Keesokan harinya Xandria terbangun dari tidur lelapnya. Kepalanya terasa begitu berat karena kemarin menangis lama hingga ia tertidur di sofa. Ia meraba-raba sofa dan meja di samping sofa mencari handphone-nya. Saat ia menemukan handphone-nya, ia melihat sebuah pesan masuk yang belum terbaca dari kemarin dan kemudian membalasnya.
“Baiklah. Sampai ketemu nanti di tempat biasa"
-Xandria-
Xandria yang mendapatkan pesan dari Justin sangat bahagia. Ia merasa mendapatkan secercah harapannya kembali. Ia masih berharap Justin bisa membalas cintanya dan memberikan ia posisi di hatinya. Bahkan ia masih bisa memaafkan meski Justin telah berulang kali mengecewakannya. Memang cinta tak ada logika, berulang kali tersakitipun masih bisa memaafkan.
Siang hari di tepi pantai kawasan Cote d’Azur tepatnya di kota Nice. Sebuah Café dengan view yang sangat indah menghadap laut Mediterania Prancis di Bay of Angels. Seorang pria telah duduk di sudut Café dengan segelas Tropical Juice menunggu Xandria sambil menikmati pemadangan laut. Dari Café tersebut dapat melihat pemandangan laut lepas nan biru, deburan ombak yang bergerak ke bibir pantai bergantian, dengan kapal-kapal melintas yang hendak berlabuh di pelabuhan Villefranche. Café ini adalah tempat dimana Justin dan Xandria selalu bertemu.
Selang beberapa menit Xandria datang. “Apakah kamu sudah lama menungguku?” Ia menghampiri Justin dan menarik kursi yang ada di hadapannya. Hari ini ia terlihat cantik dari biasanya. Celana jeans panjang berwarna biru aqua, kemeja putih lengan pendek dengan ukuran satu tingkat lebih kecil dari biasanya dan sepasang flat shoes berwarna electric blue. Make up natural dan lipgloss berwarna baby pink menghiasi bibir menyempurnakan penampilannya hari ini. Justin benar-benar terpesona melihatnya.
“Belum terlalu lama,baru saja menunggumu beberapa menit. Kamu mau pesan apa?.” Justin tersenyum lembut dan menyodorkan buku menu yang ada ditangannya ke hadapan Xandria. Setelah melihat menu yang ada, Xandria memanggil waitress dan mulai memesan makanan.
“Bagaimana keadaanmu sekarang?” Justin mencoba membuka pembicaraan.
“Aku baik-baik saja.” Xandria menjawab dengan acuh tak acuh
“Sekarang kamu tinggal dimana?” Justin kembali bertanya.
“Aku pikir kamu tidak peduli lagi padaku.” Xandria menyeringai. “Untuk apa kamu menanyakan tentangku? Apa untungnya bagimu?”
“Xandria…jangan begitu. Aku benar-benar mengkhawatirkanmu.”
“Simpan khawatirmu baik-baik Justin. Semenjak kamu membatalkan janji waktu itu, baru sekarang kamu menemuiku. Apa itu yang kamu bilang khawatir?” Xandria memalingkan wajahnya.
“Xandria…maafkan aku. Aku akui aku bersalah padamu.”
“Kenapa kamu baru menyadari kesalahanmu? Kamu menghilang tanpa kabar dan jalan dengan wanita lain, apa kamu tidak merasa bersalah? Aku ini pacarmu Justin.” Xandria berbicara sambil menahan emosinya.
“….” Justin hanya terdiam mendengar ucapan Xandria.
Beberapa saat kemudian handphone yang ada di saku celana Justin berbunyi. Ia kemudian mengangkat telepon itu dengan ragu.
“Hallo….ya aku sendiri. Oke… Baik… Aku akan segera kesana.”
“Ada apa?” Xandria yang melihat wajah cemas Justin tak kuasa untuk bertanya.
Justin memegang kedua tangan Xandria yang ada di meja. “Xandria maafkan aku. Aku harus segera pergi. Belova baru saja megalami kecelakaan. Aku harus menemuinya ke rumah sakit.” Justin dengan terburu-buru pergi meninggalkan Xandria sendirian yang masih duduk di Café.
Xandria yang mendengar penjelasan Justin merasa sedih. Ia mengepalkan kedua tangannya sekuat tenaga hingga kuku-kukunya menusuk telapak tangan. Ia berusaha sekuat tenaga untuk menahan rasa sakit di dadanya. Dengan segala kemampuan berusaha menahan air matanya yang hampir jatuh. Tapi tanpa ia sadari air matanya lolos jatuh ke pipinya. Lagi dan lagi…Justin mengecewakannya. Apa sebegitu sakit mencintai seseorang yang sama sekali tidak mencintaimu? pikirnya.
Xandria hanya duduk berdiam diri di sudut ruang Café memikirkan nasib dan cintanya yang menyedihkan. Seorang gadis yang ditinggal oleh kedua orang tuanya diusia muda, dan cintanya yang bertepuk sebelah tangan. Begitu menyedihkan.
****
Justin Pov
Hari ini aku menemui Xandria bermaksud untuk meminta maaf padanya. Meski hubungan kami sekarang terasa canggung karena aku yang tidak bisa membalas cintanya, tapi dari dulu hingga sekarang ia tetaplah teman baikku. Aku tidak bermaksud untuk melukai perasaannya. Tapi tanpa aku sadari aku malah sering melukai perasaannya.
Selain meminta maaf, aku juga ingin mengakhiri hubunganku yang berstatus pacaran dengannya. Aku tidak ingin memberikannya harapan yang tidak mungkin bisa aku wujudkan. Aku tidak bisa memberikan hatiku padanya, karena hatiku telah milik orang lain. Tapi ia tetap saja bersikap baik padaku. Itu yang membuat aku merasa semakin bersalah padanya. Untuk apa menjalin sebuah hubungan sedangkan aku tidak mencintainya? Jika hubungan ini tetap diteruskan, ia akan semakin terluka. Aku tidak ingin kehilangan seorang teman baik hanya karena sebuah perasaan yang terabaikan. Itu salah satu alasan kenapa aku akhir-akhir ini berusaha menjauh darinya, meski itu sulit.
Saat aku berusaha mengumpulkan keberanian untuk memutuskan hubungan dengannya, tiba-tiba telepon dari Belova masuk. Ia mengalami kecelakaan saat perjalanan menuju tempat kerjanya. Aku menjadi panik, takut akan kehilangan Belova kembali. Tanpa berpikir panjang, aku meninggalkan Xandria sendirian di Café itu. Dan lagi, aku melukai perasaanya.
Sesampainya di rumah sakit, aku mendorong pintu ruang rawat inap itu dengan cemas dan melihat Belova sedang terbaring di ranjang denga perban di kepala dan tangannya. “Belova, apa kau tidak apa-apa? Bagian mana yang sakit? Bagaimana bisa kamu mengalami kecelakaan ini?”
Belova tersenyum lembut padaku. “Aku tidak apa-apa Justin.” Ia menatapku dalam seolah-olah aku akan tenggelam dalam tatapannya, “Kau masih seperti dulu, selalu mencemaskan ku. Bahkan kau jauh lebih baik dari yang dulu.”
“Jangan banyak gerak, kau sedang terluka. Berbaringlah…aku akan menemanimu disini malam ini.” Aku berusaha mencegat Belova yang bergerak ingin duduk dengan memegangi bahunya. Kemudian menyuruhnya untuk tidur dan menyelimutinya. Aku berjaga sepanjang malam di sampingnya, menggenggam tangannya yang terpasang infuse.
Selama terjaga aku menatap wajah Belova yang pucat tertidur pulas. Aku tidak merasakan hal seperti dulu lagi, yang pernah aku rasakan seperti empat tahun lalu saat aku bersamanya. Melihatnya sekarang perasaanku begitu datar. Tak ada debaran jantung yang begitu kuat seperti dulu lagi. Juga tak pernah ada lagi rindu untuknya. Meski hatiku mengatakan aku masih mencintai Belova, tapi dipikiranku hanya ada Xandria. Sebuah perasaan yang rumit.
****
Xandria turun dari taxi di depan Mansion keluarga Griffin dengan wajah lesu dan tubuh tak berdaya. Ia masih larut dalam kesedihannya. Dari luar Mansion terlihat semua lampu ruangan masih terang benderang. Hari sudah menunjukan pukul 11 malam, Xandria membuka pintu berjalan menuju ruang tamu. Saat ia berjalan melewati ruang tamu, terdengar suara bass yang begitu familiar dari sudut ruangan menghentikan langkahnya.
“Xandria, kamu dari mana saja? Kenapa pulang begitu larut? Kami sangat menghawatirkanmu.” Mr.Griffin dan istrinya yang sedari tadi menunggunya duduk di sofa berbicara dengan nada cemas.
“Dad…Mom…” Xandria terkejut mendengar suara Mr.Griffin dari sudut ruangan. “Maaf Dad…Mom, aku pulang larut dari biasanya. Hari ini aku bertemu dengan teman. Sekali lagi maaf, lain kali aku tidak akan mengulanginya.” Xandria meminta maaf sambil menunduk membungkukkan setengah badannya.
“Kemarilah….” Mrs.Griffin memukul sofa di sampingnya memanggil Xandria. “Duduk di sebelah kami. Ada hal yang harus kami bicarakan denganmu.”
Xandria berjalan mendekati Mrs.Griffin dan duduk di sampingnya. “Ada apa Mom?”
Mrs.Griffin membuka pembicaraan dengan suaranya yang lembut dan keibuan. “Xandria…beberapa hari lagi kamu akan lulus sekolah. Apakah kamu sudah memikirkannya?”
Xandria yang mengerti maksud Mrs.Griffin segera menjawabnya, “Aku sudah memikirkannya Mom. Aku memutuskan untuk kuliah di Nice saja.”
“Apa kamu sudah yakin akan untuk tetap berkuliah di kota Nice ini sayangku?” Mrs.Griffin tersenyum.
“Iya Mom, Aku sudah yakin. Di sini aku memiliki banyak orang yang aku kenal, jadi tidak akan sulit. Kalau aku berkuliah di Milan atau Paris, aku harus beradaptasi lagi dengan orang dan lingkungan baru.” Xandria berusah meyakinkan kedua orang tua angkatnya.
“Baiklah kalau begitu. Kami akan mendukung apapun pilihanmu.” Mr.Griffin menanggapi ucapan Xandria sambil mengusap kepalanya. “Setelah hari kelulusanmu, kami berencana akan pergi beberapa minggu untuk mengunjungi kakakmu De di Paris. Selain itu Dad juga sekalian mengurus perpindahan kantor pusat perusahaan Griffin Corp dari Nice ke Paris. Dad dan Mom ingin segera ingin pensiun dari dunia bisnis. Kakakmu De sebentar lagi akan di wisuda, Dad akan menyerahkan semua kendali perusahaan padanya. Apalagi kakakmu dari usia muda telah belajar bisnis dan banyak mengembangkan bisnisnya sendiri di sana. Sekarang sudah waktunya kakakmu mengurus semuanya. Kami ingin menghabiskan masa tua kami dengan berkeliling dunia. Apa kamu ingin ikut kami berlibur ke Paris sebelum masuk kuliah?”
“Dad…aku disini saja. Liburan dengan beristirahat di rumah sepertinya juga menyenangkan. Nanti kalau bosan, akau akan jalan-jalan bersama Bella. Lagi pula aku belum kenal dan juga belum pernah bertemu dengan kak De. Dia belum tentu menyukaiku.” Xandria berusaha menolak ajakan Mr. dan Mrs.Griffin secara halus.
Sebenarnya ia menolak ajakan orang tua angkatnya bukan karena tidak ingin pergi berlibur, tapi ia tidak terbiasa pergi dari kota Nice. Sejak kecil ia tidak pernah pergi meninggalkan kota Nice meskipun sehari. Selain itu ia tidak ingin berjauhan dengan Justin. Meski mereka sangat jarang bertemu dan saling berkabar semejak berstatus pacaran, tapi tetap berada di kota yang sama dengan Justin sudah cukup baginya. Cinta terkadang memang tidak masuk akal.
Mr.Griffin membuang nafas dengan kasar, “Hmm….baiklah kalau kamu ingin di rumah saja. Biar Dad telepon Bella saja untuk menemanimu selama kami tidak ada di rumah. Kalau kamu memerlukan sesuatu, kamu teelpon kami saja. Biar kami suruh para maid menyiapkannya untukmu.”
“Sekarang kamu istirahatlah ke kamar. Hari ini pasti membuatmu sangat lelah. Jangan lupa baca do’a sebelum tidur, agar kamu tidak mimpi buruk.” Mrs.Griffin tersenyum sambil memeluk Xandria memberi kecupan selamat malam. Kemudian Mr.Griffin berdiri dari duduknya dan berjalan menaiki tangga menuju kamar diikuti oleh Mrs.Griffin.
“Baik Mom, aku akan istirahat lebih awal. Good night Mom…Dad.”
“Good Night, Xandria…!” Mr. dan Mrs.Griffin membalas salam Xandria bersamaan.