Leonardo tak memberinya waktu untuk berpikir. Tangannya yang hangat menuntun Isabella melewati koridor, setiap langkah seperti menari di antara bayangan bulan yang masuk dari jendela-jendela tinggi. Mereka berhenti di depan pintu kamar berikutnya. "Ini akan membuatmu terkesan," ujarnya, membuka pintu dengan gerakan dramatis. Isabella tak bisa menahan desisan kecil saat melihat kamar anak-anak itu. Tiga ranjang kecil dengan selimut biru dan merah muda, mainan kayu handmade di rak, bahkan lukisan dinding bergambar kelinci—persis seperti yang selalu ia ceritakan ingin ia miliki untuk anak-anaknya kelak. Saat dia masih kuliah dan berceloteh apa saja bersama teman-temannya di halaman kampus. "Kau—" "Tiga," bisik Leonardo, lengannya mengencangkan pelukan. "Satu putri dengan matamu, dan dua p

