Leonardo memutar tubuhnya dengan gerakan menguasai, tangan besarnya menelusuri tulang rusuk Isabella sebelum menenggelamkan jari-jemarinya di rambutnya. "Tubuhmu selalu jujur padaku," bisiknya, sebelum mencaplok bibir Isabella dalam ciuman yang dalam dan tak terburu-buru—seperti anggur yang dituang perlahan untuk dinikmati setiap tetesnya.
Isabella merasakan lidahnya yang panas menyapu setiap sudut mulutnya, mencuri napas dan akal sehatnya. Tangannya yang semula hendak mendorong justru mencengkeram bahu Leonardo, kukunya menancap di kain jasnya yang mahal. "Leo... hentikan—" protesnya terputus oleh helaan nafas ketika bibir lelaki itu beralih ke lehernya, menggigit ringan di tempat yang ia tahu paling sensitif.
Ketika Leonardo akhirnya menarik diri, Isabella terlihat seperti korban badai—bibirnya bengkak memerah, pupil matanya membesar, dan dadanya naik turun tak beraturan. Lelaki itu tersenyum puas sambil mengusap bekas lipstik yang tercoreng di sudut mulutnya. "Kau selalu merespon seperti ini," bisiknya kasar, "seperti bunga yang mekar hanya untuk tanganku."
Ketika Isabella akhirnya kembali ke pesta—dengan lipstik yang sedikit luntur dan napas yang masih tersengal—Riccardo sedang memberikan sambutan.
"Toast untuk istriku!" serunya, mengangkat gelas. Semua tamu bersorak kecuali Matteo, yang wajahnya pucat, tangannya mencengkeram gelas anggur hingga nyaris pecah.
Ivy tersenyum tipis, matanya yang dingin menatap Isabella. "Yang kurindukan hanya satu—cucu sebelum aku mati. Lagi pula… keluarga Ruzzo membutuhkan penerus."
Riccardo menambahkan, suaranya tegas: "Dokter keluarga sudah siap memeriksa Isabella besok. Kalau ada masalah, kita harus... cari solusi."
Isabella menggigit bibirnya sampai berdarah. Solusi—kode halus untuk perceraian.
Tiba-tiba, sentuhan dingin menggesek pahanya di bawah meja. Leonardo, yang duduk di sebelahnya, menatapnya dengan mata hijau yang penuh janji.
"Tenang," bisiknya, hanya untuk didengar Isabella. "Aku punya rencana."
Matteo hampir mematahkan gagang garpu di tangannya ketika melihat Leonardo membungkuk ke arah Isabella, bibirnya hampir menyentuh telinga istrinya. Apa yang dia bisikkan?
Dari seberang meja, Matteo bisa melihat dengan jelas bagaimana mata Leonardo—biasa dingin dan tak terbaca—kini berkilau seperti kaca yang diterpa api saat menatap Isabella. Tatapan itu terlalu dalam, terlalu intim, seolah mereka berdua memiliki rahasia yang bahkan Matteo tak boleh tahu.
"Matteo? Kau tidak menyentuh makanannya?" suara ibunya menyadarkannya.
"Aku tidak lapar," jawabnya kasar, tak mampu mengalihkan pandangan dari tangan Leonardo yang sekarang dengan santai bersandar di kursi Isabella—hampir menyentuh bahunya.
Ivy Ruzzo mengikuti arah pandangan anaknya, lalu tersenyum kecut. "Leonardo memang selalu tahu cara menarik perhatian wanita, ya?" bisiknya hanya untuk Matteo.
“Ma…dia istriku!” tegas Matteo.
“Mama tahu, Leonardo juga tidak akan kurang ajar! Dia hanya bersikap manis pada adik iparnya!” bela sang Mama.
Riccardo yang duduk di ujung meja mengamati semuanya dengan mata elang. "Matteo," panggilnya tiba-tiba, suaranya seperti cambuk. "Besok kita ada rapat jam 7 pagi. Jangan terlambat."
Sebuah peringatan.
Tapi Matteo sudah tak mendengar. Seluruh perhatiannya tertuju pada cara Isabella tidak menjauh dari Leonardo—bahkan ketika tangan lelaki itu "tak sengaja" menyentuh pahanya di bawah meja.
"AWAS SAJA KAU, LEO..." Matteo menggeram dalam hati, anggur merah di gelasnya bergoyang seperti amarah yang siap meledak.
Semakin malam, suasana pesta semakin panas. Meski yang hadir mayoritas usia paruh baya tapi mereka adalah orang-orang dari kelas atas yang memang memiliki stamina bagus dan juga selalu memiliki bahan pembicaraan.
Isinya memang hanya sahabat dekat dan kerabat, oleh karena itu sebagian orang memanfaatkan pesta ini juga untuk networking atau bahkan mencari jodoh untuk anak mereka. Karena mereka tidak mau harta mereka lari ke orang lain dan hanya berputar-putar di dalam circle mereka saja. Begitulah budaya mereka.
Saat pesta mencapai puncak, Leonardo menyenggol Isabella di lorong.
"Kau terlihat lelah," ujarnya keras agar orang lain mendengar, lalu berbisik: "Temu aku di gudang anggur. 5 menit."
Suara gesekan gelas dan tawa para tamu bergema di lorong utama villa ketika Isabella menyelinap pergi. Gaun hitamnya berdesir pelan di atas marmer dingin, jantungnya berdegup kencang seperti drum perang. ‘Aku seharusnya tidak melakukan ini.’
Tapi aroma parfum Leonardo—kayu sandalwood dengan hint tembakau—seolah memanggilnya, lebih kuat dari akal sehat.
Pertemuan Terlarang
Gudang anggur keluarga Ruzzo terletak di bawah tanah, dingin dan terisolasi. Hanya diterangi lampu temaram yang membuat bayangan botol-botol kristal bergoyang aneh di dinding batu.
Kreek—
Pintu berat itu tertutup sendiri ketika Isabella melangkah masuk.
"Lama juga aku menunggu."
Suara itu membuatnya terkesiap. Leonardo bersandar di rak anggur tertinggi, dua jari menjepit gelas berisi merah tua. Cahaya remang membuat sorot matanya—hijau seperti hutan larangan—terlihat lebih gelap dari biasanya.
"Aku tidak seharusnya ada di sini," batah Isabella, tapi tubuhnya tidak bergerak untuk pergi.
Leonardo melangkah mendekat seperti panther mengincar mangsanya, gelas anggur diletakkannya dengan gerakan sengaja lambat. "Tapi kau... di sini, Belle." Suaranya serak, jari-jarinya yang hangat merayap di pinggang Isabella melalui kain gaun tipis. "Masih butuh bukti bahwa Matteo tak pernah bisa memuaskanmu?"
Konflik Batin yang Membara
Isabella menahan napas ketika telapak tangan Leonardo menelusuri tulang punggungnya—gerakan mahir yang membuat kristal-kristal dingin di gaunnya meleleh oleh panas kulitnya. Ini salah. Tapi kenapa rasanya... adil?
"Kau membenciku," bisik Leonardo, bibirnya menggesek daun telinganya yang sensitif, "tapi ini—" tangannya menggaruk perlahan di belakang lutut Isabella, "—berteriak sebaliknya."
Isabella menggigit bibir hingga nyaris berdarah. Tidak. Tidak. Tidak. Tapi ketika jemari itu merambat ke paha dalamnya, yang terlepas dari mulutnya hanya:
"Kau... brengsek."
Leonardo mendesah puas, giginya mengerat lembut di bahu Isabella. "Dan kau mendambakan b******k sepertiku."
Sentuhan yang Menghancurkan
Dorongan kuat membuat Isabella terpental ke rak anggur. Botol-botol bergemeretak saat Leonardo mengepungnya—satu tangan mencengkeram bokongnya dengan posesif, satu tangan lain melingkari lehernya hanya cukup untuk membuatnya tersedu.
"Matteo tak pernah berani menyentuhmu begini," ujarnya, lidahnya menyapu garis rahang Isabella yang gemetar. "Dia tak tahu caranya membuat wanita sejatimu... menggelepar."
Isabella memejamkan mata. Tuhan, hentikan aku. Tapi ketika mulut Leonardo menghanguskan kulit di atas renda lingerie-nya, tangannya justru merangkul leher lelaki itu, menariknya lebih dalam—
Interupsi yang Memutus:
"ISABELLA!"
Suara Matteo dari atas tangga seperti air dingin.
Leonardo tidak terburu-buru. Dia malah mengecup Isabella lebih dalam—ciuman perpisahan yang membuat paru-parunya terbakar—sebelum menarik diri.
"Besok malam," bisiknya sambil menyelipkan sesuatu ke dalam korset Isabella—sebuah kunci kamar hotel. "Kau akan datang. Karena kau ingin."
Ketika Matteo membanting pintu gudang terbuka, yang ditemukannya hanyalah Isabella—berdiri sendirian, bibir bengkak, dan mata berkaca-kaca.
Tapi yang paling menyakitkan bagi Matteo?
Istrinya tidak terlihat menyesal.
Mobil Mercedes hitam yang membawa Matteo dan Isabella melaju kencang menyusuri jalan berliku. Isabella menatap jendela, bayangan wajahnya yang pucat terpantul di kaca. Bibirnya masih terasa bengkak—bekas ciuman Leonardo yang tak bisa disembunyikan.
Di kursi pengemudi, Matteo menggenggam kemudi dengan kekuatan yang membuat buku-buku jarinya memutih. Napasnya berat, tapi mulutnya terkunci rapat.
Lima belas menit.
Lima belas menit kebisahan mematikan.
Pintu depan rumah terbanting. Matteo menyeret Isabella ke dalam, melemparkan tasnya ke sofa.
PLAK!
Satu tamparan melayang ke pipi mulus Isabella dan seketika meninggalkan tanda merah di sana, tatapan Matteo seperti ingin membunuhnya.