7

1183 Words
Hari Rabu ini aku kembali harus menghadapi pak Komar, guru PKn yang betah banget ngajar aku. Pas naik kelas XI, aku sudah berdoa ribuan kali bahkan sampai pasang alarm, bangun tengah malam dan sholat agar guru PKn-ku ganti, tapi emang Tuhan itu maha Adil. Pak Komar, kembali, menjadi guru Pkn kelas XI IPS-2. Apes. "Nana Sugimoto!" Pak Komar  memanggilku tepat setelah selesai menerangkan materi. Aku yang sedang ngantuk berat menjadi tersentak kaget. "Iy-iya, Pak, masih hidup!" Aku ngelantur. Sponstan teman-teman sekelas yang mendengar ucapanku tertawa ngakak. Pak Komar pun jadi makin PMS, rahangnya yang mulai mengeras karena menahan gertakan giginya. "Nana!!!" pekiknya keras. "Kamu tidur?" "Ng-ngak, Pak," elakku. "Kok jawabnya ngelantur gitu?" Pak Komar nggak percaya. "Nggak, Pak! Saya nggak tidur!" bantahku sekali lagi. "Nggak tidur kok merem?" sanggah Pak Komar. "Saya mengistirahat mata, Pak! Jadi sebagai gantinya saya perkuat indera pendengaran saya." Aku beralasan. Otakku mulai mengarang bebas tanpa diminta. "Benar?" Pak Komar masih nggak percaya. "Beneran, Pak," kataku mencoba meyakinkannya. "Baik kalau begitu saya mau tanya," tantangnya. "Silahkan, Pak, nggak ada yang ngelarang," jawabku. "Lah iya, siapa yang mau ngelarang guru nanyain muridnya?" ketus Pak Komar. "Makanya, saya bilang silahkan, Pak," jelasku. "Darah tinggi saya lama-lama bicara sama kau," sergah pak Komar. "Nggak jadi nanya, Pak?" tanyaku kalem, senang karena bisa membuat pak Komar batal nanya. "Jadi," jawab Pak Komar membuatku sesikit kecewa. "Tadi katanya saya bikin darah tinggi, kok dilanjut, Pak?" tanyaku heran. "Ya kalau darahnya tinggi tinggal makan mentimun aja nanti," tandasnya membuatku mendadak kesal karena dikalahkan. Pak Komar memang tidak briliant. "Jika suatu negara mengucilkan diri dari hubungan Internasional, apa yang akan terjadi?" tanyanya "Kere, Pak," jawabku cepat.   "Kau nggak dengerin bapak ya?" "Lah kan bener, Pak! Kalau nggak mau kerjasama ya pasti negaranya kere, miskin, melarat," jelasku. "Nggak bisa, kau pasti nggak dengerin. Lari lapangan sana!" suruh Pak Komar tegas. "Yah, Pak! Kasih saya kesempatan kedua dong, Pak." Aku memohon. Pak Komar diam, masih mikir bentar. "Saya minta maaf deh, Pak! Nggak lagi-lagi saya tidur di pelajaran bapak. Ya, pak, ya, kesempatan kedua, Pak," bujukku penuh harap plus masang wajah melas agar dikasihani. "Tuh kan? Kau ngaku kalau tidur barusan? Hayo?!!" ejeknya. Aduh, keceplosan lagi. "Ng-nggak, Pak! Saya khilaf, Pak! Jangan dihukum lari dong, Pak!" Aku mengiba. "Kasih kesempatan kedua, Pak!" Pak Komar berpura-pura berpikir. "Okelah," kata Pak Komar setuju. "Pertanyaan kedua," kata pak Komar lagi. Aku pun berusaha fokus, aku enggan lari lapangan. Soalnya lagi menstruasi hari kedua. Perutku sakit dan nyaris kram, gerak dikit aja males apalagi harus lari. Ogah! "Undang-undang nomer berapakah yang menjelaskan tentang hubungan internasional?" Aku melongo. "Lho pak nggak nanya UUD aja? Saya sudah hafal, Pak!" kataku mencoba menawar. "Lah itu, karena kau sudah paham, bapak ubah dari UUD ke UU, jawablah! Bisa nggak?" tantangnya. Aku melongo. Giliran hafal UUD, yang ditanya UU. Pak Komar pengen banget menghukumku ya? Hadeh. "Ayo, UU No berapa?" tanya Pak Komar dengan ekspresi penuh kemenangan. "Hm.." Aku garuk-garuk kepala. "Nggak tahu ya?" ledek pak Komar. Udah jelas kan Pak saya nggak tahu? Siapa juga yang tempe UU nomer berapa?!! "36, Pak," jawabku ngasal. Pak Komar tersenyum tipis. "Bener, Pak?" tanyaku girang. Pak Komar ngakak. "Salah! Yang benar No.37. Sana lari!" suruh pak Komar dengan penuh kesombongan. Aku mengatubkan bibirku rapat-rapat, mendadak kesal pada guru Pkn yang satu itu. "Kapan sih bapak pensiun?" gerutuku pelan. "Apa? Kau bilang apa?" tanya pak Komar. "Ng-ngak, Pak, siapa juga yang ngomong," elakku. "Kau pikir saya tuli?" dengus pak Komar kesal. "Ng-nggak, Pak! Saya lari dulu!" Aku buru-buru keluar kelas. Aku bergegas menuju lapangan basket, mau menunaikan hukuman. Meski hukumannya lari, tapi udah niat buat jalan aja. Lagi menstruasi, kram-kram linu. Saat berjalan menuju lapangan, aku ketemu Sari yang sepertinya juga keluar dari kelasnya. "Nas!!" sapanya girang. "Sari!!" balasku. Kami berpelukan. Mirip Teletubbies. "Kangen," pekik Sari heboh. "Aku juga," kataku seraya melepas pelukan kami. "Mau kemana?" tanya Sari. "Biasa, lari lapangan! Kalau kau?" tanyaku balik. "Disuruh ngambil buku tugas di ruang guru," jawab Sari. "Kau ketua kelas?" tanyaku. Sari mengeleng. "Trus kok kau yang disuruh?" tanyaku. "Iya, soalnya yang nyuruh calon mertua," kata Sari lalu tertawa cekikikan. "Lah, haha, mamanya Fahri?" tebakku. Sari mengangguk mengiyakan. "Iya." Fahri Muhammad, teman sekelas Damai alias batok kelapa adalah pacar Sari. Mereka sudah pacaran sejak kelas X meski awalnya cuma cinta bertepuk sebelah tangan. Tanpa banyak yang tahu, mamanya Fahri adalah guru kimia di smaga. Jadi sudah hal wajar jika si batok kelapa itu jago di mapel kimia. Selain itu, dia itu pintar bahasa Inggris. "Yaudah, aku ke ruang guru dulu ya," pamit Sari. Aku mengangguk.   Sari berlalu setelah melambaikan tangan. Aku pun melanjutkan langkahku, hendak lari lapangan. Aku tiba di lapangan basket dan hanya menghela napas pasrah ketika matahari bersinar cerah dan benar-benar membuat gerah dalam waktu singkat. Namun, hukuman tetaplah hukuman. Aku harus melaksanakannya. "Oi, Pacar!" Panggilan itu membuatku menoleh, si iblis kecil sedang melambaikan tangan dari sebuah ruangan. Di sampingnya kulihat Kafi-si cacing kremi itu tampak tersenyum sinis. Sumpah kesel banget lihat dia deket-deket Damai. Pengen aku kunyah seandainya dia bukan cacing. "Pacar!! Sini!!" teriak Damai dari kejauhan. Terpaksa, demi keutuhan cita-cita menikahi cogan, aku merapat. "Apa?" tanyaku saat aku sudah di depannya. "Kau ngapain?" tanyanya kepo. "Lari," jawabku singkat. "Melamun di kelas?" tebak Damai. Aku menggeleng. "Bukan, nggak bisa jawab pertanyaan." "Lagi?" "Iya." "Hari ini kau nggak bawain aku minuman ya. Kenapa?" tanyanya. "Nggak punya uang," jawabku sekenanya. "Yah, kok kere sih? Biasanya ada, udah bangkrut ya?" tanya Damai dengan santai. Aku menatapnya keki. Tapi masih ditahan karena ada Kafi. "Mai, dia kaum duafa, jadi wajar aja kalau dia kere," sahut Kafi ikut-ikutan ngasih pendapatnya yang nggak dibutuhkan. "Diem kau! Bacot!" serangku. "Dih, malah ngatain. Mulut kau nggak disekolahin?" sergah Kafi. "Ya nggaklah, mana ada mulut sekolah? Emang yang kau sekolahin mulutmu doang?" balasku. Kafi diam dan melirik Damai yang berdiri saja melihatku adu mulut dengan Kafi. "Mai, aku dianiaya pacarmu, nih!" adunya. Aniaya? Darimananya?  Dia tahu aku manggil dia cacing kremi? Dia bisa baca pikiran?!! "Pacar, jangan gitu! Kafi ini udah kuanggap sahabatku," tegur Damai. "Hah?! Sahabat? Dia?" tanyaku heran, nggak percaya sama sekali dengan apa yang baru saja kudengar. "Iya, dia sahabatku. Makanya jangan berantem sama dia. Kau akrab sama Fahri aja bisa, sama Kafi bisa, dong! Kalian kan sama-sama cewek," analisis Damai ngaco. Justru karena sama-sama cewek, aku nggak mungkin akrab sama dia oon. "Oh iya, Mai, mau lihat nggak fotomu pas foto sama Lada?" Aku menautkan alisku. "Foto sama Lada?" tanyaku bingung. "Ah, kau nggak tahu?" kata Kafi dengan wajah sok terkejut. "Lada, teman sekelas kami yang cantik. Tadi, pas kami bimbingan, dia duduk berdua sama Damai lho. Aku yang melihat kemesraan mereka akhirnya mengabadikannya dalam sebuah foto sebagai bingkai cinta musim semi mereka," terang Kafi. Aku mengepalkan tinjuku. Kulirik Damai dengan menahan amarah agar nggak mencuat. "Bener kau foto sama cewek?" tanyaku dengan emosi yang ditahan. Sumpah rasanya kayak nahan kentut, nyeri-nyeri timbul. "Iya, cuma foto berdua aja," jawab Damai mengiyakan. "Cuma foto, nggak usah cemburu!" Amarahku meninggi, meletup-letup dengan ganas seolah tinggal menunggu waktu untuk Erupsi. "Yaudah, lari sana!" suruhnya. Damai berbalik, berjalan santai ke kelasnya. "Haha, kasihan. Kau udah nggak penting tuh!" bisik Kafi lalu menyusul Damai. Aku meledak. Kesabaranku sudah menghilang entah kemana. Foto berdua sama cewek?!! Dia foto sama aku aja nggak pernah. Dasar iblis!! "Damai!!" seruku. Damai berhenti lalu menoleh ke arahku dengan wajah oon. "Aaaaa." Aku nggak tahan lagi. Sekuat tenaga, aku berlari mendekati Damau dengan berteriak keras. Siang itu—dengan amarah level dewa, aku berlari ke arah Damai dan melakukan p*********n brutal untuk pertama kali setelah satu tahun pacaran dengannya. Aku menjambak, mencakar dan menggigitnya. Sementara dia hanya pasrah dengan membuat suara minta tolong, di mana Kafi yang nyaris menolongnya hanya mampu merintih saat tanpa sengaja kuhantam hingga giginya berdarah. :v Semoga kalian besok masih hidup. Begitulah doaku siang itu. Walau aku tahu kalau iblis dan cacing, nggak akan mati dengan mudah.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD