Gila dan sangat sulit dipercaya! Ini apaan coba? Lagi enak mimpi indah dikelonin pangeran tampan dari negeri khayangan, eh malah ambyar dengan kondisi tubuhku saat ini.
Pantas saja aku merasa sangat hangat. Nyatanya, badanku dililit pakai sarung pria bermotif kotak-kotak. Mana tebal banget lagi. Berapa lapis ya ini?
Eh, si Anjir! Susah banget bukanya!
"PAK HENDRI!!!"
Aku berteriak sekencang-kencangnya. Bodo amat dengan ocehan si Nyonya Monarki Absolut yang akan datang saat tahu aku memaki anaknya.
"Jangan berteriak, telinga saya tidak tuli." Suara makhluk biang kerok kekesalanku pagi ini terdengar sangat dekat.
Aku merengut. Weh, orangnya ada di sini ternyata. Jangan-jangan dia di bawah ya? Aku beringsut menyeret tubuh yang terlilit sarung ke tepi ranjang. Kepalaku menunduk memeriksa ke bawah. Nampaklah Pak Hen sedang tidur dengan posisi meringkuk di bawah sana. Pria itu tidur beralaskan karpet permadani saja.
"Pak, ini apa-apaan sih bungkusin tubuh saya dengan sarung begini? Kan bukanya susah!" Aku misuh-misuh mencoba membuka lilitan sarung.
"Celana kamu kependekan." Pak Hen menjawab tanpa membuka matanya yang masih merem.
"Ha? Maksud Anda?" Bukannya si Parjo gak doyan ya? Atau mungkin ngerasa jijik? Sialan!
Pak Hen membuka matanya, ia nampak berpikir sejenak, "Kamu bisa masuk angin," jawabnya lalu kembali merem.
Aku hanya ber-O-ria. Iya gitu? "Saya udah biasa tidur begini, Pak. Gak usah khawatir, tenang saja."
"Terserah kamu."
Kata jimatnya sudah keluar. Ya, jawabannya saat buntu pasti 'Terserah kamu'. Menyebalkan!
"Tapi, Pak! Ini susah dibukanya! Tebel banget ini!" Sumpah, ini sangat menyiksa.
"Buka saja!" Pak Hen menjawab tanpa mau membuka mata lagi. Terdengar ia mendengus kesal lalu mencari kenyamanan lagi dan tertidur kembali.
Sialan!
Kok ya rapet banget sih ini? Kuat sekali. Pakai apa sih? Kalau cuma sarung gak akan sekuat ini rasanya.
"Pak! Saya lapar!" Otakku mulai mencari cara agar manusia yang satu itu mau membantuku.
"Saya ngantuk!"
"Cacing saya sebentar lagi busung lapar nih!" Gelo ih, kenapa gak mau bangun juga?
"Mata saya sepet!"
Dih, jawabannya kok bikin tekanan darah naik begini ya?
"Kalau saya mati kelaparan di atas ranjang ini, Anda saksi sekaligus pela..."
"Berisik sekali!" Tetiba dia bangun. Kaget dong aku! Mataku mengikuti langkahnya. Ia naik ke atas ranjang. Siaga satu segera dipasang. Iya lah, walau Pak Hen itu jelas doyan terong panjang, tapi kejahatan terjadi karena kesempatan bukan karena ingin. Iya kan? Mana Pak Hen juga sekarang cuma koloran. Semalam kan celananya panjang.
"Mau apa, Pak? Jangan coba-coba melakukan pelecehan! Saya bisa melaporkan Anda, lho!"
Kulihat Pak Hen nampak sangat kesal. "Ya sudah kalau tidak mau dibantu, buka sendiri!"
Pria itu hendak menjauh lagi.
Eh?
Bodoh! Jadi dia mau bantuin buka lilitan laknat ini?
"Tunggu-tunggu, Pak! Iya, saya mau dibantu kok."
"Tidak mau! Kamu nuduh saya mau berbuat pelecehan!" Ia bersiap kembali ke bawah.
"Saya cuma bercanda kok, akting aja itu mah. Semacam latihan casting gitu lho, Pak. Jangan marah ya? Anda kan orang baik. Ya? Please!"
Matanya mendelik kesal. Ia kembali naik ke atas ranjang. Aku tersenyum menang melihatnya.
"Berbaringlah!" ucapnya.
"Apa?" Lha aku kaget dong!
"Tidak mau? Ya sudah!" Pak Hen hendak berbalik.
"Eh, iya, iya, mau kok. Galak amat sih?"
Aku menurutinya. Dengan mukanya yang jutek, ia membuka sarung sialan ini. Kurang asem, ternyata dia melilitku pakai lakban di dalamnya! Pantas saja terasa kaku dan sangat kuat.
Kami saling diam. Pak Hen masih membuka sarungku yang ternyata ada tiga sarung. Gila ya dia, biar apa coba?
"Sudah. Saya mau tidur lagi." Pak Hen bangkit setelah selesai membuka lilitan sarung aneh ini.
"Eh, tunggu!" Aku menahan lengannya.
"Ada apa?"
"Saya butuh penjelasan. Kenapa Anda melakukan ini?"
"Kamu tidak bisa diam."
"Maksudnya?"
Pak Hen mendengus kesal. Sekarang kami duduk berhadapan di atas kasur.
"Baiklah. Kamu mau tahu alasannya?"
Aku mengangguk, "Tentu saja."
"Pertama, kamu orang asing yang tiba-tiba tidur di kamar saya. Tidak bisa dijamin apa kamu tidak akan mencuri barang-barang saya di kamar ini."
Si Setan, aku disangka maling! Enak saja!
"Anda curiga sama saya?!"
"Tidak ada yang tahu, kan? Semua bisa terjadi kalau saya tidak waspada."
"Kedua, kamu wanita dan saya pria."
"Semua orang tahu itu. Jadi?"
"Kamu masih belum faham?"
Aku menggeleng, "Yang kedua saya tidak faham. Apa hubungannya saya wanita dan Anda pria dengan lilitan sarung ini?"
Kukira dia akan menjawab pertanyaanku. Nyatanya malah terjadi hal di luar nalarku.
Pak Hen mendorong tubuhku hingga terlentang.
"Mau apa, Pak? Hei!"
Mataku membelalak. Tetiba aku berada di bawahnya. Waduh, gawat! Jangan-jangan dia punya orientasi seksual pria dan wanita! Ini mengerikan!
"Kamu mau tahu alasannya kan?" Pak Hen berbisik tepat di depan wajahku. Bahkan aroma khas pria dari hidungnya seakan menusuk hidung. Setan binal mulai bermunculan. Sial, kalau sudah begini, mantra apa yang ampuh mengusir godaan laknat ini?
"Ng-ngapain, Pak?" Noh, kan? Aku jadi gagap dadakan. Padahal sebelumnya lidahku lancar jaya kalau ngomong.
Aku lihat Pak Hen menatapku. Pupil matanya membesar. Alisnya sedikit terangkat. Tatapannya beralih ke bagian bawah wajahku. Tunggu, apa ia mau ....
Duk!
"Aduh!"
Pak Hen sukses terjungkal saat lututku mendarat manis di selangkangannya.
"Jangan coba-coba, Pak! Saya jago karate lho!"
Yes, tanpa pikir panjang lagi, aku menendang burung beo-nya. Siapa suruh menindih tubuhku seperti itu? Aku bukan perempuan lemah! Atau perempuan lebay yang minta dilepas tapi hanya diam saja. Oh, no! Kalau aku bilang tidak, ya melawan! Walaupun dalam hati kecil sih sedikit berharap dapat 'sesuatu' terjadi. Tapi untungnya rombongan setan m***m berhasil ku usir dari pikiran. Kalau kebablasan dan kecelakaan, bisa mati dibikin remahan rempeyek sama Mommy nanti.
Aku berkacak pinggang dengan bangga. Tuh lihat, aku tidak lemah kan?
"Argh! Ash!" Pak Hen masih berguling-guling di atas kasur dengan kedua tangan memegang anunya.
Kok dia kesakitannya lama banget sih? Apa sesakit itu ya? Perasaan tadi tidak terlalu kuat.
"Masih sakit ya?" tanyaku. Wajah cemas tidak bisa ku sembunyikan lagi. Walau aku tadi menyerangnya untuk bela diri, tapi kalau melihatnya kesakitan begitu ya kasihan juga. Ntar gak bisa bangun lagi gimana?
Pak Hen tidak menjawab, ia hanya mengangguk pelan dan meringis.
"Makanya Pak, jangan macam-macam, jadinya begini kan? Maaf, lho! Saya cuma bela diri saja kok."
"Macam-macam kamu bilang? Sebenarnya yang macam-macam itu kamu!"
"Ha? Kok malah jadi saya yang salah? Yang niat nyium saya kan Anda, Pak. Kenapa ceritanya jadi lain?"
Pak Hen bangun lalu duduk. Ia menatapku kesal, "Kamu tidak sadar ya? Semalam kamu memeluk saya seperti guling. Saya ini pria. Mana bisa saya tahan dengan kondisi seperti itu? Apalagi celana kamu itu kependekan."
Aku termangu, dia sekesal itu? Tunggu! Jangan-jangan ....
"Anda tidak bisa tidur karena kondisi itu?" tanyaku ragu. Apa benar begitu?
Ia mengangguk dengan wajah ditekuk, "Ya! Jangan pernah berbuat seperti ini lagi dengan pria lain! Ini menyiksa. Mengerti?"
Lho? "Pacar Anda kan si ... Tomas?"
"Dengar ya, hentikan pemikiran konyol kamu tentang orientasi seksual saya!"
"Pemikiran konyol?"
"Kamu selalu yakin kalau saya dan Tomas pacaran. Memangnya kamu punya bukti?"
Aku mengerjap, "Saya pernah berkali-kali melihat Anda dan Tomas keluar dari kamar hotel berduaan lho, Pak?"
"Saya dan Tomas itu sepupuan! Puas, kamu?"
Aku menganga. "Apa?! Lalu ini ... AAA!!! Anda m***m!"