Bagian dari Pekerjaan (?)

1197 Words
Pagi buta begini, deritaku adalah perut yang meronta meminta isi. Mana mata masih sepet lagi. Ugh, andai bisa kenyang tanpa harus bangun dari kasur. Keroncongan makin kuat, akhirnya aku bangun dan duduk. Menggeliat pelan sedikit merilekskan otot tubuh. Dengan langkah terseret aku memaksakan diri ke dapur. Memeriksa barangkali ada sesuatu yang bisa kumakan. Ck, sial, aku lupa beli makanan kemarin. Cuma tersisa kerupuk setengah bungkus. Begini amat ya, tinggal sendirian di kontrakan. Mommy pernah mengingatkan sih tentang kondisi mengenaskan begini kalau nekad jauh dari keluarga. Tapi aku tetap ingin sukses tanpa campur tangan orang tua. Mereka cukup mendoakan saja. Walaupun cuma dapat kerupuk di pagi hari, tak apalah, akan aku nikmati. Yakin deh, suatu hari nanti aku bisa sarapan pagi lebih baik dari ini. Ekor mataku melirik jam dinding. Sudah jam enam pagi rupanya. Drrttt.... Drrttt.... Ponselku bergetar. Siapa sih pagi begini? "Ya, hallo?" sapaku dengan posisi mulut masih mengunyah kerupuk. Agak sedikit peot. Tapi lumayan masih bisa dimakan. "Buatkan saya sarapan!" Ha? Siapa ini? Aku menjauhkan ponsel dari telinga. Lupa tadi gak melihat siapa yang nelpon. Dan tada ...! Terpampang di layar ponselku sebuah nama yang tidak ingin kudengar suaranya. Pasti nyuruh. Menyebalkan bukan? "Pak Hen? Anda kenapa?" "Saya bilang buatkan saya sarapan!" Elah, ngotot. "Anda sehat, Pak? Ini bukan jam kerja lho!" "Datang sekarang atau gaji kamu saya potong setengahnya untuk bulan ini." "Tidak bisa begitu, Pak. Satu jam lagi ya?" Gila aja, aku sendiri juga belum makan. Masa iya, mendahulukan perut orang lain. Kasihan cacing di perutku dong! "Lima menit dari sekarang." Klik. Lah? Main matiin aja! Ck, atasan macam apa dia? Segala-gala pasti ngancamnya potongan gaji! Dikira aku takut apa? Aslinya sih takut banget, sial! Lima menit katanya? Dikira aku punya jin simsalabim apa? Jangan kira ini ancaman kosong, gaes. Dia tuh kalau ngancam beneran terjadi. Aku sudah pernah merasakannya. Akhirnya walau dengan rasa dongkol yang menggunung, demi cuan aku rela. Sebelum berangkat, aku memeriksa kondisi aroma kedua ketekku. Tidak begitu bau, baguslah. Hari amat dingin, aku malas mandi. Lagi pula, ini hari libur. Harusnya aku bersantai di kontrakan tercintaku ini. Sayangnya, huru-hara sudah menyapa, ya, ada titah dari bos tercinta. Tidak butuh waktu lama, motor Scoopy milikku sudah sampai di depan gerbang perumahan elit di kota ini. Asal tahu ya, si bos ini tinggal sendirian di sini. Konon katanya kedua orang tuanya ada di kampung. Entahlah, kali aja dia bohong. Mungkin kampungnya di luar negeri ya? Lah wong tampangnya ganteng pol begitu. Masa iya, orang udik, gak percaya aku. Sibuk dengan pikiran sepanjang jalan, jadi tidak terasa rumah yang aku tuju sudah sampai. Keningku mengerut, mobil siapa ini? Aku baru lihat. Bukannya sok tahu, tapi aku bukan hanya sekali dua kali datang ke rumah ini. Selain sering minta dibuatkan sarapan mendadak begini, si bos juga dengan sablengnya sering nyuruh aku beliin nasi Padang segala. Pokoknya aku itu seperti sekretaris merangkap sebagai tukang pesan antar makanan juga. "Akhirnya kamu datang. Masuklah!" Sosok yang dari tadi aku ghibahin dalam hati muncul juga. Kaos oblong tanpa lengan plus celana training berasa pas di badannya. Ugh, seksi! Dan bikin ngiler dunia persyahwatan. Eh, lupa, kan suka terong. Sayang banget. Ngilernya gak jadi deh. "Kenapa masih bengong?" Tangannya membuyarkan lamunanku. "Eh, iya, maaf, Pak. Ngomong-ngomong, kenapa saya harus membuat sarapan?" "Kamu akan tahu." Pak Hen masuk lebih dulu. Aku mengekor di belakangnya. Kenapa ya, orang ganteng kok gak bau meski keringatnya bejibun begitu. "Kamu mencium bau tubuh saya?" O-ow! Ketahuan! Jelas aku langsung menggeleng cepat. "Tidak." "Hidung kamu bergerak-gerak." Iya gitu? Aku memeriksa hidungku. "Tidak. Cuma kalau ada bau lewat ya gak bisa saya tahan, Pak." Dia tidak bicara lagi. Tangannya menunjuk dapur. Artinya aku harus segera masak. Ck, gimana ya, aku gak bisa masak. Biasanya kalau si bos nyuruh begini, aku beli di jalan sambil lewat. Lah ini? Cuma dikasih waktu lima menit! Dasar gila! Mataku menyusuri isi kulkas. Apa yang bisa aku masak ya? Ada sayuran, ada telur juga. Apa telur ceplok aja ya? Tapi kan suka meleduk-leduk kalau lagi digoreng. Atau bikin sayur? Ah, kacau-kacau! Sebelum mendapat ilham menunya, lebih baik aku buatkan nasinya aja dulu deh. Nah, kalau bikin nasi aku bisa. Mom yang ngajarin. Katanya takut malu-maluin kalau nanti punya suami. "Oh, jadi ini ya? Kamu serius, Hen?" Tetiba datang seseorang ke dapur. Aku yang lagi anteng memilih sayur di kulkas, mengangkat kepala dan melihat siapa yang datang. Seorang wanita tua seumuran dengan omaku datang menghampiri. Bajunya pakai kebaya dan sarung batik. Kepalanya memakai jilbab panjang yang dililit seperti Imam Bonjol. Apa ini yang bernama Tante Mona itu? Yang katanya sering dibilang nyonya besar? Ya, kata si Dulah karyawan lama di perusahaan, nyonya besar ini sangat dihormati. "Zia, kemarilah!" Pak Hen memanggilku. Tangannya melambai menyuruhku datang menghampirinya. "Ya, Pak?" "Kenalkan, ini ibu saya." Aku mengangguk sopan, "Oh iya. Nyonya Mona?" tanyaku menebak namanya. Wanita itu mengangguk. "Benar." Ah, ternyata benar. Mona? Uhm, kalau dari namanya, kukira Mona itu sosok berkelas yang modis. Berpakaian ala-ala barat. Ini kok? Apa jangan-jangan Nyonya Mona ini bule yang lupa ingatan ya? Mendadak jadi emak-emak dari kampung gitu? "Ekhm, senang bertemu Anda, Nyonya Mona. Saya Ghazia." "Saya sudah tahu." Weh ternyata Nyonya Mona ini doyan motong omongan orang ya? "Nyonya, boleh saya bertanya?" Mereka berdua saling melempar pandangan. "Tanya apa?" Nyonya Mona yang balik bertanya. "Anu, nama Anda sangat indah. Kalau boleh tahu, kepanjangannya apa?" Hidung Nyonya Mona kembang-kempis. Senang dia kalau dipuji. Padahal, aku hanya penasaran saja. "Nama lengkap saya Monaroh. Kamu bisa panggil saya Nyonya Besar atau Nyonya Mona juga tak apa." Aku bengong. "Monaroh?" Demi apa, anjir! Pantesan tampilannya kek bibi tukang gorengan keliling. Ternyata Mona itu Monaroh! Ia tersenyum dan mengangguk, "Benar. Bagus bukan? Tadinya Munaroh. Cuma, kata tetangga bilang, kalau sudah punya anak sukses begini, namanya harus yang bagus. Jadinya pakai Mona saja." Lagi-lagi aku mengangguk lalu tersenyum garing. "Ah, begitu. Baguslah." "Mak, sekarang sudah tahu kan? Henhen gak bohong kan?" Pak Bos menghentikan obrolan kami. "Iya, tapi kalau dilihat-lihat, masih mending Ratih lho, Hen. Kenapa kamu malah memilih pegawai kamu ini?" Aku melongo. Menatap Pak Hen dengan memasang banyak tanda tanya di wajahku. Pak Hen, seolah memelas padaku. Oke, otak jeniusku bergerak cepat. "Zia itu sangat berbakat, Mak. Beda sama Ratih." Pak Hen sedang membelaku, gaes! "Bakat apaan?" Si Emak menatapku dari ujung rambut hingga ujung kaki. "Zia bisa masak. Ya kan?" Pak Hen memberiku kode. Anjay, disuruh berbohong sama orang tua. Walau berat, aku manggut juga. "Bagus. Tapi Ratih itu, walaupun tidak bisa masak, emak dan bapaknya juragan tanah. Kebonnya banyak, Hen. Kalau yang ini sih, cuma cantik aja." Emak masih keukeuh. "Zia, ngomong dong, kamu." Pak Hen memanggilku lagi. Eh, apa katanya tadi? Ngomong? Waduh, ngomong apaan ya? Aku sendiri masih bingung. Melihatku yang masih diam, tetiba tanganku ditarik Pak Hen. "Sini, Mak, bentar ya, aku mau ngomong dulu sama Zia." "Emak kok gak diajak, Hen?" "Masalah pekerjaan, Mak." "Ya sudah sana, cepat!" Pak Hen membawaku ke belakang. Halaman dapur tepatnya. Kepalanya celingukan. "Ada apa sih, Pak?" "Tolong kamu bersikap jadi pacar saya di depan ibu." "Ha? Lagi? Kan kemarin udah, Pak. Di depan Mbak Ratih?" "Ini bagian pekerjaan!" "Bayarannya?" Kudengar si bos berdecak pelan, "Bisa disesuaikan!" "Nah, kalau begini sih, bisa." Ini bagian dari pekerjaan kan? Haha, lumayan!
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD