06

1078 Words
"Jangan pernah dekati Isabella lagi!" Matteo meninju meja. Leonardo tak menjawab langsung dia tersenyum, senyum yang tak dapat Matteo artikan. Tangan kanannya menepuk bahu kanan Matteo pelan. "Ayahmu yang memintaku 'memberi contoh' padamu," bisik Leonardo. “Tapi bukan meniduri istriku, b*****t!” Matteo masih berbicara penuh emosi. "Kau berpikir ingin menjadikan aku alat, Matt. Kamu lupa, Matt. Di kartu keluarga aku ini Kakakmu walau kita tidak sedarah, dan pengalamanku lebih banyak darimu. Jadi kamu sekarang harus hati-hati!!" “Kamu……” Matteo mau melayangkan satu pukulan lagi ke wajah Leonardo tapi urung. “Ayahmu belum tahu tentang hal ini, bukan? Jadi rahasiamu aman di tanganku, asal aku masih bisa bertemu Isabella!” Matteo pucat. “Tidak! Aku gak biarin kamu ketemu dia lagi!” "Bagaimana kalau dia belum hamil?" tanya Leonardo dingin. "Berarti benihmu sampah!" Leonardo tertawa. "Lalu? Mau cari donor lain? Riskan rahasia keluarga terbongkar?" Dia berdiri, menatap Matteo dari atas. "Kau butuh aku, Matt. Dan Isabella... dia butuh seseorang yang membuatnya menjerit." "Besok malam aku akan datang lagi, naik ke ranjangmu," kata Leonardo berbisik. "Dan kau akan biarkan kami berkreasi semau kami—untuk kepentingan keluarga." Tangan Matteo mengepal kuat. Egonya benar-benar dipermainkan oleh Leonardo. Pagi itu, sinar matahari menyelinap melalui tirai jendela kamar, menerpa wajah Matteo yang masih berkerut oleh mimpi buruk. Di atas meja rias, undangan berlapis emas itu tergeletak dengan hiasan bunga peony putih—tanda tangan Ivy Ruzzo terpampang jelas dengan tinta ungu kesukaannya. Matteo meremas kertas itu perlahan, lipatannya yang sempurna kini berubah menjadi kerutan-kerutan kecil di telapak tangannya. “Ck! Sampai kirim undangan seperti ini!” decih Matteo tak suka. Sebelumnya, Ivy tidak pernah mengirim undangan resmi seperti ini karena ini bukan sebuah pesta, hanya makan malam keluarga. Namun, karena Matteo kerap kali absent jadi Ivy berinisiatif mencetak undangan khusus untuk anak tunggalnya, Matteo. "Kita harus pergi," suara Isabella terdengar lembut dari balik pintu kamar mandi. Ia keluar dengan handuk melilit tubuh, rambutnya masih basah meneteskan air. Di cermin, matanya menangkap bekas merah di lehernya—jejak gigitan Leonardo yang belum sepenuhnya memudar. Matteo menghela napas. "Kau tahu bagaimana ibuku—" "Aku tahu," Isabella memotong, jemarinya menyentuh lehernya sendiri. "Tapi jika kita tidak datang, ayahmu akan semakin mendesak soal keturunan. Atau kau lupa ancamannya minggu lalu?" Matteo mengutuk dalam hati. Setiap pertemuan keluarga selalu menjadi medan perang tersendiri. Ivy dengan pertanyaan-pertanyaannya yang menusuk: "Kapan aku bisa menggendong cucu?" "Sudah periksa ke dokter lagi?" "Kalian berdua tidak serius tentang pernikahan ini!" Dan Riccardo—ayahnya—akan duduk di ujung meja dengan tatapan dingin, seolah mengukur kegagalan Matteo sebagai seorang suami dan calon penerus bisnis keluarga. Isabella membuka lemari pakaian, memilih gaun hitam panjang dengan lengan renda. "Hitam cocok untukku hari ini," ujarnya, tersenyum getir. Warna duka yang disengaja. “Sepertinya Kau sudah menyiapkan jawaban untuk mereka…” tebak Matteo dengan gerakan seduktif di tubuh istrinya yang masih lembab. “Kita jawab jujur, Matt. Kita sedang program.” "Okay! Bersiaplah, aku akan telpon asisteriku untuk menyiapkan kado untuk Mama!" Matteo menutup percakapan dengan ciuman hangat di pelipis Isabella. Tapi sebelum aroma parfumnya sempat menghilang dari udara, suaminya sudah bergegas keluar kamar dengan langkah tegas. Isabella menghela napas, menatap pintu yang baru saja tertutup. Ia mengambil jaket kulitnya dan perlahan menyusul Matteo yang terlihat sedang memanaskan mesin Mercedes hitam mereka di halaman depan. Saat pintu mobil dibukakan untuknya, ia bisa merasakan aura berbeda yang memenuhi kabin - kehangatan tadi di kamar seolah terkunci rapat di balik pintu rumah, tergantikan oleh ketegangan yang mulai merayap di antara mereka. Matteo menggenggam kemudi terlalu kencang hingga kulit kepalanya tampak memutih. Isabella duduk di sampingnya, diam-diam mengamati urat di tangan suaminya yang menegang, persis seperti malam ketika rahasia itu pertama kali terungkap. Udara di dalam mobil terasa semakin pengap, meski AC terus menghembuskan udara dingin. "Kau baik-baik saja?" tanyanya hati-hati, sambil menurunkan kaca jendela sedikit untuk menghirup udara segar. Matteo tidak langsung menjawab. Matanya tetap tertancap di jalanan yang semakin sepi. "Leonardo akan datang," ujarnya tiba-tiba. Isabella menahan napas. "Aku tahu. Meskipun bukan anak kandung, dia tetap kakakmu!”" "Dia akan mencoba sesuatu." "Aku juga tahu. Dia memang bukan orang yang gampang puas!" Matteo menoleh sebentar, matanya gelap. "Jika kau masih mencintaiku—" "Kita sudah melewati batas 'jika' itu, Matteo," Isabella memotong, menatap keluar jendela. Pohon-pohon cypress berlarian di sisi jalan, seperti bayangan masa lalu yang tak bisa ditangkap lagi. Matteo hanya bisa meremas kemudi dengan kencang karena menyimpan rasa kesal dan rasanya dia sudah tidak bisa bergerak kemana-mana lagi. Dia terjebak permainannya sendiri. Kini dia harus rela berbagi istri dengan kakak angkatnya. Villa Ruzzo sudah terlihat di kejauhan—megah, dingin, dan penuh dengan rahasia. Ivy Ruzzo menyambut mereka di teras depan. Wanita Amerika berusia 60-an itu masih cantik dengan rambut pirang keperakan yang disanggul rapi. "Akhirnya!" Pelukannya hangat, tapi matanya langsung menelusuri tubuh Isabella. "Kau kurus, Bella. Tidak sehat untuk calon ibu." Isabella memaksakan senyum. "Selamat ulang tahun, Mama." Riccardo muncul dari dalam rumah, tubuhnya tegap di balik setelan jas tailor-made. "Matteo," ucapnya singkat, anggukan kepalanya lebih mirip perintah daripada sambutan. Dan di belakangnya—Leonardo. Ia mengenakan setelan abu-abu yang membuat matanya yang hijau semakin mencolok. Senyum tipisnya mengembang saat melihat Isabella. "Selamat datang, adikku... dan Belle." Suaranya seperti madu yang dituangkan perlahan—manis, tapi bisa membuatmu tersedak. Matteo seperti memasuki ruangan eksekusi, langkahnya berat, namun dia tak punya pilihan selain tetap masuk dan menikmati sajian makan malam. Pesta berlangsung dengan anggur yang terus mengalir dan percakapan-percakapan palsu. Isabella merasa sesak, kerah gaunnya tiba-tiba terasa seperti jerat. Di antara gelas kristal yang bersinar dan senyum-senyum sempurna para tamu, ia menyadari kebenaran pahit yang tak pernah terpikir oleh perempuan-perempuan yang bermimpi menikahi keluarga konglomerat - bahwa hidup mewah ini hanyalah sangkar emas berlapis kepalsuan. Dengan dalih mengambil udara, ia menyelinap ke kebun belakang dimana aroma peony bercampur dengan udara malam yang segar. Tapi kedamaiannya segera buyar... "Belle..." Suara itu membuatnya tersentak sebelum sepasang tangan kuat memeluknya dari belakang. Leonardo mengecup lehernya, lidahnya menyusuri bekas gigitan semalam. "Kau gila! Ada tamu di mana-mana—" "Justru lebih menggairahkan," bisik Leonardo, tangannya merayap ke paha Isabella di bawah gaun. "Kau sudah memikirkan malam nanti?" Isabella ingin marah. Ingin menamparnya. Tapi tubuhnya malah mendesak ke belakang, merasakan kerasnya tubuh Leonardo. "Aku benci kau," desis Isabella, tapi suaranya pecah menjadi rintihan ketika Leonardo mengejar denyut nadi di lehernya dengan ujung lidah. Lidah Leonardo yang kasar dan panas membuar tubuhnya bergolak—setiap sentuhan lelaki itu bagai percikan api di atas minyak, membakar perlawanannya menjadi abu.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD