"Kalian sedang apa? Berunding kok gak ngajak saya?"
Teriakan Nyonya Mona alias si Emak terdengar nyaring. Si Bos menatapku seakan mempertanyakan kesiapan.
"Tenang, aman!" bisikku dengan jari membentuk isyarat 'ok'.
Kami masuk lagi.
"Mak, pacarku mau buat sarapan katanya. Mending Emak duduk dulu yuk, kita tunggu masakannya di sini."
Mereka berdua duduk di kursi. Sedang aku kembali berpusing ria dengan isi kulkas. Apa yang harus kubuat sekarang? Ck, nasi sebentar lagi matang. Lauknya apa ya? Mataku tiba-tiba berbinar melihat tempe dipojokkan. Aha, tempe goreng! Setahuku ini sangat mudah. Aku pernah lihat Bi Marni masak beginian di rumah mommy.
"Masak apa kamu?" Emak tak tahan rupanya kalau mulutnya cuma diam.
"Pokoknya masak sesuatu yang spesial deh," jawabku dengan tingkat percaya diri yang tinggi. Hoho, masakan pertama Chef Ghazia!
Si bos menatapku curiga, "Mau kamu apakan tempe itu?"
"Ya dimasak tentu saja, Pak!"
Oke, goreng tempe sangat mudah. Aku lihat cuma dipotong-potong terus celupin air dan goreng deh. Haha, mudah kan?
"Kok lama banget sih?" Emak makin tak sabar.
"Sebentar lagi siap, sabar ya?"
"Siap apanya? Kamu motongnya lama begitu!"
Beuh, ini nenek tua, masih aja ngomel. Untung dia emaknya bosku. Kalau bukan, udah ku tinggal pergi deh! Paling gak kuat dengerin omelannya emak-emak. Udah ribet, berisik pula!
"Dipotongnya juga pakai perhitungan, Nyonya," Aku tersenyum lebar.
"Perhitungan? Ditimbang maksudnya? Biar apa?" Nyonya Mona aka emaknya si bos keheranan. Hal itu makin menambah kerutan di dahinya.
"Ya diukur biar sama tebelnya, Nyonya."
"Ya udah cepat, saya mau lihat apa kamu benar-benar layak jadi mantu saya atau tidak?"
Gak layak juga gak apa, Mak. Lagian percuma anak Emak kawin sama saya, gak bakalan beranak pula. Wong anak Emak sukanya mode terong ungu juga. Dikasih apem mana mau.
"Mak, udah deh. Layak atau enggak kan gak bisa jamin jodoh atau bukan."
"Kalau gitu, kamu jadi sama pilihan Emak aja, Ratih, ya? Pak Barna itu lho, bapaknya si Ratih juragan tanah. Dia juragan apa coba?"
Beuh ini nenek satu, juragan segala dibahas. Kalau saja dia tahu, daddy juragan hotel. Haha, iya, keluargaku pengusaha bisnis perhotelan. Dan universitas yang sekarang dikelola sama daddy juga saham terbesarnya milik opaku. Sayang, aku harus kunci rapat rahasia ini. Kalau tidak, mana mungkin aku diterima kerja di perusahaan Si Bos.
"Dia juragan di hati Hendri, Mak." Si Bos tetiba menjawab. Jawaban yang keren, andai saja terongnya suka apem, duh. Mungkin aku udah baper.
Si Emak melirik tajam padaku, "Jangan percaya diri kamu! Hendri masih memilih antara Ratih sama kamu."
"Ehehe, iya, Mak. Ngerti kok. Tenang saja." Si Emak kagak tahu yang dipilih anaknya malah si Tomas.
Oke, masakan sudah siap. Wangi tempe goreng menusuk hidung. Ini pasti sangat lezat. Hm, jangan remehkan Ghazia!
"Baiklah, mari makan, Mak. Hendri ambilkan nasinya ya?"
Si Emak melongo, "Cuma nasi sama tempe goreng?"
"Iya, tempe itu bagus, Mak. Apalagi buat kesehatan. Protein tempe lebih bagus dari daging." Pak Hen sedikit berceramah pada ibunya. Haha, manut aja tuh nenek kalau sama pawangnya.
Aku? Tersenyum lebar dong! Berasa di atas angin. Mantu idaman banget kan?
Si Emak mulai mengambil potongan tempe hasil karyaku pagi ini.
"Gimana? Enak?" tanyaku dengan penuh semangat.
Kunyahan pertama ....
Kunyahan kedua ....
Kening Emak berkerut lagi, "Kok rasanya aneh?"
"Ah, masa sih? Aromanya enak, lho!" Pak Hen ikut penasaran.
Waduh, masa gak enak sih? Agak tegang juga sih. Berasa beneran lagi berhadapan dengan camer, a***y!
"Kamu gak pakai bumbu ya?" Pak Hen bertanya setelah mengunyah satu gigitan.
"Ha? Bumbu?"
Si Emak mengangguk, "Nah iya, bumbu. Kamu pakai bumbu gak?"
"Lho, bukannya di dalam tempenya juga sudah ada bumbu? Kalau terlalu banyak bumbu nanti pahit dong?" Aku masih membela diri. Emang pakai bumbu? Masa sih? Perasaan yakin deh, caranya sudah benar.
"Ya ampun, Zia! Masak tempe ya harus pakai bumbu. Minimal ya garam. Jadinya hambar begini kan?" Emak nampak tidak suka.
Ting-tong!
Eh, ada yang datang! Mataku melirik Si Bos. Dengan isyarat dagu ia menyuruhku untuk membuka pintu.
Tanpa membantah, aku segera berlari ke depan. Weh, panjang umur! Si Tomas datang ternyata. Pria itu sepertinya habis olahraga. Macho sih dia. Duh, lagi-lagi yang bentukan begini kenapa harus suka terong sih? Jadinya gak ada kesempatan bercaper-ria.
"Weh, kamu, mau ketemu Pak Hen?" Aku menyapanya. Mataku melirik ke tangan si Tomas yang membawa jinjingan.
"Ah, iya. Kamu kok ada di sini?" Si Tomas heran.
"Eh, jangan salah faham dulu, hehe. Tenang aja, aku sama Pak Hen tidak ada hubungan apa-apa kok. Hanya sedang membuat hati Nyonya Mona bahagia." Waduh, kalau Si Tomas salah faham gimana ini? Konon kaum beginian kalau lagi cemburu lebih ngeri.
"Salah faham?" Si Tomas malah makin bingung.
Ish, ganteng-ganteng kok lemot ya?
"Udah deh, sekarang kamu masuk aja dulu. Oke?"
"Oh ya. Ini, tolong siapkan untuk sarapan." Si Tomas memberikan jinjingan yang ia bawa. Aromanya enak. Apa ya ini? Tentu saja kuterima dengan sukacita.
"Wah, ada Tomas! Sini, Uwa sebenarnya mau makan. Tapi ...." Ucapan Nyonya Mona tak lepas. Ia melirik tempe goreng mengenaskan yang aku buat.
Si Bos dengan gendengnya malah menahan tawa, "Hai, Bro! Apa yang kau bawa?"
"Aku bawa soto. Uwa suka soto kan?"
"Waduh, itu kesukaan Uwa! Kamu paling bisa deh bikin senang orang tua, gak kayak yang satu itu!" Nyonya Mona mendelik ke arahku.
Dih, kalau udah suka ya sana aja pilih Si Tomas jadi bininya anakmu! Tapi jangan harap bisa bertelor!
"Oiya, Nyonya Mona benar! Mungkin ada bagusnya kalau Tomas jadi calon mantu yang ideal buat Nyonya, haha!" Aku tertawa lepas.
Si Nyonya melongo. "Apa kamu bilang?!"
Duk! "Aduh!" Tetiba Si Bos menyikut lenganku cukup keras. Sakit woy!
"Ekhm, maksud Zia, Tomas nanti bisa jadi suami yang baik buat istrinya, Mak. Begitu." Pak Hen memberi penjelasan. Takut ketahuan dia!
"Tapi kamu beneran doyan yang cantik daripada yang tampan kan, Hen?" Nyonya Mona masih tak percaya.
"Apaan sih, Mak? Udah, Zia ngomong suka asal. Dia pikir, Tomas lebih baik daripada aku. Gitu kan, Zia?" Pak Hen mendelik ke arahku.
Aku memutar bola mata, kesal sih. Udah ngejek aku, eh malah gak ngaku. Tapi demi fulus, aku iyain ajalah walau cuma dengan anggukan kecil.
"Baguslah! Emak takut, Hen. Kata tetangga, jaman sekarang banyak pria tampan dan keren kayak kamu malah sukanya sama yang tampan lagi."
"Uhuk!" Si Tomas terbatuk. Noh, kan? Tersungging dia?
"Kenapa Tomas? Kamu tersedak ya?" Emak nampak cemas, lalu beralih padaku, "Kamu kenapa bengong? Ayo ambilkan minum!"
"Eh, iya, maaf!" Segera aku ambilkan minum untuk kekasih Si Bos itu.
Si Tomas menerima pemberianku. Ia minum air segelas sekali tandas. Panik nih orang.
"Makanya, Emak jangan terlalu mendengar apa kata orang. Sekarang kita sarapan dulu, ya?" Pak Hen dengan lembut menuntun si Emak untuk kembali duduk di meja makan.
"Tapi beneran katanya lho, Hen. Itu tuh di hapenya orang-orang. Apa sih namanya itu, yang film pendek itu lho, banyak itu di apa ya? Pas buk atau apa ya?"
"Pesbuk, Wa." Tomas mengoreksi.
"Nah itu. Bener itu!"
"Udah ah, gak semuanya bener, Mak." Pak Hen beralih padaku, "Siapkan soto yang dibawa Tomas!"
"Dengan senang hati, Pak Hen!" Aku tersenyum lebar selebar-lebarnya hingga Pak Hen menahan kesal, haha.
Kami makan dalam hening. Sesekali aku melirik Si Bos dan Tomas bergantian. Keduanya sedikit mirip. Apa jodoh kali ya? Sesama pedang, hidih, ngeri kali!
Ternyata emaknya Si Bos betah juga tinggal di sini. Aku kira cuma sarapan doang, ternyata dia tinggal sampai hari mau petang. Dan gilanya lagi, aku dengan si Tomas gak dibolehin pulang! Gedek gak sih? Liburan paripurnaku hilang sudah. Seharian aku dan Si Tomas dipaksa untuk membantunya bercocok tanam di belakang rumah ini. Ada lahan kosong sekitar empat kali enam meter. Si Emak membawa berbagai benih tanaman ternyata. Busyet deh, terniat sekali membuat orang repot!
"Wa, aku pulang dulu ya? Udah sore nih!" Si Tomas udah gak tahan rupanya. Berkali-kali ia menyeka keringat dari dahinya. Betapa tidak, ia disuruh mencangkul tanah lahan ini, haha. Sedang aku sendiri membantu menanam benih dan mencabuti rumput liar yang tumbuh di mana-mana. Si Bos? Jangan tanya! Manusia menyebalkan itu malah duduk nyaman di kursi panjang dekat pintu dapur. Emaknya bilang, anaknya itu pantas jadi bos dan tidak boleh terkena sinar matahari langsung, takut pamor bosnya hilang. Dasar!
"Eh, jangan dulu! Mandi gih! Nanti Uwa masakin makan malam."
Si Tomas hanya bisa memasang wajah pasrah, kasihan!
"Nyonya, saya ...."
"Hei, kamu lagi! Jangan pulang! Seorang kekasih itu harus belajar mengurus rumah dengan baik. Mempersiapkan diri menjadi istri untuk anak saya."
"Tapi saya juga udah gerah, Nyonya. Pengen mandi juga!"
"Mandi ya tinggal mandi aja!" Nyonya Monarki absolut itu susah ditentang ternyata.
Aku menggaruk kepala yang tak gatal, "Ada berapa kamar mandinya, Pak?"
"Ada tiga." Pak Hen menjawab singkat tanpa mengalihkan pandangannya dari ponsel yang ia pegang.
"Ya udah, saya mandi di sini. Pinjam baju boleh, Pak?"
"Ambil di kamar tamu. Ada baju di sana. Terserah kamu mau ambil yang mana." Pak Hen masih anteng tak mau mengangkat kepala. Angkuh sekali!
"Hen, aku gimana?" Tomas memelas.
"Kamu? Mau mandi juga?"
"Iya lah, dodol!" Tomas sudah sangat kesal rupanya.
"Eh, sebentar, kamar mandi yang jalan cuma satu. Yang lain rusak. Aku belum sempat memanggil tukang untuk memperbaikinya."
"Kita bisa mandi bareng," ucapku.
"TIDAK BISA!"
"BISA!"
Pak Hen dan Tomas menjawab bersamaan dengan jawaban yang berbeda.
Aku menatap kedua orang itu dengan tatapan bingung. Pak Hen bahkan sampai berdiri. Tomas masih cengengesan. Dih, ini orang kenapa? Sumringah sekali diajak mandi bareng, padahal aku hanya bercanda. Apa dia senang membuat pacar pedangnya itu cemburu?
"Ah, aku mengerti sekarang. Anda cemburu ya, Pak?" Aku tersenyum mengejek Pak Hen.
Si Tomas malah melongo, "Cemburu? Lo suka sama sekretaris lo ini?"
"Eh, enggak kok, bukan begitu. Kamu salah faham, Tomas! Tenang saja. Jangan khawatir, oke?" Duh, gimana aku menjelaskannya ya? Nanti si Emak dengar dan bisa makin ribet urusannya.
"Hen, ini ada apa sih?" Tomas seperti bingung. Entah, apa mungkin manusia tengil yang satu ini tidak peka? Jangan-jangan Pak Hen hanya bertepuk sebelah tangan, kasihan amat!
Pak Hen mengacak rambutnya, "Sudahlah! Tomas, kamu mandi di WC umum, ada di seberang perumahan ini. Dan kamu Zia, mandi di kamar saya!"
Ha? Apa katanya?!