluruh sisi perpustakaan yang cukup besar dan memiliki dua lantai itu. "DELVIN, AKAN IBU HITUNG SAMPAI TIGA. KALAU TIDAK KELUAR JUGA AKAN IBU HUKUM KAMU!" teriaknya menggelegar. Mengeluarkan ancaman. Si anak sampai yakin hantu yang ada di sekitar sana pun akan ketakutan. Kala mendengar teriakan perempuan yang seperti nenek lampir itu. Oke, Delvin. Sekarang ada beberapa opsi jalan keluar yang tersaji di otakmu yang kecil tapi penuh kerutan itu: Pertama - tetap diam di tempatmu saat ini berada. Mari kita tunggu sampai nenek lampir itu pergi keluar, lalu kamu harus melenyapkan diri ke dimensi lain. Kedua - kamu harus keluar karena sadar tak ada kesempatan untuk jalan keluar pertama yang kamu pikirkan. Mengaku dengan lapang dada bahwa memang sudah melakukan kesalahan. Setelah itu menerima apa pun hukuman yang akan mereka berikan dengan hati ikhlas. Ketiga - kamu harus tetap keluar. Tapi, tidak mengaku bahwa kamu sudah melakukan kesalahan yang wanita berpenampilan nenek lampir itu tuduhkan. Berlagak sok tokoh utama drama jadul yang mengkoar-koarkan idealisme akan cinta dan kekuatan bulan, lalu tetap akan dihukum sekalipun dengan hati yang dongkol. Keempat - atau yang terakhir. Kamu keluar. Tapi, tetap diam seribu bahasa. Bersikap sok cool. Dan akhirnya tetap akan dihukum juga. Abaikan saja apa pun yang kamu rasakan kalau sampai memilih opsi yang ini. Wanita itu mulai menghitung hitungan mundurnya, "Satu... dua... ti... ti... ti..." "Aku di sini, Bu," ucap Delvin yang berdiri di dekat bangku pustakawan. Ia berjalan pelan menghampiri sang ibunda. Karena pada akhirnya setiap masalah yang ada di dunia ini ada untuk dihadapi. Walau tidak tau bagaimana cara menghadapinya. Bocah bernama Delvin itu tak kuasa menatap wajah murka ibunya yang tampak seperti Leily Sagita jaman bahula. Ia hanya bisa menundukkan kepala. Menatap ujung sepatu pantofelnya yang tampak mengkilau lebih terang timbang masa depannya. Wanita itu mengangkat sebelah daun telinga sang putra. Ia dekatkan bibir tipisnya yang bergincu merah merona ke telinganya. "Kenapa kamu berani melawan Ibu?" tanyanya dengan intonasi tinggi yang terasa bisa membelah angkasa. "Saki itu sakit, Bu. Dia sudah hampir dua hari ini belum makan sama sekali. Aku tidak mungkin membiarkan adik perempuan yang paling aku sayang mengalami hal seperti itu. Rasanya sangat sakit lho, Bu," jawab Delvin balas meninggikan oktaf suara. Ia benar-benar emosi kala mengingat apa yang sudah kedua orang tuanya lakukan pada sang adik tercinta. Plaaak! Tamparan wanita itu langsung mendarat di salah satu pipi Delvin hanya sepersekian detik setelah ia menutup mulut. Ia bisa merasakan tamparan ibunya yang terasa sangat panas membara. Persis seperti olesan saus samyang mala di lidahnya tadi malam. Sepanas itu. "Sudah berani untuk berteriak ke Ibu kamu?!" teriak wanita itu lagi. Kali ini sepasang tanduk Lucifer seperti mencuat keluar dari batok kepalanya. Delvin memegangi pipi kanannya yang merah dan terasa sangat sakit dengan kedua telapak tangan. Air matanya menetes begitu saja. Air mata yang haram menetes di mata seorang anggota keluarga Senna. “…” Menyadari kilau air mata di pelupuk putranya. Wanita itu malah jadi semakin berhasrat untuk menampari tubuh serta wajah Delvin. "Jangan pernah menangis, Delvin! Jangan pernah jatuhkan satu tetes pun air matamu itu! Sudah berani ya kamu sekarang menangis dan bersikap lemah seperti itu di hadapan Ibu. Memang apa yang sudah Ibu lakukan kepada kamu? Ini adalah efek dari kesalahan yang kamu lakukan dan putuskan sendiri, Nak. Sebagai seorang anggota dari keluarga Senna. Kamu tidak boleh menangis atau merajuk. Kamu harus selalu menghadapi efek dari seluruh kesalahanmu dengan hati kuat serta mental baja," teriaknya. Tiba-tiba mood Delvin untuk menangis ria sirna entah ke mana. Ia merasakan sesuatu yang sangat tebal tengah membungkus hatinya. Membuat ia kebal dari segala efek emosi. "Kalau Ibu dan Ayah berkeras menghukum Saki. Karena ia mendapatkan nilai ujian yang jelek. Kalau begitu Ibu dan Ayah harus menghukum aku juga!" pintanya penuh keteguhan. Penuh kekuatan seperti yang selalu wanita itu inginkan. "Apa yang kamu katakan, Delvin? Sudah berani kamu bicara seperti itu pada Ibu, ya? Di mana sopan santun yang selama ini Ibu ajarkan pada kamu? Kenapa kamu berubah jadi anak yang seenaknya sendiri seperti ini? Pergi ke mana adab dan istiadab yang selama ini pagi siang malam kami ajarkan pada kamu? Menguap jadi embun di atas daun kah semua ilmu itu?!" tanya wanita tersebut panjang lebar. Ia cengkram cukup kencang salah satu pergelangan tangan sang putra. Segera diseret menuju ruang keluarga tempat di mana sang ayah berada. Bagaimanapun juga hal seperti ini membutuhkan campur tangan kepala keluarga, bukan?
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD