Ivy segera bangkit mengambil map. "Bukan, ini anak sulungku, Leonardo. Yang sedang diperiksa ini istri Matteo, anak keduaku."
"Ah." Dokter itu tersenyum kecil. "Saya pikir itu Tuan Muda Matteo. Mirip sekali sikapnya."
Leonardo tetap diam di ambang pintu, tapi matanya yang hijau menangkap sekilas pandangan Isabella yang berusaha menutupi tubuhnya dengan jubah tipis. Ada kilat geliangan di matanya.
Dokter Bianchi terkekeh. "Segagah itu belum menikah? Pasti sudah punya kekasih."
"Leo memang perfeksionis," jawab Ivy sambil membuka map. "Sulit menemukan wanita yang memenuhi standarnya."
Di luar pintu, Leonardo menyunggingkan senyum tipis. Telinganya masih menangkap suara gemerisik kain saat Isabella berusaha menutupi diri tadi. Tubuh wanita itu pasti sedang tegang, kulitnya merinding karena malu dan... sesuatu yang lain.
Ia membayangkan bagaimana wajah Isabella pasti memerah jika tahu bahwa saat ini, di balik pintu yang tertutup sebagian itu, ia sedang membayangkan tangan dokter itu adalah tangannya sendiri yang menyentuh setiap inci kulit Isabella.
"Kalau tidak ada lagi yang dibutuhkan, aku pamit." Leonardo mengatur nada suaranya tetap datar, meski bayangan Isabella yang tergolek lemah di ranjang terus membakar pikirannya.
Ketika pintu tertutup perlahan, Isabella melepaskan napas yang tak disadari ditahannya. Tapi di balik pintu, ia bisa mendengar langkah kaki Leonardo yang berat tak kunjung menjauh - seolah menunggu, mengintai, memberi waktu untuknya membayangkan segala kemungkinan yang bisa terjadi jika tadi tak ada yang menghalangi.
Setelah pemeriksaan usai, Isabella buru-buru masuk ke kamar tamu untuk berpakaian. Tangannya gemetar saat mengancingkan blus—kenapa Leonardo harus datang sekarang?
"Menghindariku?"
Suara Leonardo yang serak membuat Isabella tercekat. Lelaki itu kini berdiri di ambang pintu—kemeja luarnya sudah hilang, hanya mengenakan kaos putih tipis yang menempel di setiap lekuk otot lengan dan bahunya. Cahaya dari koridor membentuk bayangan sempurna di torso bidangnya saat ia dengan santai mengunci pintu. Ceklek. Bunyi itu seperti gema di telinga Isabella.
"Keluar," desisnya, tapi suaranya pecah, seperti air yang mencoba melawan pasang.
Leonardo mendekat dengan langkah kucing besar, bau kayu sandalwood-nya memenuhi ruangan. "Kau tidak datang kemarin," ujarnya, suara rendahnya menggelapi udara. "Aku menunggu... sepanjang malam."
Isabella menekan punggungnya ke tembok. "Aku istri Matteo—"
"Tapi tubuhmu..." Tangannya menyibak jubah Isabella dengan gerakan mahir, membuka kulit yang tersembunyi di bawahnya. "...merindukanku."
Napas Isabella tersendat saat jari-jari dingin Leonardo menyusuri tulang selangkanya, bergerak seperti pelukis yang mengenali setiap lekuk kanvasnya.
"Belle..." Bisikannya hangat di telinganya, "Malam pertama kita, aku paham kau tidak hamil. Tapi malam kedua? Aku sengaja tidak memakai apa-apa."
"Pe-pengaman?" Isabella menggigit bibir, jari-jarinya mencengkeram jubah tipisnya.
Leonardo tertawa pendek, nafasnya menari di kulit Isabella. "Kau pikir aku akan memberimu kesempatan untuk lari?"
Setiap sentuhannya seperti api yang merambat—dari paha, ke pinggul, lalu naik perlahan. Isabella memejamkan mata. Tuhan, hentikan aku. Tapi tubuhnya berkhianat, melengkung ke depan, mencari.
"Kau sudah basah untukku," Leonardo menggeram, bibirnya menelusuri leher Isabella yang berdenyut kencang. "Padahal dokter baru saja memeriksamu. Tidak malu?"
Ya. Sangat malu. Tapi rasa malunya tenggelam dalam gelombang panas yang membanjiri setiap sudut tubuhnya.
Dan ketika nafas mereka akhirnya beradu, ketika jari-jari Leonardo menemukan tempat yang paling dalam mengingatnya, Isabella hanya bisa meraih bahunya—menyimpan nama yang salah di ujung lidahnya.
"Bella? Dokter Bianchi ingin bicara."
Suara Ivy dari balik pintu seperti air dingin.
Leonardo menyeringai, menarik diri dengan malas. "Lain kali," bisiknya sambil menyelipkan kertas ke dalam bra Isabella. "Alamat baru. Aku tunggu sampai jam 8 malam. Kamu akan datang kali ini, Belle! Harus!"
Tatapan mata Leonardo seperti pemangsa, tapi herannya Isabella sama sekali tidak keberatan dilihat dengan tatapan itu, Dua puluh empat tahun memiliki kehidupan seperti orang-orang pada umumnya.
Dia dibesarkan dari panti asuhan satu ke panti asuhan lain, mendapatkan pendidikan moral dan agama yang cukup ketat. Saat remaja beberapa kali dekat dekat cowok, semua normal seperti cowok pada umumnya. Saat menyelesaikan study di college dipertemukan dengan Matteo si putra mahkota keluarga Ruzzo di sebuah pameran seni di Milan lalu saling jatuh cinta.
Bertemu lelaki seperti Leonardo seperti memberikan tantangan tersendiri.
Leonardo tersenyum, kini senyum dan tatapannya berubah penuh cinta. Lelaki seperti ini membuat adrenalin terpacu.
“Belle….” panggilan sang Mama mertua memanggil Isabella ke dalam kesadaran penuh.
Isabella menjawab dengan suara serak: "Baik, Ma... aku keluar sekarang."
Dia menatap Leonardo yang mundur ke sudut gelap kamar, masih tersenyum seolah tahu—dia tidak akan bisa menolak.
Di ruang tamu, Dokter Bianchi membersihkan kacamatanya dengan hati-hati.
"Kami akan mulai program inseminasi minggu depan," ujarnya tanpa basa-basi. "Tapi ada syarat—Matteo harus menjalani pemeriksaan s****a lagi."
Ivy tersentak. "Untuk apa? Dia sudah periksa tahun lalu!"
"Protokol baru." Dokter itu menatap Isabella. "Kadang masalah bukan dari pihak wanita."
Isabella menggigit bibir. Apakah dokter ini tahu sesuatu?.
Isabella mengangguk patuh, tidak ada yang bisa dia lakukan. Dia harus menurut apa yang dikatakan mertuanya jika tidak ingin dipisahkah dari Matteo.
Setelah dokter Bianchi pergi meninggalkan halaman Villa, Ivy menoleh dengan senyum optimis dan antusias.
“Kali ini akan berhasil, Belle!” ucapnya merangkul Isabella.
Isabella mengangguk.
“Kamu ada plan apa hari ini? Aku dengar kamu mulai mendesign lagi? Aku suka mendengarnya, aku berharap nanti Matteo mulai berpikir untuk melakukan expansi ke dunia fashion, karena melihat bisnis Leonardo yang sudah sampai ke Paris dan New York itu sangat menjanjikan!” celoteh Ivy panjang, sedang Isabella hanya mendengarkan.
“Belle, ini bukan masalah uang…kamu tahu? Tapi, ada kebanggaan jika melihat anak-anak berhasil” tambah Ivy.
Isabella mengangguk “Tentu, Ma!”.
"Supir sudah siap mengantarmu, Bella," ujar Ivy sambil menyerahkan tas kecil berisi vitamin dari dokter.
Sebelum Isabella bisa menjawab, suara Leonardo yang dalam tiba-tiba memotong.
"Aku bisa mengantarnya, Ma. Kebetulan aku harus ke arah sana."
Matanya yang hijau menatap Isabella—seolah menantang.
Ivy mengangguk setuju. "Bagus. Leonardo, pastikan Bella sampai dengan selamat. Dia akan mengandung penerus Ruzzo, you know!"
Isabella ingin menolak, tapi lidahnya terasa kaku.
Mobil hitam Mercedes G-Class milik Leonardo terasa seperti sangkar mewah. Isabella duduk di kursi penumpang, tangannya erat menggenggam tas di pangkuannya. Bau kayu sandalwood dan tembakau halus memenuhi kabin, mengingatkannya pada malam di gudang anggur.
Leonardo memasukkan persneling dengan gerakan halus. "Masih pakai pil KB?"
Isabella tersentak. "Apa—?"
"Jangan bohong, Belle." Suaranya rendah, tapi mematikan. "Aku bisa menciumnya di kulitmu. Pil itu meninggalkan aroma tertentu."
Jantung Isabella berdegup kencang. Bagaimana dia bisa tahu? Bodoh! Leonardo bukan boca kecil, dia lelaki dewasa yang pasti sudah sangat berpengalaman dengan hal ini.
Leonardo tersenyum, mata tetap fokus di jalan. "Berhenti meminumnya."
"Tidak mungkin," bisik Isabella.
“Kau dengar, Mama sangat berharap Kau hamil!”
“Anak Matteo!”
"Kau pikir aku akan membiarkanmu menolak kehamilan dariku?"
Leonardo mulai menabrakkan bibirnya ke bibir Isabella dengan paksa dan tangannya siap merobek gaun yang menempel di kulit porcelain miliknya.
"Leo......"